Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Meneliti Bukan Tugas Utama Guru

23 Maret 2016   16:09 Diperbarui: 24 Maret 2016   09:42 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Seorang guru sedang memberikan penjelasan kepada para peserta didiknya. (Foto: seputarmakasssar.com)"][/caption]Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Guru dan Dosen menyatakan bahwa, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”

Pelaksanaan tugas utama guru tersebut pada kenyataannya telah menjadi aktivitas rutin guru di unit kerjanya masing-masing. Dalam konteks pembelajaran, tugas guru mulai dari merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi hasil belajar peserta didik, menyusun dan melaksanakan program tindak lanjut baik dalam bentuk pengayaan atau pun remedial.

Berkaitan dengan adanya kewajiban guru untuk menulis Karya Tulis Ilmiah (KTI) khususnya Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sebagai syarat kenaikan pangkat, pasal tersebut di atas menjadi dasar bagi organisasi profesi guru seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) untuk menolak kebijakan tersebut, dengan alasan bahwa meneliti adalah tugasnya dosen/peneliti, bukan tugasnya guru.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa adanya kewajiban guru menulis KTI/PTK adalah sebuah “horor” dan memberatkan bagi guru. Hal ini disebabkan karena guru belum terbiasa menulis dan meneliti. Karya tulis terakhir yang dibuatnya mungkin adalah skripsi sebagai syarat menyelesaikan pendidikan sarjana.

Pasca diangkat menjadi guru, para guru memang banyak yang “terjebak” kepada aktivitas rutinnya mengajar peserta didik, dan relatif kurang tertarik untuk menulis KTI dengan berbagai alasan, ditambah pemerintah dan organisasi profesi guru pun sangat jarang melaksanakan pelatihan menulis kepada semua guru.

Adanya kewajiban menulis KTI/PTK sebagai syarat kenaikan pangkat membuat banyak guru mengambil jalan pintas, yaitu dengan melakukan copy-paste laporan PTK milik orang lain, men-download di Google dan memodifikasinya. Atau bisa juga “membeli” dari oknum penyedia jasa penulisan KTI/PTK. Hal tersebut, di samping sebuah pelanggaran hukum, juga menodai citra guru yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan profesionalisme.

Pelatihan menulis KTI baru booming setelah adanya kewajiban guru golongan IV/a menulis KTI dan banyak yang tersendat naik pangkat karena tidak mampu menulis KTI. Apalagi saat ini, guru mulai golongan III/b jika mau naik pangkat ke golongan yang lebih tinggi, harus mulai menulis KTI. Jika hal ini tidak diantisipasi, maka ke depan guru golongan III/b akan banyak yang tersendat naik pangkat.

Saya pernah bertanya kepada guru golongan IV yang mengajukan berkas kenaikan pangkat, "Mengapa menulis KTI/PTK?" Guru tersebut menjawab dengan nada berat. Dia mengaku “terpaksa” menulis KTI/PTK karena untuk bisa naik pangkat disyaratkan harus menulis KTI/PTK. Jawaban yang sama pun disampaikan disampaikan guru-guru lainnya. Intinya, mereka menulis KTI/PTK bukan sebagai bentuk pengembangan profesi, tetapi sebagai bentuk keterpaksaan karena ingin naik pangkat.

Dalam Undang-undang Guru dan Dosen memang tidak secara eksplisit mencantumkan adanya pasal atau ayat menyatakan bahwa guru wajib melakukan penelitian. Huruf (a) Pasal 20 UUGD menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Selanjutnya huruf (b) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan  seni. Pada kedua diktum tersebut tidak ada kewajiban guru untuk meneliti.

Selanjutnya, pasal 8 Permenpan Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya menyebutkan “Guru berwenang memilih dan menentukan materi, strategi, metode, media pembelajaran/bimbingan dan alat penilaian/evaluasi dalam melaksanakan proses pembelajaran/bimbingan untuk mencapai hasil pendidikan yang bermutu sesuai dengan kode etik profesi guru. Juga tidak tercantum adanya kewajiban guru melakukan penelitian, sehingga wajar banyak guru yang berkeberatan, karena dalam pandangan mereka meneliti bukan menjadi tugas utama mereka. Oleh karena itu, organisasi profesi seperti PGRI menuntut agar syarat menulis KTI/PTK sebagai syarat kenaikan pangkat guru dihilangkan.

Adalah benar bahwa kewajiban meneliti bagi guru secara eksplisit tidak tercantum sebagai tugas utama guru, tetapi mari kita telaah kewajiban guru sebagai mana tercantum pada UUGD pasal 20 huruf (a) dan (b) serta pasal 8 Permenpan-RB nomor 19 tahun 2009. Pada kedua aturan tersebut guru wajib melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu. Pada kenyataannya, guru banyak yang belum mewujudkannya. Pembelajaran berjalan secara datar, asal selesai, asal habis materi pelajaran, sehingga pembelajaran berlangsung membosankan. Hal ini berdampak terhadap rendahnya minat, aktivitas, dan hasil belajar peserta didik. Belum lagi, ada siswa yang memiliki kesulitan memahami materi yang disampaikan oleh guru.

Kondisi ini terjadi sebagai akibat guru yang belum menerapkan pendekatan, model, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik bahan ajar  dan  kebutuhan peserta didik, belum menggunakan media pembelajaran atau alat peraga yang sesuai untuk menunjang penyampaian materi pelajaran.

Masalah tersebut tentunya harus segera diatasi oleh guru. Guru dituntut untuk mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Selain itu, juga untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. Tentunya hal tersebut tidak bisa sim salabim alias butuh proses. Dan proses itu bernama Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Oleh karena itu, walau bukan tugas utama guru, penelitian yang dilakukan oleh guru adalah sebagai upayanya dalam mewujudkan pembelajaran yang bermutu sebagaimana yang diamanatkan UUGD.

Adanya kewajiban guru menulis KTI/PTK pada pada dasarnya di samping sebagai bentuk pengembangan profesinya, juga untuk mendorong guru agar memiliki budaya membaca dan menulis, karena dengan melakukan penelitian, tentunya guru otomatis dipaksa untuk membaca dan menulis, lalu menyusunnya menjadi sebuah laporan PTK.

Saya yakin, pada dasarnya guru sudah menemukan dan menyadari adanya masalah dalam pembelajaran, serta berkeinginan untuk menyelesaikannya, tetapi tidak dipungkiri bahwa banyak guru mengalami kendala dalam menentukan alternatif penyelesaiannya, menyusun tahapan-tahapan penyelesaiannya, dan menuliskannya menjadi sebuah laporan hasil penelitian yang memenuhi kaidah atau kriteria sebuah Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang dapat diakui angka kreditnya.

Ada guru yang telah mencoba melakukan PTK, menyusun laporannya, dan mengajukannya kepada tim penilai, tetapi kadang putus asa karena laporan PTK yang diajukannya ditolak oleh Tim Penilai tanpa alasan yang jelas, walau sebenarnya aturannya mewajibkan Tim Penilai membuat jawaban atau tanggapan perihal penolakan KTI/PTK tersebut agar guru mengetahui dan dapat menindaklanjutinya, baik perlu diperbaiki atau menyusun KTI baru.

Tidak dapat dipungkiri juga, walau ada pedoman penilaian, juga suka terjadi perbedaan pendapat atau persepsi antar tim penilai menyebabkan KTI yang diajukan guru sehingga banyak KTI yang ditolak. Hal tersebut tentunya menjadi beban bagi guru yang notabene dengan susah payah menulis KTI/PTK. Oleh karena itu, para guru disamping perlu menulis KTI/PTK sesuai dengan sistematika yang telah ditentukan, para penilai pun  harus memiliki persepsi yang sama dalam menilai sebuah KTI/PTK agar guru tidak rugikan.

Menurut saya, jika ada ketidaksesuaian pada KTI/PTK dengan pedoman yang telah ditentukan, sepanjang ketidaksesuaian tersebut masih bisa ditolerir, tidak terlalu parah, serta tidak menghilangkan substansinya sebagai sebuah KTI/PTK, maka penilai harus bersikap bijak dalam memberikan penilaian, jangan terlalu kaku.

Mengingat bahwa menulis KTI/PTK menjadi syarat kenaikan pangkat guru, para guru harus memiliki inisiatif untuk belajar dan mulai menulis KTI/PTK. Para guru juga dapat memanfaatkan organisasi profesi guru seperti KKG/MGMP/MGBK sebagai sarana untuk berlatih menulis PTK. Mereka dapat meminta bantuan rekan sejawat yang telah mahir menulis KTI/PTK untuk membimbing mereka. Jika tidak ada yang sanggup, mereka juga dapat mengundang Widyaiswara atau dosen yang memiliki kompetensi dalam menulis KTI/PTK untuk membimbing mereka.

Selain itu, pemerintah pun perlu memfasilitasi pelatihan menulis KTI/PTK bagi guru-guru agar mampu menulis KTI/PTK. Dan pelatihan yang diselenggarakan bukan pelatihan yang asal dilaksanakan, tetapi harus dilakukan secara berkelanjutan, yaitu dari awal sampai dengan guru mampu membuat sebuah produk KTI/PTK.

Pengalaman menunjukkan bahwa banyak seminar atau pelatihan menulis PTK/KTI yang diselenggarakan baik oleh sekolah, organisasi profesi guru, LSM, atau pemerintah berlangsung singkat, hanya beberapa jam saja dan itu pun bersifat teoritis. Padahal yang diperlukan  guru adalah pengetahuan dan keterampilan teknis menulis KTI/PTK. Belum lagi dengan jumlah peserta yang banyak dan sarana atau tempat yang kurang memadai, sehingga pelatihan tersebut berjalan kurang efektif.  Sehabis seminar atau pelatihan, guru-guru tetap saja bingung ketika mau mau mulai menulis.

Di samping pelatihan yang teroganisasi dengan baik, guru pun harus memiliki komitmen yang kuat untuk mau menulis KTI/PTK, karena sebagus apapun sebuah pelatihan, sehebat sehebat apapun narasumber yang didatangkan, jika gurunya tidak memiliki komitmen yang kuat untuk mulai menulis, maka harapan untuk mewujudkan guru yang kompeten dalam menulis PTK/KTI sulit terwujud.

Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun