Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Literasi atau Mati

25 Mei 2016   14:59 Diperbarui: 26 Mei 2016   07:51 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membaca. Sumber: beritasatu.com

Oleh:

IDRIS APANDI

Literasi saat ini menjadi gerakan masif di tanah air. Gerakan ini luncurkan oleh Kemendikbud tahun 2015 untuk meningkatkan minat baca masyarakat yang masih minim. Tercatat hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang suka membuka buku, selebihnya, belum menjadikan membaca sebagai kebutuhan apalagi menjadi gaya hidup.

Bak gayung bersambut, gerakan ini juga mendapatkan dukungan dari sekolah, dan berbagai elemen masyarakat. Sekolah melaksanakan gerakan membaca buku selain buku teks selama 15 menit sebelum kegiatan belajar dimulai, didirikannya pojok-pojok bacaan (reading corner) di ruang-ruang kelas, tantangan membaca (reading challenge),dan melaporkannya pada saat upacara bendera.

Berbagai seminar dan pelatihan berkaitan dengan literasi pun banyak dilaksanakan baik oleh pemerintah, organisasi profesi guru, maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Para peserta cukup antusias menyambut program ini karena mereka sadar hal ini sangat penting. Kebiasaan membaca merupakan ciri atau karakter manusia yang beradab.

Taman-taman Bacaan (TBM) dan perpustakaan desa pun mulai bergeliat kembali setelah sekian lama “tertidur”. Para pengurus PKK dan para relawan membenahi perpustakaan desa dan mendirikan TBM. Hal ini tentunya sangat baik karena mereka adalah ujung tombak gerakan literasi di lingkunganya masing-masing.

Walau terlambat, munculnya gerakan literasi patut mendapat dukungan dari semua pihak. Negara kita sudah terlalu lama terlena dengan budaya bicara, dan lupa terhadap budaya baca, apalagi budaya tulis, masih jauh dari harapan. Saat ini budaya baca tengah rintis dan dibangkitkan untuk mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain seperti Jepang dan Korea yang dikenal sebagai bangsa yang memiliki tingkat literasi tinggi.

Membangun kebiasaan membaca pada tahap awal pasti akan berat. Oleh karena itu, perlu proses dan harus dilakukan secara bertahap. Pilihlah buku atau bahan bacaan yang sesuai dengan minat atau pekerjaan kita. Luangkan waktu antara 15 sampai 30 menit untuk membaca buku. Singkirkan dulu gadget dan matikan dulu TV selama waktu mambaca. Utamanya, kuatkan niat untuk membaca.

Gerakan literasi disamping bertujuan membangun dan meningkatkan minat baca, juga dilakukan supaya kita tidak “mati”. Maksud mati di sini adalah supaya tidak mati dari peradaban, mati dari pergaulan, mati dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi, mati dari ide (untuk menulis), serta supaya pikiran kita tidak cepat pikun, karena beberapa kajian menyimpulkan bahwa membaca mampu mencegah kepikunan. Dengan kata lain, membaca sebagai sebuah terapi atau membaca itu menyehatkan.

Peradaban manusia dan perkembangan informasi, teknologi dan informasi yang berjalan begitu cepat menuntut kita harus selalu meng-update informasi, caranya tentunya dengan membaca. Kebiasaan membaca menjaga agar otak kita tetap aktif berpikir, mata kita tetap aktif melihat hal yang positif, perhatian kita tetap fokus, dan hati kita pun bisa puas karena mendapatkan informasi atau ilmu baru.

Membaca harus menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Bukankah ajaran agama Islam juga memerintahkan untuk iqra(baca)Membaca harus menjadi sebuah gerakan massal. Untuk mewujudkan hal tersebut, di samping perlu niat yang kuat dari manusianya itu sendiri, juga perlu ditunjang oleh sistem. 

Di samping diterbitkan regulasi, juga sarana dan prasarananya juga disediakan. Misalnya, selain di sekolah, sudut-sudut baca juga didirikan di tempat-tempat umum seperti terminal, bandara, pelabuhan, pasar, mall, rumah makan, rumah sakit, kereta api, bis, kapal laut, dan pesawat terbang. Sambil melengkapi sarananya, manusia-manusianya juga perlu diberikan edukasi agar mau membaca, diberikan penyadaran tentang pentingnya membaca, dan dibiasakan membaca.

Politik Perbukuan

Gerakan literasi juga perlu didukung oleh politik perbukuan. Salah satu alasan orang Indonesia malas membeli buku adalah harga buku yang mahal, walau kadang sifat mahal tersebut relatif, hilangkan pajak buku, dan semakin sering menyelenggarakan pameran buku agar masyarakat antusias membeli buku karena biasanya suka ada diskon pada saat pameran.

Saya berharap bahwa gerakan literasi bukan hanya sebuah gerakan ceremonial, yang semarak pada saat dilaunching,tetapi setelah itu mati suri, tetapi memang benar-benar dijalankan dan didukung oleh para pemangku kepentingan. Gerakan literasi adalah sebuah perjuangan memerdekaan pola pikir manusia dari keterbelakangan. Oleh karena itu, saatnya katakan literasi atau mati...!!!

Penulis, Widyaswara LPMP Jawa Barat, Pegiat Literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun