Oleh:
IDRIS APANDI
Saat itu, di sebuah ruang tunggu penumpang, Saya beserta beberapa orang teman sedang menunggu pesawat menuju ke Padang. Para calon penumpang melakukan berbagai aktivitas mengusir kebosanan menunggu pesawat. Ada yang hanya duduk-duduk, diam, menikmati makanan atau minuman di kedai, dan bermain gadget.
Dari sekian banyak hiruk pikuk calon penumpang, pandangan Saya tertuju kepada dua orang calon penumpang. Mereka adalah dua orang perempuan muda yang begitu asyik menikmati lembar demi lembar novel yang mereka baca. Jika diperhatikan, mereka bersaudara, sambil membaca, mereka sesekali berbicara.
Sambil duduk, Saya mendokumentasikan aktivitas mereka, karena bagi Saya, aktivitas mereka menarik, karena diantara sekian banyak calon penumpang yang memanfaatkan waktunya untuk bermain gadget,mereka memanfaatkan waktu untuk membaca, hal yang tentunya bermanfaat.
Singkat cerita, pesawat yang kami tuggu pun telah datang, lalu Saya dan beberapa orang teman pun bergegas pergi ke tempat tujuan. Sambil berjalan, Saya tetap mengarahkan pandangan mata Saya kepada mereka berdua hingga akhirnya Saya tidak dapat melihatnya.
Melihat aktivitas mereka, Saya merasa seperti diingatkan bahwa aktivitas membaca merupakan hal yang penting, membaca harus menjadi kebutuhan, kebiasaan, dan gaya hidup. Aktivitas membaca dapat dilakukan dimanapun dan kapan pun, yang penting ada kemauan untuk membaca.
Saat ini pemerintah tengah memasyarakatkan budaya membaca melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Sebagai langkah awal, gerakan ini menyisir para para siswa. mereka diwajibkan membaca buku non pelajaran selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Selain itu, tentu diharapkan mereka dapat memanfaatkan perpustakaan atau sudut baca untuk membaca buku. Saat ini, banyak sekolah yang memiliki perpustakaan sekolah yang cukup representatif dengan koleksi buku yang beragam dan berkualitas sehingga memberikan cukup banyak pilihan kepada siswa, dan membaca pun menjadi aktivitas yang menyenangkan.
GLS hanyalah sebuah pemicu (trigger) untuk membangun dan membumikan budaya literasi di sekolah. Waktu 15 menit sebenarnya terlalu singkat untuk melakukan aktivitas membaca, apalagi membaca yang bersifat mendalam, bukan skimming. Walau demikian, hal ini dapat dibaca sebagai sebuah kemauan politik (political will) dari pemerintah agar masyarakatnya rajin membaca.
Aktivitas membaca selama ini diidentikkan dengan pelajar, mahasiswa, guru, dosen, widyaiswara, dan para praktisi pendidikan. Seolah kalangan tersebut yang memiliki kewajiban membaca, sementara masyarakat dengan pekerjaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan pendidikan, tidak memiliki kewajiban membaca, atau tidak sempat membaca, padahal membaca adalah kewajiban setiap manusia.
Banyak buku yang dapat dibaca sesuai dengan pekerjaan, minat, atau hobi masing-masing. Seorang petani membaca tentang bagaimana cara bercocok tanam yang baik, dan bagaimana cara membasmi hama. Seorang pedagang membaca bagaimana cara membangun usaha, memasarkan produknya, membaca tips-tips usaha dari pengusaha sukses. Seorang teknisi bengkel membaca tentang cara memperbaiki kendaraan yang rusak, seorang pecinta traveling membaca tentang tempat-tempat wisata yang terkenal, seorang ayah atau ibu membaca tips-tips mendidik anak, dan sebagainya. Intinya, banyak hal yang dapat dibaca.