Budaya Sunda
Urang Bandung harus nyunda,dalam artian mencintai budaya sunda sebagai bagian dari budaya nasional. Di tengah derasnya gempuran budaya asing, maka orang Bandung harus menjadi bagian dari unsur bangsa yang ikut mempertahankan budaya bangsa termasuk budaya daerah. Istilahnya, wawasan boleh global, tapi aksi atau jati diri lokal. Implementasinya bisa dalam bentuk yang beragam. Misalnya dengan berbahasa sunda ketika berbicara, menggunakan pakaian adat sunda, mempelajari seni sunda, melestarikan kaulinan budak sunda, bersikap, dan berperilaku nyunda,dan sebagainya.
Banyak sekali nilai-nilai filosofis Sunda yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup dalam membentuk karakter seperti silih asah, silih asuh, silih asuh, silih wawangi(hidup harus saling menyayangi dan mengasihi). Akur jeng dulur sakasur, sadapur, sasumur, salembur(harus hidup rukun). Munjung ka Idung, muja ka bapa (berbakti kepada kedua orang tua). Ulah unggut kalinduan, ulah gedag kaanginan(harus memiliki pendirian yang teguh),dan sebagainya. Intinya, budaya Sunda harus dipahami, dijiwai, serta diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Cinta Lingkungan
Dalam masyarakat Sunda dikenal peribahasa leuweung ruksak, cai bbeak, manusa balangsakyang artinya kalau hutan dirusak, pohon ditebang, maka air akan habis, dan akibatnya manusia akan hidup sengsara. Hal itu merupakan sebuah pesan manusia harus menjaga kelestarian hutan sebagai penopang kehidupan manusia.
Menurut data State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun. Laju deforestasi hutan di Indonesia ini membuat Guiness Book of The Record memberikan ‘gelar kehormatan’ bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia. Sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah dijarah total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar hutan di Indonesia telah musnah.
Setiap menit hutan Indonesia hilang seluas lapangan bola. Hutan yang tersisa kini 82 juta hektar. Masing-masing 19,4 juta hektar di Papua, 26,6 juta hektar di Kalimantan, 11,4 juta hektar di Sumatera, 8,9 juta hektar di Sulawesi, 4,3 juta hektar di Maluku, serta 1,1 juta hektar di Bali dan Nusa Tenggara.
Angka tersebut sangat mencengangkan sekaligus sangat mengkhawatirkan karena kerusakan hutan akan berdampak buruk terhadap lingkungan, binatang, dan kehidupan manusia. Binatang banyak yang lari dari hutan, masuk ke perkampungan warga karena habitatnya dirusak dan kelaparan. Begitu pun pencemaran terjadi di mana-mana baik di sungai, tanah, maupun udara, perilaku buang sampah sembarangan yang dianggap biasa. Semua sudah masuk tahap mengkhawatirkan. Oleh karena itu, gerakan cinta lingkungan perlu ditanamkan melalui dunia pendidikan.
Melalui kurikulum pendidikan “masagi” di kota Bandung diharapkan akan lahir generasi yang benar-benar masagidalam pengetahuan, sikap, dan perbuatan. Semoga.
IDRIS APANDI
Penulis, Praktisi Pendidikan.