Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencari “Metamorfosis” Nabi Ibrahim dan Ismail

12 September 2016   16:58 Diperbarui: 12 September 2016   17:13 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

IDRIS APANDI

Hari raya idul adha atau disebut juga idul kurban tidak dapat dipisahkan dari kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS sebagai cikal bakal ibadah kurban yang dilaksanakan oleh umat Islam. Saat itu, Nabi Ibrahim AS diperintahkah oleh Allah SWT untuk menyembelih anaknya, Ismail, anak yang sangat dicintainya.

Nabi Ibrahim AS sudah sangat lama mendambakan kehadiran seorang anak. Ketika perkawinannya dengan Siti Sarah tidak kunjung diruniai anak, maka dia menikah dengan Siti Hajar. Dari rahimnya lahirlah seorang anak yang diberi nama Ismail. Nabi Ibrahim pun sangat bahagia dan sangat menyayangi Ismail.

Lalu Allah mencoba ketaatan Nabi Ibrahim AS kepada-Nya dengan memerintahkan untuk menyembelih Ismail melalui sebuah mimpi. Mimpi tersebut tentunya sangat mengejutkannya, karena dia diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anak sendiri, yang sudah lama dinantikan dan sangat disayanginya. Secara manusiawi, mana ada orang tua yang tega menyembelih anak sendiri?

Setelah melalui perenungan dan berkali-kali menimbang-nimbang, akhirnya Nabi Ibrahim AS menyampaikan mimpi tersebut kepada Ismail. Dia menyatakan bahwa ini adalah perintah Allah SWT, dan sebagai hamba yang taat, dia harus melaksanakan perintah tersebut walau pahit dan akan sangat menyakitkan.

Respon yang tidak terduga muncul dari Ismail. Ternyata Ismail tidak menolak tindakan yang akan dilakukan padanya. Ismail yakin perintah Allah tersebut baik bagi Nabi Ibrahim dan dirinya. Dia rela kehilangan nyawa sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya. Dan sebagai anak yang berbakti, dia akan mengikuti apa yang diminta oleh orang tuanya.

Dan hari “penyembelihan” pun tiba. Nabi Ibrahim AS membawa Ismail ke sebuah bukit. Menjelang “penyembelihan” tersebut, setan sibuk menggoda Nabi Ibrahim AS dan Ismail agar membatalkannya, tetapi godaannya tidak mempan. Nabi Ibrahim AS dan Ismail sudah bulat hati akan melaksanakan hal tersebut. Dan ternyata, ketika Nabi Ibrahim sudah menempelkan pedang ke leher Ismail, tiba-tiba badan Ismail diganti dengan seekeor kambing. Nabi Ibrahim AS dan Ismail telah lulus ujian dari Allah SWT. Diawali kisah tersebut, maka ritual berkurban berlanjut sampai dengan saat ini. Dan hal ini diperintahkan bagi umat Islam bagi yang mampu untuk melakukannya.

Kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail mengajarkan kita tentang sebuah ketaatan tanpa syarat kepada Allah SWT, memiliki keimanan dan ketakwaan yang tinggi, dan kerelaannya untuk berkorban. Nabi Ibrahim AS rela kehilangan anak yang sangat disayanginya, dan Ismail rela kehilangan nyawanya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim menyadari bahwa anak yang disayanginya adalah titipan dari Allah. Ismail pun menyadari bahwa hidup dan mati manusia ditentukan oleh kehendak-Nya. Mereka ikhlas, tidak ada rasa takut kehilangan pada diri mereka.

Hal dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dan Ismail menjadi pelajaran bagi setiap muslim untuk bersikap ikhlas ketika suatu saat apa yang menjadi miliknya harus dikeluarkan atau hilang. Saat ini justru banyak sekali manusia yang takut kehilangan harta, pangkat, dan jabatan, dan rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya.

Adalah benar kita harus memelihara, merawat, dan mempertahankan hal yang sudah kita raih dengan penuh perjuangan, tetapi bukan berarti kita menjadi kikir dan tidak mau berbagi. Kita boleh kecewa dan bersedih manakala barang yang kita miliki hilang atau diambil orang, tetapi tidak perlu berlarut-larut. Hal yang menurut kita baik, belum tentu demikian di hadapan Allah SWT. Begitupun hal yang menurut kita buruk, belum tentu juga dihadapan-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun