Di berbagai daerah, baik di kota maupun di desa, penggunaan sepeda motor sudah sangat memasyarakat. Satu rumah minimal memiliki satu sepeda motor, bahkan ada yang lebih. Jika sekian belas tahun silam sepeda motor masih dianggap sebagai barang yang mahal, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat memlikinya, tetapi saat ini sepeda motor dianggap sebagai barang yang biasa saja. Tukang cendol pun sudah dagang menggunakan sepeda motor.
Mudahnya kredit sepeda motor semakin menggoda masyarakat untuk memilikinya. Selain itu, sepeda motor dianggap sebagai sarana transportasi yang murah ekonomis, dan anti macet karena bisa sulap-selip di tengah kemacetan. Walau demikian, sepeda motor justru saat ini menjadi bagian dari kemacetan karena setiap hari, ratusan ribu sepeda motor baru memadati jalan yang ruasnya tidak bertambah, akibatnya lalu lintas semakin macet. Pengguna sepeda motor yang tidak menaati rambu-rambu lalu lintas membuat arus lalu lintas semakin semrawut.
Ada ungkapan yang mengatakan bahwa jika ingin mengetahui karakter sebuah bangsa, maka lihatlah perilakunya di jalan raya. Menurut saya, ungkapan tersebut ada benarnya juga, karena di jalanan kita akan melihat karakter seseorang. Ada yang sabar, ada yang ingin menang sendiri, ada yang hati-hati, dan ada yang sembrono. Saat ini dapat kita lihat pelanggaran lalu lintas masih banyak terjadi seperti tidak membawa SIM, melanggar lampu merah, tidak menggunakan helm, menggunakan knalpot yang tidak standar, dan sebagainya.
Salah satu kalangan yang banyak menggunakan sepeda motor adalah pelajar. Bak showroom, di halaman-halaman sekolah terparkir ratusan sepeda motor berbagai merk dan tipe. Berjejer. Beragam alasan disampaikan pelajar, antara lain jarak yang jauh dari rumah ke sekolah, masih jarangnya sarana transportasi umum, supaya cepat sampai ke sekolah, ongkos lebih murah, dan sebagainya.
Ketika pulang sekolah, mereka seperti capung yang bergerombol memenuhi jalan, bahkan di antaranya ada yang mengendarainya secara ugal-ugalan sehingga di samping membahayakan diri sendiri juga membahayakan orang lain.
Bukan hanya pelajar SMP dan SMA/SMK saja yang mengendarai motor ke sekolah, anak SD pun sudah belajar mengendarai sepeda motor, dan ironisnya dibimbing oleh orang tuanya. Anaknya berada di depan, dan orang tuanya membimbingnya dari belakang.
Orang tua yang memberikan atau mengizinkan anaknya yang belum berusia 17 tahun dan belum memiliki SIM bisa ikut disalahkan. Kalau dalam Bahasa Sunda disebutnya nyaah dulang¸yang artinya seolah sayang sama anak padahal mencelakakan. Kadang kala sang anak merayu, memaksa, bahkan mengamuk kepada orang tuanya minta dibelikan motor. Mereka ingin seperti teman-temannya memiliki sepeda motor, mengancam tidak mau sekolah atau kabur kalau tidak dibelikan sepeda motor.
Menyikapi keinginan anaknya tersebut, ada orang tua yang tegas, tapi ada juga yang pada akhirnya memenuhi keinginan anaknya atau kalau dalam Bahasa Sunda disebutnya éléh déét. Daripada anaknya ngamuk, minggat, tidak mau sekolah, ya dibelikan saja sepeda motor.
Bagi orang yang memiliki uang tidak masalah, tetapi bagi bagi orang tua yang tidak memiliki uang, mereka bela-belain nganjuk ngahutang alias meminjam ke sana dan ke sini untuk uang muka motor. Setelah dibelikan sepeda motor, sang anak riang gembira. Motornya digunakan ke sekolah, tidak menggunakan helm, dipakai ugal-ugalan. Bahkan biar terlihat gaul, sepeda motornya dimodif, kanlpot motornya diganti dengan yang suaranya keras dan memekakkan telinga kalau motor digas. Bahkan banyak pelajar masuk menjadi anggota geng motor.
Pelajar yang mengendarai sepeda motor jelas melanggar undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada pasal 81 ayat (2) huruf (a) disebutkan bahwa syarat usia paling rendah seseorang memiliki SIM C (sepeda motor) adalah 17 tahun, sementara pelajar banyak yang belum berusia 17 tahun, belum lagi mereka banyak yang suka tidak menggunakan helm.
Sudah banyak kasus kecelakaan yang menimpa pelajar yang menggunakan yang berakibat luka atau bahkan meninggal dunia. Kasus yang paling baru terjadi di Purwakarta. Seorang siswa SMK menabrak lima orang siswa SD. Satu orang tewas dan empat orang siswa mengalami luka-luka. Menanggapi kejadian ini, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi cepat tanggap. Kang Dedi, biasa Beliau dipanggil mengeluarkan siswa tersebut dari sekolah.
Kasus kecelakaan yang diakibatkan pengendara sepeda motor utamanya pelajar yang ugal-ugalan sebenarnya bukan kali ini saja terjadi, tetapi sudah sering, sehingga Bupati Dedi Mulyadi geram karena selama ini sanksi yang diberikan kepada pelaku tidak memberikan efek jera. Sosialisasi dan razia sudah banyak dilakukan, tetapi masih saja banyak melanggar.
Kang Dedi kemudian melakukan pertemuan dengan instansi terkait seperti Dinas Pendidikan, Dinas Perhubungan, dan aparat kepolisian untuk mencegah kasus ini kembali terjadi. Ketika menemukan pelajar yang mengendarai sepeda motor, maka polisi menilangnya, melaporkannya secara online kepada Dinas Pendidikan, lalu Dinas Pendidikan menyampaikan hal tersebut kepada sekolah untuk ditindaklanjuti.
Bagi pelajar yang melanggar aturan tersebut, maka anak diperingatkan atau diberi teguran sampai tiga kali, tidak naik kelas, bahkan dikeluarkan dari sekolah. Orang tua, pihak sekolah, dan pihak yang menyediakan jasa penitipan motor pelajar akan ditindak tegas untuk memberikan efek jera.
Menurut Saya, larangan pelajar mengendarai sepeda motor sekolah pada dasarnya bertujuan baik, yaitu sebagai bentuk penegakan hukum dan mengantisipasi jatuhnya korban kecelakaan. Walau demikian, potensi pelanggaran lalu lintas dan kecelakaan, yaitu ketika anak sudah pulang ke rumahnya. Bisa saja pulang sekolah, main-main ke temannya atau jalan-jalan menggunakan sepeda motor. Pihak orang tua tentunya diharapkan menjadi pihak yang dapat mengawasi anaknya di rumah.
Sinergi
Gerakan larangan pelajar mengendarai sepeda motor perlu kerja sama dan sinergi antar berbagai pihak terkait seperti pemerintah, aparat kepolisian, dinas perhubungan, sekolah, dan orang tua. Jika salah satu pihak tidak melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik, maka larangan ini kurang efektif. Di samping melakukan edukasi dan sosialisasi tentang peraturan lalu lintas kepada pelajar, kalau perlu keempat pihak ini melakukan razia secara gabungan. Selain itu, perlu juga dibangun sistem transportasi untuk antar jemput anak sekolah seperti adanya bis sekolah.
Penggunaan sepeda motor di kalangan pelajar, di samping bermanfaat untuk menekan pelanggaran hukum, angka kecelakaan, dan kemacetan, juga bermanfaat untuk menciptakan lingkungan yang bebas polusi asap kendaraan. Oleh karena itu, mari kita sayangi anak kita dan mendukung gerakan tersebut dengan tidak mengizinkan anak kita yang belum berusia 17 tahun mengendarai sepeda motor.
Oleh Idris Apandi, Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H