Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mukidi, Kabayan, dan Kita

28 Agustus 2016   13:36 Diperbarui: 28 Agustus 2016   13:49 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

IDRIS APANDI

Saat ini Mukidi menjadi tokoh yang sangat populer. Humor-humor segarnya yang bikin ngakak banyak beredar di grup-grup media sosial. Nama Mukidi pun menjadi meme di media sosial. Sosok Mukidi menjadi hiburan tersendiri di tengah hiruk pikuk panasnya Pilkada DKI, kasus Jessica, masalah Tax Amnesty, kenaikan harga rokok, dan sebagainya. Sosok Mukidi menjadi oasedi tengah kesulitan hidup dan stres masyarakat.

Mukidi adalah seorang tokoh fiksi yang diciptakan oleh Soetantyo. Beliau adalah pensiunan dari sebuah perusahaan Farmasi. Pak Tantyo, begitu Beliau akrab disapa menyampaikan bahwa ketika dirinya presentasi atau rapat suka menyertainya dengan humor supaya tidak tegang atau bosan, dan tokoh yang dimunculkannya adalah sosok Mukidi.

Humor atau kisah Mukidi memang lengkap. Mulai dari versi Mukidi anak-anak sampai dengan orang dewasa. Kalau sudah baca kisahnya dijamin ngakakatau miminal cungar-cengirsendiri sambil melihat gadget.Bagi Saya, Mukidi adalah sosok yang cerdas, ndeso,lugu, polos, kocak, menyebalkan, sekaligus bejo alias beruntung. Menurut Saya, Pak Tantyo sangat tepat memilih nama Mukidi sebagai tokoh humornya.

Nama Mukidi identik dengan orang Jawa. Namanya jadul,  unik, sekaligus mudah diingat. Para pasangan muda saat ini mungkin tidak berpikir memberikan nama anaknya Mukidi, karena takut dianggap gagaul, ndeso atau takut ditertawakan. Kadang para artis yang namanya ndeso,setelah tenar berganti nama dengan nama yang lebih komersil. Bahkan ada yang terinspirasi membuat “kopi Mukidi” dengan harapan membawa hoki.

Kalau di Jawa (ada juga yang menyebutnya orang Jakarta) ada sosok Mukidi, kalau masyarakat Sunda ada kisah Kabayan yang memiliki karakter yang sama dengan Mukidi. Bahkan kisah Kabayan sudah lama muncul sebelum Mukidi. Kisahnya disamping ditulis pada buku-buku cerita, buku humor, dongeng, juga dijadikan sebagai sinetron dan film.

Bedanya dengan kisah Mukidi, kisah Kabayan dibumbui oleh kisah percintaannya dengan Nyi Iteung dan Si Abah yang sering menyebutnya dengan “Si Borokok” karena tidak menyetujui hubungannya dengan anaknya, Nyi Iteung. Walau berkali-kali dibaca, kisah tidak pernah merasa bosan untuk dibaca atau diikuti. Dalam cerita sastra Sunda, selain Kabayan, ada juga tokoh Lamsijan, Karnadi Bandar Bangkong yang juga memberikan pelajaran hidup bagi kita, tapi sosok Kabayan memang paling familiar karena paling banyak diangkat.

Kisah-kisah tokoh-tokoh tersebut menggelitik, seolah kita sedang melihat realita kehidupan kita sendiri. Ketika kita tertawa membaca kisah mereka, kita seperti menertawakan diri sendiri sekaligus merenungi diri. Kita belajar bukan hanya dari buku-buku teks, tetapi juga dari “teks-teks kehidupan” melalui cerita Mukidi, Kabayan, Lamsijan, atau Karnadi Bandar Bangkong. Dan justru lebih membekas dibandingkan pelajaran yang terdapat pada buku-buku karena disajikan secara ringan, kontekstual, dan diselingi humor-humor segar.

Pada kehidupan yang diwarnai dengan berbagai masalah ini memang kita perlu sejenak mengendalikan emosi, mengendurkan urat syaraf, dan menurunkan ketegangan. Kehidupan memang tidak selalu sesuai antara harapan dan kenyataan, tetapi dihadapkan pada persoalan dan konflik yang membutuhkan solusi yang bijak.

Salah satunya dengan membaca kisah-kisah humor, tapi humor bukan sekedar humor, tapi humor yang memberikan pelajaran hidup, bukan humor yang kadang vulgar dan merendahkan martabat atau mengolok-olok kekurangan orang lain. Bahkan di kalangan ulama sufi pun, ada humor-humor sufi yang sangat sarat dengan pelajaran kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun