Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Guru Bahasa Pun Sulit Menulis?

9 Juli 2016   10:14 Diperbarui: 9 Juli 2016   15:35 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Anneahira.com

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menghakimi atau mempermalukan guru-guru bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa asing, maupun bahasa daerah, tapi hanya sebuah pertanyaan reflektif saja, dan bahasan pada tulisan ini masih bisa didiskusikan lebih lanjut.

Tulisan ini Saya tulis berdasarkan pengalaman Saya di lapangan. Sebagai seorang pelatih guru, Saya sering mendapatkan undangan dari guru-guru, termasuk guru-guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa untuk memberikan pelatihan menulis.

Materi yang paling banyak diminta adalah Menulis Penelitian Tindakan Kelas (PTK), artikel jurnal ilmiah, dan artikel ilmiah populer. Mengapa materi tersebut banyak dibutuhkan? Karena dalam konteks pendekatan praktis, para guru wajib menulis Karya Tulis Ilmiah (KTI) sebagai syarat naik pangkat dan yang paling populer adalah tiga jenis KTI tersebut diantara sekian banyak KTI yang bisa diajukan untuk naik pangkat.

Realitanya, banyak guru, termasuk guru bahasa yang sulit naik pangkat. Mereka ada yang telah belasan tahun "parkir" di gol. IV/a. Penyebabnya adalah kesulitan dalam menulis KTI. 

Berdasarkan Permenpan Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, seorang guru jika mau naik pangkat dari gol. III/b ke III/c harus menulis KTI. Hal ini jika tidak diantisipasi, maka banyak guru gol. III/b yang akan parkir karena tidak menulis KTI.

Banyak faktor penyebab atau alasan guru belum mau menulis, antara lain: (1) sibuk, (2) sulit mengatur waktu, (3) tidak punya ide, (4) punya ide, tapi sulit mengembangkannya, (5) kesulitan referensi, (6) belum merasa perlu, (7) kurang percaya diri, dan (8) malas. 

Dari delapan penyebab tersebut, Saya melihat bahwa faktor yang paling dominan adalah malas. Walau punya banyak waktu, tapi kalau malas, tetap saja tidak mau menulis. Malas bisa menghinggapi siapa pun, termasuk Saya sendiri, dan rasa malas memang harus dilawan jika mau berkarya.

Menulis adalah salah satu keterampilan berbahasa. Dari empat keterampilan berbahasa, yaitu (1) membaca, (2) menyimak, (3) berbicara, dan (4) menulis, keterampilan menulis merupakan hal yang paling sulit, karena menulis harus diawali dengan proses membaca, dan orang yang rajin baca pun belum tentu dapat menulis dengan lancar. Semuanya butuh proses.

Seorang guru dapat berbicara atau menjalaskan materi pelajaran dari awal sampai akhir pelajaran dengan lancar, tidak kekurangan kata-kata, tapi ketika diminta untuk menuliskan kembali apa yang telah dijelaskannya, dia mengalami kesulitan. 

Mengapa demikian? Karena menulis memerlukan keterampilan menyusun kata demi kata secara sistematis. Ketika keliru berbicara, dapat langsung diperbaiki pada saat itu juga, tapi kalau keliru menulis, apalagi tulisannya sudah dicetak, diterbitkan, dan menyebar kemana-mana, maka akan sulit untuk memperbaikinya.

Idealnya, seorang guru bahasa memiliki kompetensi yang lebih dalam hal menulis dibandingkan dengan guru-guru yang lain, karena selama kuliah, dia banyak belajar tentang teori-teori menulis, tetapi realitanya tidak demikian. Orang yang banyak tahu tentang menulis, belum tentu dapat menulis dengan lancar. 

Menulis tidak hanya butuh pengetahuan, tapi juga butuh latihan. Menulis bukan hanya sekadar rencana dan keinginan, tapi juga aksi. Aksi, hal inilah yang kadang menjadi tantangan bagi guru yang ingin terampil menulis.

Kondisi empirik menunjukkan bahwa aktivitas menulis bukan hanya monopoli guru bahasa, tetapi juga bisa dilakukan oleh semua orang. Banyak penulis hebat justru bukan berlatarbelakang bahasa. Menulis bukan hanya bisa dilakukan oleh akademisi, tapi juga oleh non-akademisi. Bahkan, seorang ibu rumah tangga, petani, dan buruh pun bisa jadi penulis.

Kesulitan guru bahasa dalam menulis tentunya perlu diselesaikan dengan cara berlatih dan berlatih, banyak diskusi dengan para penulis, dan jangan minder tulisannya jelek atau tidak berkualitas. Semua draft tulisan pertama adalah "sampah." 

Artinya, ketika pertama kali menulis, jangan langsung berharap tulisannya bagus. Belajar menjadi penulis yang berkualitas adalah proses yang tidak akan pernah selesai. Selamat berkarya dan selamat mengukir sejarah.

Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Trainer menulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun