Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat Terbuka untuk Orang Tua Pengkriminalisasi Guru

2 Juli 2016   00:49 Diperbarui: 2 Juli 2016   01:12 2017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dreamstime.com

Apa sih yang dicari dari laporan kepada polisi tersebut? untuk menegakkan hukum? mendapatkan keadilan? memberikan efek jera (shock teraphy) dan mempermalukan sang guru yang disangka telah melakukan tindakan kekerasan terhadap anaknya? ketika laporan orang tua siswa diterima dan ditindaklanjuti oleh polisi, maka sang guru pun harus meninggalkan kelas, di sidik, dan di BAP oleh polisi. Berdasarkan hasil penyidikan dan disertai bukti-bukti yang kuat, akhirnya sang guru guru pun ditahan polisi, dan kasusnya dilimpahkan kepada kejaksaan. Selanjutnya, sang guru dalam kondisi tertekan duduk di kursi pesakitan alias disidang di pengadilan, mendengarkan tuntutan dari sang jaksa penuntut umum.

Ketika sang guru duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa, apakah orang tua yang mengadukannya merasa puas? Merasa telah menang? Merasa telah memberikan efek jera terhadap guru anaknya sendiri? Atau sebaliknya, merasa iba dan menyesal telah melaporkan sang guru ke aparat kepolisian? Apakah orang tua berpikir bahwa selama sang guru ditahan, anak, istri atau suami sang guru menderita dan ikut tertekan? apakah berpikir kegiatan belajar di sekolah terganggu karena muridnya-muridnya kehilangan guru yang dicintainya?

Sebagai bentuk protes, simpati, dan perlawanan terhadap kriminalisasi guru, maka para guru menyindir kepada orang tua yang suka melaporkan guru ke polisi dan anaknya yang sulit diatur oleh sekolah, yaitu, silakan buat sekolah sendiri, buat kurikulum sendiri, didik anaknya oleh sendiri, dan buat raport serta ijazahnya sendiri. Sindiran tersebut sebenarnya sangat menohok orang tua, karena orang tua telah bertindak sewenang-wenang terhadap guru.

Perkembangan HAM saat ini memang telah banyak mengubah pola pikir masyarakat. Hukuman fisik atau psikis kepada anak yang melanggar tata tertib sekolah yang zaman dulu dianggap sebagai hal yang biasa, kini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak anak.

Kekerasan memang dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan, tetapi kita harus melihatnya secara proporsional. Wahai para orang tua siswa, yakinlah bahwa secara umum tidak ada guru yang ingin menyakiti murid-muridnya. Sebagai wakil orang tua di sekolah, para guru sangat mencintai anak-anak didiknya. Ketika guru menghukum muridnya yang melanggar tata tertib sekolah, hal tersebut adalah dalam rangka mendidik dan memberikan pelajaran agar murid yang tidak mengulangi perbuatannya.

Hukuman yang diberikan guru tersebut sifatnya bertahap, mulai dari peringatan lisan, peringatan tertulis, hingga hukuman fisik atau dikembalikan kepada orang tua. Dulu, ketika sekolah, Saya sendiri pernah punya pengalaman dilempar kapur oleh guru ketika tidak memperhatikan penjelasannya. Setelah itu, saya jadi konsentrasi karena takut dilempar lagi kapur oleh guru. Dan Saya pun tidak tersinggung karena Saya yakin, guru melakukan hal tersebut karena Sayang kepada Saya, supaya saya bisa memahami penjelasannya.

Zaman dahulu, sosok guru begitu sangat dihormati dan disegani, sehingga daerah Jawa dikenal istilah “Guru, Ratu, Wong Atua Karo Wajib Sinembah” yang artinya kepada guru, pemimpin, dan terutama kepada orang tua kita harus selalu menghormati untuk menuju jalan bahagia dan selamat hidup di dunia dan akhirat. Zaman sekarang, wibawa guru jauh menurun. Kadang ada siswa tidak segan-segan mengolok-olok gurunya sendiri karena tidak suka terhadap guru tersebut.

Zaman dahulu, kalau murid berpapasan dengan guru, sang murid membungkuk, mencium tangan, serta tidak mau menatap wajahnya karena segan, tapi zaman sekarang banyak murid yang bersikap tidak sopan kepada guru. Kalau bertemu di jalan seperti yang tidak kenal saja. Ketika murid diingatkan oleh guru, bukannya menuruti nasihat guru, tetapi banyak yang melawan. Hal ini disinyalir sebagai dampak negatif dari globalisasi, pemahaman HAM yang kebablasan, dan tayangan TV yang tidak mendidik.

Sekali lagi, melalui surat ini, mari kita merenung, apa sebenarnya yang didapatkan orang tua dengan menyeret guru ke meja hijau gara-gara mencubit anaknya? mari kita selesaikan setiap permasalahan dengan kepala dingin. Kedepankan musyawarah dan kekeluargaan dalam mencari solusi. Daripada saling melaporkan ke aparat kepolisian, lebih baik mari sama-sama melakukan introspeksi diri telah sejauh mana guru dan orang tua berbagi peran dalam mendidik anak? Mari saling melengkapi, bukan saling mengandalkan. Mari saling memperbaiki bukan saling menyalahkan.

Cukup, sekali lagi cukup sudah. Jangan ada lagi ada kasus-kasus guru yang dikriminalisasi gara-gara memberikan hukuman kepada muridnya, karena hal ini menjadi preseden buruk terhadap dunia pendidikan kita. Guru silakan lakukan tugasnya secara profesional dengan mengacu kepada empat kompetensi guru, yaitu (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi kepribadian, dan (4) kompetensi sosial, sementara peran orang tua pun sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak harus semakin diperkuat. Mari berdamai dan berjabat tangan, bersinergi mendidik generasi penerus bangsa untuk melahirkan manusia yang cerdas dan berbudi pekerti luhur. Wallaahu a’lam.

Penulis, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun