Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sastra dan Pendidikan Karakter

26 September 2016   18:54 Diperbarui: 27 September 2016   02:10 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika mendengar atau membaca istilah sastra, ingatan Saya terbawa kepada mata pelajaran bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa asing, atau bahasa daerah karena pada mata pelajaran tersebut dipelajari tentang sastra. Sastra berasal dari bahasa sansakerta yaitu susatra, “Su” artinya baik atau indah dan sastra artinya tulisan. Jadi, susastra artinya tulisan yang indah, tapi bukan tulisannya yang indah seperti kaligrafi, tetapi maksudnya adalah isi kata-katanya yang indah dan menggugah hati pembaca, sehingga emosi pembaca larut dalam tulisan yang dibacanya.

Karya sastra adalah karya rekaan penulis berdasarkan sudut pandangnya, pengalamannya, wawasan ilmu pengetahannya, apa yang dilihatnya dan suasana hatinya. Jadi karya sastra adalah karya imajinasi penulis yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Menurut, Sapardi (1979:1) sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.

Sewaktu sekolah, Saya belajar tentang sastra pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Saya tahu tentang puisi “Kerawang-Bekasi” dan “Aku” karya Chairil Anwar. Ketika Saya membaca puisi “Kerawang-Bekasi”, Saya bergetar, rasa nasionalisme Saya pun tergugah hebat. Puisi “Aku” Saya baca dengan penuh semangat dan penuh penghayatan. Kedua puisi itu tampak sangat memiliki “ruh” ketika dibaca. Puisi-puisi karya Taufik Ismail dan WS Rendra pun begitu akrab menjadi sumber bacaan.

Roman Layar Terkembang, Salah Asuhan, dan Siti Nurbaya menjadi beberapa karya sastra yang begitu enak untuk dibaca. Dari sekian banyak karya sastra, karya-karya sastra itulah yang paling Saya kenal. Terus terang, Saya bukan seorang penikmat sastra yang baik, dan tertarik mempelajari karya sastra lebih jauh. Novel terakhir yang Saya baca adalah Habibie-Ainun, Laskar Pelangi, dan Sepatu Dahlan. 

Saya hanya mempelajari sastra saat mempelajari pelajaran bahasa Indonesia saja. Pada mata pelajaran bahasa Sunda, Saya pernah membaca dongeng “sakadang kuya jeung sakadang monyet”, sisindiran, dan guguritan¸dan sekarang banyak yang lupa.

Dalam konteks pendidikan, Saya berpendapat bahwa karya-karya sastra dapat menjadi sarana pendidikan karakter. Karya sastra sangat kaya dengan nilai-nilai pendidikan karakter. Jenis-jenis karya sastra antara lain; sajak/puisi, pantun, roman, novel, cerpen, dingeng, legenda, dan naskah drama.

Dengan membaca karya sastra yang berkualitas, pembaca khususnya siswa dapat mengambil pelajaran dari uraian cerita, kisah, atau karakter tokoh yang terdapat tulisan yang dibaca. Karya sastra bukan hanya sekedar untuk dibaca, tetapi juga untuk diambil pelajarannya oleh pembaca dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari. Karya sastra yang dapat dipelajari bukan hanya karya sastra nasional saja, tetapi juga karya sastra yang bertema kedaerahan, seperti sastra Sunda.

Setelah membaca karya sastra, misalnya novel atau cerpen, guru dapat menugaskan siswa untuk menjawab  beberapa pertanyaan. Misalnya apa tanggapan siswa terhadap karya sastra tersebut yang dibacanya? Mengapa suka membaca karya sastra tersebut? tokoh mana yang paling menarik perhatian? Tokoh mana yang paling disukai? Beserta alasannya Tokoh mana yang tidak disukai? Beserta alasannya, apa pelajaran yang berguna untuk diterapkan dalam kehidupan siswa? dan beragam pertanyaan lainnya. Intinya guru mengeksplorasi kemampuan berpikir kritis siswa sehingga berdampak terhadap pembentukan karakter siswa.

Saat ini pemerintah mewacanakan tentang pentingnya pendidikan karakter. Lima nilai yang diprioritaskan antara lain: (1) nasionalisme, (2) integritas, (3) kemandirian, (4) gotong royong, dan (5) religius. Kelima hal tersebut sesuai dengan visi Gerakan Nasional Revolusi Mental yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo.

Tahun 2010, pada masa pemerintahan Presiden SBY juga gaungkan tentang penananaman nilai pendidikan karakter. Ada 18 nilai yang ingin diterapkan. Maka dilakukanlah berbagai macam kegiatan seperti sosialisasi, seminar, pelatihan, workshop,dan sebagainya. Dan ganti rezim, ganti kebijakan. Dari 18 nilai dikerucutkan menjadi lima nilai karakter.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui membaca karya sastra. Bagi pecinta sastra, jika sudah membaca sebuah karya sastra, maka akan “dilahap” dalam waktu yang singkat. Dari membaca karya sastra, orang dapat meraih pelajaran tentang kebijaksanaan, kelembutan hati, hakikat kebahagiaan, makna perjuangan, keikhlasan, rasa cinta tanah air, dan sebagainya.

Penulis, Praktisi Pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun