Oleh:
IDRIS APANDI
Siang ini, seperti biasa, kantin penuh oleh orang yang makan siang. Pak Kumis dan Mamah Dedeh, begitu sang pedagang disapa sibuk melayani pembeli. Dan Saya yang termasuk yang ikut merepotkannya karena Saya memesan makanan dan segelas jeruk panas. Sambil makan siang, Saya memindahkan channel TV dari sinetron India kesukaan Mamah Dedeh, dan mencari program berita. Jam 12-an memang beberapa stasiun berita menayangkan program berita.
Pada program berita yang Saya tonton membahas tentang Peringatan Hari Anti Tembakau Se-dunia yang diperingati setiap tanggal 31 Mei. Pada pada hari itu, diisi dengan kampanye anti tembakau atau rokok, dan salah satunya adalah para perokok dihimbau untuk tidak merorok sehari saja bertepatan dengan Hari Anti Tembakau Sedunia, sukur-sukur bisa lanjut berhenti merokok, tetapi tampaknya peringatan Hari Anti Tembakau Se-Dunia sudah kehilangan ruh. Itulah setidaknya kesan Saya ketika Saya melihat orang-orang yang datang ke kantin membeli rokok dan bebas merokok.
Urusan rokok memang urusan pelik dan menjadi pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, bahkan di kalangan pembuat aturan (legislatif dan eksekutif pun) belum satu suara urusan rokok. Rokok adalah salah satu penghasil devisa negara. Banyak petani tembakau dan buruh pabrik rokok yang menggantungkan nasibnya dari rokok. Walau demikian, biaya kesehatan yang harus ditanggung gara-gara rokok juga jauh lebih besar daripada devisa dari rokok. Yang pasti, beberapa orang terkaya di Indonesia adalah pengusaha rokok, dan uniknya mereka justru tidak merokok.
Semua tahu bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan. Pada satu batang rokok terdapat sedikitnya 4000 zat beracun. Dulu pada bungkus rokok tertulis rokok dapat menyebabkan gangguan jantung, kehamilan, janin, dan penyakit lainnya. Dan kini, peringatannya lebih menyeramkan lagi. Pada bungkus rokok tertulis peringatan “Rokok Membunuhmu” dan juga terdapat gambar-gambar seram untuk mengingatkan bahaya rokok.
Tetapi ternyata peringatan-peringatan tersebut tidak berpengaruh bagi pecandu rokok. Tiap tahun jumlah perokok justru semakin meningkat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013, perokok aktif mulai dari usia 10 tahun ke atas berjumlah 58.750.592 orang. Jumlah tersebut terdiri dari 56.860.457 perokok laki-laki dan 1.890.135 perokok perempuan. Hasil penelitian pun menunjukkan, setiap hari ada 616.881.205 batang di Indonesia atau 225.161.640.007 batang rokok dibakar setiap tahunnya. Jika harga 1 batang rokok Rp 1.000, maka uang yang dikeluarkan lebih dari 225 trilyun Rupiah. (Kompas, 03/06/2015). Jumlah penduduk usia 10 tahun yang merokok sebanyak 24,3% dan belanja rokoknya, setiap hari Rp 605.004.150.000. (Money.id, 31/05/2016).
Berdasarkan survei Lembaga swadaya masyarakat Lentera Anak Indonesia, anak perokok jumlahnya terus naik, 45 persen remaja berusia 13-19 adalah perokok, sementara data Global Youth Tobacco Survey menyebutkan Indonesia merupakan negara dengan jumlah remaja perokok terbesar di Asia. (Liputan 6, 05/12/2014).
Seremonial
Saya melihat bahwa Hari Anti Tanpa Tembakau yang diperingati setiap tanggal 31 Mei 2016 hanya bersifat seremonial. Di kalangan pemerintah pun, hanya pihak kementerian kesehatan saja yang masih bersuara terhadap bahaya rokok. Sikap ini seolah bertentangan dengan sikap kementerian perindustrian, perdagangan, atau juga pertanian yang tidak mau terlalu ambil pusing terhadap urusan rokok, karena bagi ketiga kementerian tersebut, rokok berkaitan dengan devisa negara dan hajat hidup orang banyak. LSM pun sebenernya masih ada yang melakukan kampanye anti tembakau, tapi itu pun kalah dengan ketidakpedulian para perokok.
Harga Rokok Dinaikkan?
Untuk menekan jumlah perokok, ada usul agar harga rokok dinaikkan seperti di luar negeri. Saya berani mengatakan bahwa upaya tersebut tidak akan berhasil menekan jumlah perokok. Mengapa demikian? Karena disaat harga rokok dinaikkan, akan muncul rokok-rokok alternatif dengan harga yang lebih murah.
Saya juga berani mengatakan ketika harga rokok dinaikkan, tidak akan ada yang demo menuntut harga rokok diturunkan seperti halnya demo menuntut menurunkan harga BBM atau harga sembako. Mengapa demikian? Karena rokok bukan dianggap sebagai kebutuhan pokok. Walau demikian, sebenarnya penghasilan kaum miskin banyak yang tersedot untuk membeli rokok. Seorang warga miskin dalam sehari menghabiskan minimal satu bungkus rokok dengan harga antara Rp 15.000-20.000/ bungkus. Berarti dalam satu bulan dia menghabiskan uang Rp 450.000-600.000 hanya untuk rokok. Jika digunakan untuk biaya sekolah anaknya, tentunya akan lebih bermanfaat.
Pemerintah mengingatkan kepada warga miskin yang mendapatkan bantuan seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Program Keluarga Harapan (PKH) untuk tidak menggunakannya bantuan tersebut untuk membeli rokok, tapi siapa yang bisa menjamin? Bagi seorang pecandu rokok, lebih baik tidak makan daripada tidak merokok. Ketika harga rokok yang biasa dihisap naik, maka dia akan mencari rokok yang harganya lebih murah walau kenikmatannya sedikit berkurang. Yang penting masih bisa merokok.
Kebiasaan merokok orang tua di rumah ikut mempengaruhi lahirnya perokok-perokok baru karena anaknya diberi contoh oleh orang tuanya merokok. Belum lagi pergaulan di luar yang rentan dengan rokok. Anak yang bergaul dengan kelompok perokok, untuk dapat diterima oleh kelompoknya, maka dia harus ikut merokok. Dan, merokok diidentikkan sebagai simbol kejantanan atau gaya hidup gaul. Merokok sebagai teman dalam bekerja supaya tidak mengantuk, dan merokok untuk menghilangkan stres.
Iklan rokok yang menampilkan bintang-bintang iklan yang ganteng, cantik, dan macho mendorong orang untuk merokok. Walau iklan rokok baru muncul pada waktu malam hari, tetapi pada jam itu, tidak tertutup kemungkinan masih banyak anak dan remaja yang belum tidur. Selain iklan di TV, mereka juga melihat iklan di papan-papan reklame dan warung-warung. Fatwa haram rokok dan kampanye anti rokok juga tidak berpengaruh terhadap berkurangnya jumlah perokok.
Menggunakan Kartu Identitas
Pada bungkus rokok tertulis rokok hanya untuk yang berusia 18 tahun ke atas (18+) tetapi faktanya banyak anak di bawah usia 18 tahun yang dapat dengan bebas membeli rokok. Pedagang rokok pun melayani begitu saja jika ada anak kecil yang membeli rokok. Aturan bahwa yang membeli rokok harus memperlihatkan kartu identitas tidak dilaksanakan secara konsisten. Bagi pedagang yang penting dagangan laku terjual, tidak perlu repot dengan meminta kartu identitas. Apalagi di Indonesia, rokok bisa dijual secara eceran alias batangan.
Sulit melarang orang yang sudah terlanjur menjadi pecandu perokok untuk berhenti merokok. Bagi mereka merokok adalah “energi”, kebutuhan, dan gaya hidup. Mungkin hanya hidayah atau peringatan Tuhan seperti sakit berat akibat rokok akan membuatnya berhenti merokok.
Penulis, Pemerhati Masalah Sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H