Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Satu Jam Bersama Kang Dedi Mulyadi

14 Juli 2016   14:15 Diperbarui: 4 April 2017   18:31 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

IDRIS APANDI

Rabu, 13 Juli 2016 merupakan hari yang bersejarah sekaligus berkesan bagi Saya karena Saya mendapatkan kesempatan yang sangat berharga untuk bertemu dengan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi yang akrab disapa Kang Dedi. Impian itu menjadi kenyataan. Itulah kalimat yang ada dalam benak Saya ketika berkesempatan bertemu secara langsung dengannya, seorang pemimpin muda yang dikenal inovatif, berkarakter, sehingga Purwakarta menjadi daerah yang istimewa.

Saya sangat senang, karena tidak setiap orang memiliki kesempatan tersebut, dan belum tentu terulang lagi. Oleh karena itu, dari awal mendapatkan undangan untuk bertemu dengannya, Saya akan mengajaknya selfie sebagai bentuk dokumentasi sekaligus sebagai “bukti fisik” bahwa Saya pernah bertemu dengannya.

Saya diterima oleh Beliau di Rumah Dinas Bupati. Saya didampingi seorang Staf Disdikpora, Dede Supendi. Ketika Saya memasuki gerbang rumah dinas, Saya melihat sebuah bangunan yang megah dan memiliki karakteristik yang khas.

Sebagai tamu, Saya diwajibkan untuk mengisi buku tamu oleh petugas yang berjaga. Lalu diminta untuk menunggu beberapa saat di pos jaga. Tidak lama kemudian, Saya diminta untuk masuk ke rumah dinas bupati. Di depan rumah tampak berjejer sepeda onthel yang mungkin biasa digunakan oleh Bupati. Lalu, ada beberapa hewan peliharaan di dalam kandang-kandang, seperti anjing penjaga dan ayam-ayam pelung yang diberi nama.

Saya pun memasuki rumah dinas bupati, lalu menunggu di ruang tunggu. Kebetulan Kang Dedi sedang menerima tamu. Saya beserta pak Dede menunggu giliran untuk bertemu. Sambil menunggu, mata Saya pun melihat-lihat ruang tamu dengan dekorasi yang khas dan beberapa lukisan. Saya pun menyempatkan diri untuk selfie-selfie.Maklum, baru pertama kali masuk, dan ini adalah kesempatan yang langka.

Dan giliran kami pun tiba. Di ruangan sudah sudah ada Kang Dedi dan Sekdis Disdikpora H. Purwanto, M.Pd. Saya dan Pak Dede pun bersalaman kepada Kang Dedi, lalu dipersilakan duduk di kursi tamu. Suasana akrab sangat terasa. Saya tidak merasa seperti seperti bertemu dengan seorang pejabat yang kadang formal, kaku, dan protokoler. Kami pun berbincang-bincang dengan santai.

Setelah Saya menyampaikan kata-kata pembuka, Kang Dedi pun menimpalinya. Beliau menyampaikan bahwa akademisi dan penguasa harus sinergi dan saling melengkapi, karena dua pihak ini diperlukan dalam membangun bangsa dan negara. Akademisi tugasnya adalah berpikir dan menawarkan berbagai konsep untuk membangun bangsa dan negara penguasa, dan penguasa adalah pihak yang memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti atau mengeksekusi berbagai pemikiran tersebut melalui kebijakan-kebijakannya.

Filosofi Sunda

Kang Dedi memang dikenal sebagai seorang pemimpin yang ingin menghidupkan nilai-nilai kesundaan. Ada pernyataannya yang menarik yang disampaikan oleh Kang Dedi, yaitu filosofi orang sunda itu sederhana, yaitu “kaluhur sirungan, ka handap akaran” yang kalau Saya tafsirkan adalah hidup harus bisa terus tumbuh, dan memiliki fondasi atau kepribadian yang kuat agar tidak terpengaruh oleh budaya-budaya yang kurang baik.

Dedi menyampaikan bahwa budaya Sunda perlu menjadi landasan dalam kehidupan masyarakat sunda, dan itu pun disesuaikan dengan  kondisi kondisi masing daerah. Misalnya Sunda di sebuah beberapa daerah di Purwakarta memiliki karakteristik yang berbeda.

Realita yang sekarang terjadi adalah banyak orang Sunda yang tidak lagi memiliki dan mengimplementasikan falsafah Sunda. Bahkan banyak generasi muda yang tidak mengetahui, mengenal, dan menerapkan nilai-nilai budaya Sunda karena begitu kuatnya pengaruh budaya barat.

Kadang budaya Sunda dianggap kuno dan ketinggalan zaman, padahal orang Sunda tinggal di daerah Sunda harus berjiwa Sunda dengan tidak anti terhadap budaya luar yang baik. Suku Sunda jangan merasa rendah diri atau inferior terhadap suku-suku lain, bahkan bangsa lain di dunia. Suku Sunda harus menjadi pekerja keras jangan sampai kalah bersaing oleh suku-suku lain.

Menurutnya, dikotomi lokal-global telah membuat pola pikir kita menjadi sempit. Lokal seolah lebih kecil dari global. Orang sunda seolah lebih rendah martabatnya dari orang Amerika, padahal pada dasarnya sama-sama saja. Oleh karena itu, Dedi kurang setuju dengan dikotomi tersebut. Dedi menyatakan bahwa kata “lokal” harus diganti dengan kata “budaya” saja. Dan makna dari budaya itu lebih luas.

Hidup Menyatu dengan Alam

Manusia hidup di alam. Oleh karena itu, harus menyatu dengan alam, jangan merusaknya. Orang yang ingin menyatu dengan air, harus merawat air, sehingga air itu bening dan dapat dimanfaatkan oleh manusia. Orang yang ingin menyatu dengan pohon aren, dia akan menanam dan merawat pohon aren, mengambil manfaatnya, dan dijadikannya sumber penghidupan.

Realita yang terjadi adalah justru manusia merusak alam. Air dicemari dan pohon ditebang. Dan yang terjadi adalah bencana. Bencana terjadi bukan karena alam yang tidak bersahabat dengan manusia, tetapi karena manusia sendiri yang tidak bersahabat dengan alam.

Miskin dan Pemalas

Hidup adalah perjuangan, dan manusia harus memperjuangkan kehidupannya. Menurut Kang Dedi, saat ini terjadi sebuah fenomena yang ironis. Orang kaya giat bekerja, sedangkan orang miskin menjadi pemalas. Orang miskin gaya hidupnya ingin seperti orang kaya, sehingga yang adalah memaksakan diri karena keinginan tidak seimbang dengan kemampuan.

Orang kaya membutuhkan orang miskin, begitupun sebaliknya. Orang disebut kaya karena ada orang miskin, dan orang disebut miskin karena ada orang kaya. Orang kaya memberikan lapangan pekerjaan kepada orang miskin, dan orang miskin bekerja dengan sebaik-baiknya kepada orang kaya. Dengan demikian, maka orang kaya terhormat, dan orang miskin bermartabat.

Kewirausahaan

Dalam pembicaraanya, Dedi menyebutkan bahwa tata kelola ekonomi negara ini salah kaprah. Solusi yang ditawarkan oleh para pakar, profesor, konsultan dalam membangun ekonomi negara hanya bersifat pragmatis dan praktis, yaitu hanya mendorong negara kita mengutang kepada lembaga-lembaga donor. Itu adalah solusi yang tidak tepat, karena akan semakin memberatkan bangsa Indonesia, dan membuat bangsa kita semakin ketergantungan dan tidak memiliki harga diri di hadapan bangsa asing atau lembaga donor. Anak cucu kita diwarisi hutang yang menumpuk dan akan menjadi beban sejarah.

Para pengusaha kakap diberikan pinjaman yang besar oleh pemerintah, lalu mengamplang pajak, kabur ke luar negeri sambil membawa aset, dan setelah itu, mau kembali ke Indonesia sambil minta pengampunan pajak. Sedangkan para pengusaha kecil diuber-uber agar membayar pajak, tanpa ampun.

Dedi menambahkan bahwa pengusaha yang sukses dan mampu bertahan justru yang berasal dari kalangan menengah seperti pengusaha batik, warteg, sate maranggi, dan sebagainya, sedangkan pengusaha besar justru banyak berhutang besar dan kolaps. Banyak orang yang mau jadi pengusaha sukses, tapi tidak mau merangkak dari bawah alias tidak menghargai proses.

Inginnya instan dan langsung sukses, suka menerabas, serta memiliki mental yang lemah. Oleh karena itu, banyak yang gagal. Dedi mencontohkan pengusaha otobis Primajasa dan Budiman. Sebelum menjadi pengusaha, mereka adalah kondektur, tapi karena ulet, pekerja keras, dan bermental baja, mereka bisa sukses seperti saat ini. Dari pembicaraan tersebut, secara tersirat Dedi menekankan pentingnya menanamkan jiwa wirausaha kepada generasi muda, supaya mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan mandiri. Selain itu, perlu juga menanamkan mental yang kuat agar tidak mudah menyerah di tengah persaingan yang semakin keras.

Kurikulum Pendidikan

Kang Dedi pun menyoroti masalah kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia. Menurutnya, kurikulum pendidikan di Indonesia terlalu gemuk, terlalu banyak yang digarap sehingga arahnya tidak jelas. Ada arsitek, dia hanya bisa menggambar denah bangunan, tapi tidak tahu cara membuat adukan yang baik, sehingga kualitas bangunannya jelak. Ada sarjana pertanian yang tidak tidak tahu cara mencangkul yang baik. Dengan kata lain, banyak sarjana menguasai teori, tapi kurang  menguasai cara mempraktekannya.

Seharusnya kurikulum pendidikan dibuat lebih sederhana dan fokus. Jangan cacag nangkaeun alias segala digarap, tapi tidak tuntas. Misalnya, di sekolah ada pelajaran ngaduk (membuat adonan aduk), mengelas, atau cara membuat kusen. Dedi khawatir, profesi tukang kayu suatu saat akan hilang karena anak-anak tidak diajarkan cara membuat kusen.

Pendidikan Pesantren

Dalam perbincangan Saya bersama Kang Dedi, ada hal yang membuat Saya terkejut. Kang Dedi selama ini disorot sebagai sosok pemimpin yang “jauh” dari agama dan “akrab” dengan dunia klenik. Tapi ketika membuka obrolan tentang pendidikan, justru Beliau mencontohkan pendidikan di pesantren sebagai bentuk pendidikan yang harus dijadikan contoh. Oleh karena itu, Saya berpikir jangan menilai dari “kulitnya”, tapi dari pola pikirnya.

Kang Dedi menceritakan, suatu saat dia bertamu kepada seorang kiyai, yang menyodorkan minuman adalah anak atau santrinya. Itu adalah bagian dari pendidikan bagaimana cara menghormati tamu. Ada adab-adab yang harus diperhatikan ketika menyodorkan minuman. Jadi, mereka belajar budi pekerti sekaligus praktek.

Realita yang terjadi saat ini adalah banyak orang yang terpelajar, pintar secara akademik, tetapi kurang memiliki etika atau budi pekerti yang baik. Nilai-nilai agama juga kurang diperhatikan. Oleh karena itu, Dedi mewajibkan sekolah di Purwakarta untuk memberikan pelajaran agama, baca tulis Al-Qur’an, agar para siswa memiliki ilmu agama dan tidak buta huruf Al-Qur’an.

Salam Jepang

Tidak terasa perbincangan Saya dan Kang Dedi sudah hampir satu jam. Saya begitu menikmati “kuliah singkat” darinya. Waktu satu jam tidak akan cukup bagi Saya untuk “membaca” pikiran-pikirannya tentang berbagai bidang yang menurut Saya orijinal dan berani beda.

Tapi waktu yang terbatas membuat perbincangan harus diakhiri. Kang Dedi memiliki agenda lain yang harus dikerjakan. Menutup pembicaraan, Saya pun mengucapkan terima kasih kepada Kang Dedi yang telah berkenan menerima dan menyampaikan berbagai pemikirannya. Saya memohon izin untuk foto selfiebersamanya, dan Beliau pun dengan senang hati melayani permohonan Saya. Selain foto bareng Kang Dedi, Saya pun mendapatkan oleh-oleh yang sangat berharga, yaitu enam buah buku kumpulan pemikiran Kang Dedi.

Satu hal yang membuat Saya terkejut adalah Beliau memberikan Salam Jepang kepada Saya. Salam Jepang adalah membungkukkan badan, sebuah cara yang dilakukan oleh orang Jepang untuk menghormati tamu. Luar biasa, seorang pemimpin yang low profile.Saya pun merasa tersanjung dan berharap suatu saat dapat bertemu kembali dengannya karena masih banyak pemikirannya yang ingin Saya “Baca”.

Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun