Oleh:
IDRIS APANDI
Sepintas judul tulisan tersebut terkesan provokatif dan seolah ada tempat lain selain Mekkah dan Madinah yang dapat dijadikan tujuan untuk berhaji, tetapi, maksud dari tulisan ini adalah bahwa secara secara substantif, karakter atau sifat seorang haji tidak hanya dibentuk di tanah suci, tetapi dapat juga dibentuk dari luar tanah suci.
Tanggal 10 Dzulhijjah para jemaah haji melakukan wukuf di padang Arafah. Wukuf di padang Arafah adalah puncak ibadah haji. Di tengah terik sinar matahari, para jemaah haji memanjatkan do’a. Bahkan mereka banyak yang menangis, mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukan dan ketika pulang dari tanah suci dan menyandang “gelar” haji, mereka berharap menjadi manusia yang bersih, seperti bayi yang baru dilahirkan.
Setiap muslim tentunya berharap bisa menunaikan ibadah haji. Di tengah banyaknya pendaftar dan terbatasnya kuota haji, banyak calon jemaah haji yang harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan kesempatan menunaikan ibadah haji. Ada juga orang-orang kecil yang menabung bertahun-tahun agar dapat menunaikan ibadah haji. Melalui kesungguhan dan perjuangan, akhirnya mereka pun dapat berziarah ke tanah suci.
Setiap umat Islam yang berziarah ke tanah suci diharapkan menjadi haji yang mabrur. Tidak ada definisi yang baku berkaitan dengan haji mabrur ini, tetapi intinya adalah setelah berhaji, kualitas ibadahnya semakin meningkat, akhlaknya semakin mulia, dan dapat menjadi teladan bagi masyarakat. Dengan kata lain, seorang haji disamping memiliki kesalehan ritual, juga memiliki kesalehan sosial.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat banyak orang yang menjadi sukarelawan, pekerja sosial, walau hidup dalam keterbatasan tetapi memiliki kepedulian sosial yang tinggi, mau membantu sesama manusia. Mereka membantu orang lain, bukan karena berlimpahan harta, bukan karena pencitraan atau disorot media, tetapi karena dilandasi niat ingin berguna bagi sesama. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain?
Dalam sebuah kisah diceritakan ada seseorang yang akan menunaikan ibadah haji, ongkosnya sudah siap, tetapi tiba-tiba ada tetangganya yang sakit parah, lalu dia menyumbangkan uang yang telah dia siapkan untuk naik haji kepada tetangganya yang sakit tersebut, sampai dia pun akhirnya gagal berangkat haji. Hingga dia meninggal, cita-citanya naik haji tidak terlaksana.
Secara ritual-formal, orang tersebut memang tidak “bergelar” haji, tetapi apa yang dilakukannya membantu orang lain dengan tulus, mau mengorbankan kepentingan pribadinya demi kepentingan umum, secara hakiki adalah cerminan karakter seorang haji yang mabrur.
Berdasarkan kepada hal tersebut, bagi Saya, “berhaji” tidak selalu ke tanah suci. Jadilah orang yang bermanfaat bagi sesama. Terus menerus memberbaiki diri, meningkatkan kualitas amal ibadah, baik ibadah mahdhah (ibadah yang langsung kepada Allah) maupun ibadah ghairu mahdhah(ibadah kepada Allah melalui ibadah kepada sesama makhluk-Nya).
Keutamaan ibadah di tanah suci Mekkah-Madinah pahalanya berlipat-lipat lebih tinggi dan lebih nikmat dibandingkan dengan beribadah di luar tanah suci. Hal inilah yang memotivasi setiap umat Islam untuk menunaikan ibadah haji dan umrah berkali-kali. Walau demikian, ada hak yang cukup ironis, yaitu disaat banyak orang yang antri ibadah haji dan umrah berkali-kali, tapi di sekeliling tempat tinggalnya masih banyak kaum dhuafa yang hidup kekurangan dan memerlukan bantuan. Seolah ibadah yang utama itu adalah ibadah di tanah suci, sedangkan ibadah di luar berhaji atau umrah ke tanah suci seolah kurang utama.
Orang yang belum memiliki kesempatan berhaji tidak perlu berkecil hati, karena Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci menuju shalat wajib, maka pahalanya seperti pahalanya orang yang berhaji. Barang siapa keluar untuk shalat sunnah dhuha, maka pahalanya seperti pahala orang yang berumrah...”(HR Ahmad dan Abu Daud). Walau demikian, hadits tersebut bukan berarti menggugurkan kewajiban berhaji ke tanah suci sebagai salah satu rukun Islam, tetapi sebagai gambaran bahwa ada jalan lain mendapatkan pahala setara berhaji, dan tentunya ketika memiliki bekal yang memadai, disarankan untuk menunaikan ibadah haji.
“Berhaji” tidak perlu ke tanah suci. “Berhaji” bisa kita lakukan di depan halaman rumah kita, di jalan, di tempat kerja, di panti sosial, atau di tempat umum. Sebelum kesempatan menunaikan ibadah haji ke tanah suci, mari kita menjadi “haji” di tanah kelahiran sendiri dengan menjadi manusia yang lebih bermanfaat bagi sesama.
Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H