Untuk menekan jumlah perokok, ada usul agar harga rokok dinaikkan seperti di luar negeri. Saya berani mengatakan bahwa upaya tersebut tidak akan berhasil menekan jumlah perokok. Mengapa demikian? Karena disaat harga rokok dinaikkan, akan muncul rokok-rokok alternatif dengan harga yang lebih murah.
Saya juga berani mengatakan ketika harga rokok dinaikkan, tidak akan ada yang demo menuntut harga rokok diturunkan seperti halnya demo menuntut menurunkan harga BBM atau harga sembako. Mengapa demikian? Karena rokok bukan dianggap sebagai kebutuhan pokok. Walau demikian, sebenarnya penghasilan kaum miskin banyak yang tersedot untuk membeli rokok. Seorang warga miskin dalam sehari menghabiskan minimal satu bungkus rokok dengan harga antara Rp 15.000-20.000/ bungkus. Berarti dalam satu bulan dia menghabiskan uang Rp 450.000-600.000 hanya untuk rokok. Jika digunakan untuk biaya sekolah anaknya, tentunya akan lebih bermanfaat.
Pemerintah mengingatkan kepada warga miskin yang mendapatkan bantuan seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Program Keluarga Harapan (PKH) untuk tidak menggunakannya bantuan tersebut untuk membeli rokok, tapi siapa yang bisa menjamin? Bagi seorang pecandu rokok, lebih baik tidak makan daripada tidak merokok. Ketika harga rokok yang biasa dihisap naik, maka dia akan mencari rokok yang harganya lebih murah walau kenikmatannya sedikit berkurang. Yang penting masih bisa merokok.
Kebiasaan merokok orang tua di rumah ikut mempengaruhi lahirnya perokok-perokok baru karena anaknya diberi contoh oleh orang tuanya merokok. Belum lagi pergaulan di luar yang rentan dengan rokok. Anak yang bergaul dengan kelompok perokok, untuk dapat diterima oleh kelompoknya, maka dia harus ikut merokok. Dan, merokok diidentikkan sebagai simbol kejantanan atau gaya hidup gaul. Merokok sebagai teman dalam bekerja supaya tidak mengantuk, dan merokok untuk menghilangkan stres.
Iklan rokok yang menampilkan bintang-bintang iklan yang ganteng, cantik, dan macho mendorong orang untuk merokok. Walau iklan rokok baru muncul pada waktu malam hari, tetapi pada jam itu, tidak tertutup kemungkinan masih banyak anak dan remaja yang belum tidur. Selain iklan di TV, mereka juga melihat iklan di papan-papan reklame dan warung-warung. Fatwa haram rokok dan kampanye anti rokok juga tidak berpengaruh terhadap berkurangnya jumlah perokok.
Menggunakan Kartu Identitas
Pada bungkus rokok tertulis rokok hanya untuk yang berusia 18 tahun ke atas (18+) tetapi faktanya banyak anak di bawah usia 18 tahun yang dapat dengan bebas membeli rokok. Pedagang rokok pun melayani begitu saja jika ada anak kecil yang membeli rokok. Aturan bahwa yang membeli rokok harus memperlihatkan kartu identitas tidak dilaksanakan secara konsisten. Bagi pedagang yang penting dagangan laku terjual, tidak perlu repot dengan meminta kartu identitas. Apalagi di Indonesia, rokok bisa dijual secara eceran alias batangan.
Sulit melarang orang yang sudah terlanjur menjadi pecandu perokok untuk berhenti merokok. Bagi mereka merokok adalah “energi”, kebutuhan, dan gaya hidup. Mungkin hanya hidayah atau peringatan Tuhan seperti sakit berat akibat rokok akan membuatnya berhenti merokok.
Penulis, Pemerhati Masalah Sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H