Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hati-hati dengan Keganasan “Virus Menulis”

4 April 2016   17:10 Diperbarui: 4 April 2016   22:25 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Menulis adalah aksi bukan sekedar wacana dan rencana. (Ilustrasi : blogs.montclair.edu)"][/caption]Jika Anda ingin bertanya tentang nikmatnya menulis, maka silakan tanya kepada para penulis-penulis tenar saat ini seperti Asma Nadia, Dewi Lestari, Andrea Hirata, Raditya Dika, Habiburrahman Elshirazy, atau penulis-penulis lainnya. Karya-karya mereka  menjadi best seller, bahkan telah dibuat menjadi film atau sinetron.

Mengapa mereka begitu aktif dan produktif menulis? Mungkin mereka menjawab karena sangat menikmati aktivitasnya tersebut. Menulis yang pada awalnya menjadi beban, kebutuhan, bergeser menjadi hobi, dan kemudian menjadi profesi. Dengan kata lain, menulis telah menjadi dunia sekaligus gaya hidupnya.

Menulis bagi banyak orang merupakan beban. Bukan hanya kalangan orang biasa, kalangan akademisi seperti guru, dosen, widyaiswara, peneliti pun banyak yang mengalami kesulitan menulis. Mereka menulis kadang terpaksa hanya untuk memenuhi syarat kenaikan pangkat saja, bukan panggilan jiwa. Tetapi bagian sebagian kecil, menulis itu semudah membalikkan telapak tangan. Apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dibayangkan, dilakukan, didiskusikan bisa menjadi inspirasi menjadi sebuah tulisan. Sastrawan dan budayawan seperti Taufik Ismail, WS Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono ibarat mesin penulis yang tanpa henti dan tanpa lelah terus menulis. Karya-karyanya sudah banyak menghiasi lemari buku dan rak perpustakaan para penikmat karya-karyanya.

Para penulis yang Saya sebut di atas adalah orang-orang yang telah keranjingan “virus menulis”. “Virus” tersebut mengalir dalam darahnya dan jantungnya. Detak jantungnya adalah menulis dan menulis. Ide mereka tidak ada matinya. Virus menulis bukannya membuat mereka jadi lemah dan sakit, tetapi membuat mereka makin kuat dan makin produktif. Sebaliknya, justru mereka akan akan “sakit”, otaknya akan “beku” jika mereka tidak menulis. Mereka menulis semudah berbicara. Kata, kalimat, paragraf mengalir, tersusun rapi menjadi sebuah karya yang berkualitas dan fenomenal. Imajinasi mereka terus melayang dan semakin “menggila” hingga sulit untuk terbendung.

Hati-hati terhadap “virus menulis”. Sekali terserang virus tersebut, susah untuk sembuh dan tidak ingin sembuh. Maunya terus terjangkiti virus tersebut. Semakin hebat  “virus” tersebut “menyerang” tubuh, maka dia akan semakin ketagihan menulis, semakin produktif, kepekaannya semakin terasah, kajian dan analisisnya semakin tajam, serta semakin bertambah karyanya.

Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa sastrawan dan budayawan tersebut akan menulis puisi sampai mati, sampai maut menjmput nyawa dari raga. Baginya menulis adalah sumber kebahagiaan. Menulis adalah dorongan hati demi mencapai karya terbaik. Hal ini menandakan bahwa menulis telah menjadi denyut nadinya dan telah menjadi bagian dari kehidupannya. Beliau pun sangat mencintai aktivitasnya menulis. Hal ini perlu dicontoh oleh para penulis pemula atau orang yang baru belajar menulis seperti Saya.

Menulis adalah mengukir sejarah. Tulisan yang dihasilkan akan menjadi saksi bisu bahwa kita pernah ada dan pernah berkarya. Sang penulis bisa mati, tapi karyanya tidak akan pernah mati. Hasil-hasil pikirannya akan tetap ada mewarnai kehidupan manusia. Karya tulis adalah warisan terbaik yang diberikan kepada ahli waris dan kepada peradaban.

Pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar “virus” menulis menjangkiti diri kita? Menurut Saya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, menulislah dengan merdeka. Tulislah apa yang ingin ditulis secara bebas. Jangan terlalu memikirkan teori-teori dan aturan tata cara menulis, karena hal tersebut hanya akan menghentikan menulis.

Kedua, jadikanlah menulis sebagai aktivitas rutin. Sempatkan menulis walau hanya satu atau beberapa paragraf. Apa yang ditulis? Ya macam-macam. Bisa pengalaman perjalanan ke tempat kerja yang diwarnai kemacetan, pengalaman makan siang di sebuah tempat bersama-sama dengan teman satu kantor, mendapat hadiah yang tidak terduga,  curhat karena proposal penelitian ditolak dosen pembimbing, dan sebagainya. Dari aktivitas rutin tersebut, insya Allah akan menjadi kebiasaan, hobi,  dan gaya hidup.

Ketiga,  membaca buku-buku tentang menulis dan tulisan-tulisan para penulis. prinsip ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi) bisa kita lakukan. Tahap awal, Anda bisa meniru gaya menulis pavorit Anda, tetapi dengan semakin sering menulis, Anda akan menemukan gaya atau karakteristik menulis Anda sendiri.

Di akhir tulisan ini, Saya hanya ingin mengingatkan kepada pembaca, hati-hati terkena “virus menulis” karena sekali anda terkena “virus” tersebut, anda tidak mau diobati dan dan tidak mau sembuh. Waspadalah....!!!

 

Catatan Senin Sore, 4 April 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun