Kondisi ini terjadi sebagai akibat guru yang belum menerapkan pendekatan, model, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik bahan ajar  dan  kebutuhan peserta didik, belum menggunakan media pembelajaran atau alat peraga yang sesuai untuk menunjang penyampaian materi pelajaran.
Masalah tersebut tentunya harus segera diatasi oleh guru. Guru dituntut untuk mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Selain itu, juga untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. Tentunya hal tersebut tidak bisa sim salabim alias butuh proses. Dan proses itu bernama Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Oleh karena itu, walau bukan tugas utama guru, penelitian yang dilakukan oleh guru adalah sebagai upayanya dalam mewujudkan pembelajaran yang bermutu sebagaimana yang diamanatkan UUGD.
Adanya kewajiban guru menulis KTI/PTK pada pada dasarnya di samping sebagai bentuk pengembangan profesinya, juga untuk mendorong guru agar memiliki budaya membaca dan menulis, karena dengan melakukan penelitian, tentunya guru otomatis dipaksa untuk membaca dan menulis, lalu menyusunnya menjadi sebuah laporan PTK.
Saya yakin, pada dasarnya guru sudah menemukan dan menyadari adanya masalah dalam pembelajaran, serta berkeinginan untuk menyelesaikannya, tetapi tidak dipungkiri bahwa banyak guru mengalami kendala dalam menentukan alternatif penyelesaiannya, menyusun tahapan-tahapan penyelesaiannya, dan menuliskannya menjadi sebuah laporan hasil penelitian yang memenuhi kaidah atau kriteria sebuah Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang dapat diakui angka kreditnya.
Ada guru yang telah mencoba melakukan PTK, menyusun laporannya, dan mengajukannya kepada tim penilai, tetapi kadang putus asa karena laporan PTK yang diajukannya ditolak oleh Tim Penilai tanpa alasan yang jelas, walau sebenarnya aturannya mewajibkan Tim Penilai membuat jawaban atau tanggapan perihal penolakan KTI/PTK tersebut agar guru mengetahui dan dapat menindaklanjutinya, baik perlu diperbaiki atau menyusun KTI baru.
Tidak dapat dipungkiri juga, walau ada pedoman penilaian, juga suka terjadi perbedaan pendapat atau persepsi antar tim penilai menyebabkan KTI yang diajukan guru sehingga banyak KTI yang ditolak. Hal tersebut tentunya menjadi beban bagi guru yang notabene dengan susah payah menulis KTI/PTK. Oleh karena itu, para guru disamping perlu menulis KTI/PTK sesuai dengan sistematika yang telah ditentukan, para penilai pun  harus memiliki persepsi yang sama dalam menilai sebuah KTI/PTK agar guru tidak rugikan.
Menurut saya, jika ada ketidaksesuaian pada KTI/PTK dengan pedoman yang telah ditentukan, sepanjang ketidaksesuaian tersebut masih bisa ditolerir, tidak terlalu parah, serta tidak menghilangkan substansinya sebagai sebuah KTI/PTK, maka penilai harus bersikap bijak dalam memberikan penilaian, jangan terlalu kaku.
Mengingat bahwa menulis KTI/PTK menjadi syarat kenaikan pangkat guru, para guru harus memiliki inisiatif untuk belajar dan mulai menulis KTI/PTK. Para guru juga dapat memanfaatkan organisasi profesi guru seperti KKG/MGMP/MGBK sebagai sarana untuk berlatih menulis PTK. Mereka dapat meminta bantuan rekan sejawat yang telah mahir menulis KTI/PTK untuk membimbing mereka. Jika tidak ada yang sanggup, mereka juga dapat mengundang Widyaiswara atau dosen yang memiliki kompetensi dalam menulis KTI/PTK untuk membimbing mereka.
Selain itu, pemerintah pun perlu memfasilitasi pelatihan menulis KTI/PTK bagi guru-guru agar mampu menulis KTI/PTK. Dan pelatihan yang diselenggarakan bukan pelatihan yang asal dilaksanakan, tetapi harus dilakukan secara berkelanjutan, yaitu dari awal sampai dengan guru mampu membuat sebuah produk KTI/PTK.
Pengalaman menunjukkan bahwa banyak seminar atau pelatihan menulis PTK/KTI yang diselenggarakan baik oleh sekolah, organisasi profesi guru, LSM, atau pemerintah berlangsung singkat, hanya beberapa jam saja dan itu pun bersifat teoritis. Padahal yang diperlukan  guru adalah pengetahuan dan keterampilan teknis menulis KTI/PTK. Belum lagi dengan jumlah peserta yang banyak dan sarana atau tempat yang kurang memadai, sehingga pelatihan tersebut berjalan kurang efektif.  Sehabis seminar atau pelatihan, guru-guru tetap saja bingung ketika mau mau mulai menulis.
Di samping pelatihan yang teroganisasi dengan baik, guru pun harus memiliki komitmen yang kuat untuk mau menulis KTI/PTK, karena sebagus apapun sebuah pelatihan, sehebat sehebat apapun narasumber yang didatangkan, jika gurunya tidak memiliki komitmen yang kuat untuk mulai menulis, maka harapan untuk mewujudkan guru yang kompeten dalam menulis PTK/KTI sulit terwujud.