Ilustrasi - guru berkumpul dalam pertemuan salah satu organisasi guru (Kompas)
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) menyatakan bahwa ”Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”
Lahirnya UUG tahun 2005 telah mengokohkan posisi guru sebagai sebuah profesi. Profesi guru adalah profesi khusus dimana untuk menjadi guru profesional, seseorang harus mengikuti pendidikan profesi selama jangka waktu tertentu. Sebagai profesi, guru berhak untuk membentuk atau bergabung ke dalam organisasi profesi. Pasal 1 ayat (13) UUGD menyatakan bahwa “Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.” Salah satu prinsipnya adalah mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. Organisasi profesi yang didirikan oleh guru harus independen dan fokus dalam perlindungan guru, peningkatan kesejahteraan, dan peningkatan profesionalitas guru.
Organisasi guru pasca kemerdekaan RI adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Organisasi ini didirikan tanggal 25 Nopember 1945 di Surakarta. Organisasi ini memiliki tiga sifat, yaitu: (1) unitaristik, yaitu tanpa memandang perbedaan ijazah, tempat kerja, kedudukan, agama, suku, golongan, gender, dan asal-usul. (2) Independen, yaitu berlandaskan pada kemandirian, dan kemitrasejajaran, dan (3) Nonpartisan, yaitu bukan merupakan afiliasi dari partai politik. (Sumber : wikipedia).
Pada masa orde baru, PGRI walau memiliki sifat independen dan nonpartisan, tetapi pada realitanya, tidak dapat dipungkriri, PGRI berada pada posisi yang sulit untuk bisa independen dan para anggotanya dimobilisasi untuk mendukung Golongan Karya (Golkar), partai penguasa orde baru, meskipun tidak secara eksplisit menyebutnya sebagai partai. Pada saat pemilu, para guru khususnya guru-guru PNS hampir pasti diwajibkan untuk mendukung dan memilih Golkar. Oleh karena itu, selama orde baru berkuasa, Golkar selalu menjadi pemenang dan banyak mendapat sumbangan suara dari PNS dan guru.
Pasca lahirnya arus reformasi, selain PGRI, bermunculan organisasi profesi guru seperti FGII (Federasi Guru Independen Indonesia), FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia), Ikatan Guru Indonesia (IGI), dan Persatuan Guru Madrasah (PGM). Ada juga bermunculan organisasi guru yang berdasarkan bidang garapan tugas atau statusnya seperti Ikatan Guru Taman Kanak-kanak (IGTK), Ikatan Guru Raudhatul Athfal (IGRA), Forum Komunikasi Guru Honor (FKGH), Forum Komunikasi Guru Honor Sekolah (FKGHS), dan organisasi profesi guru lainnya seperti Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).
Diantara sekian banyak organisasi profesi guru yang ada di Indonesia, PGRI bisa dikatakan sebagai organisasi profesi guru yang paling besar di Indonesia. Hal ini wajar, karena disamping sebagai organisasi guru pertama, juga memiliki anggota paling banyak, mencapai ribuan orang, dan cabang-cabangnya hampir menyebar ke seluruh Indonesia, sedangkan organisasi profesi guru yang lain, hanya ada atau eksis di daerah-daerah tertentu saja dan anggotanya pun belum begitu banyak.
Pasal 41 ayat (3) UUGD menyatakan bahwa “Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.” Oleh karena itu, guru-guru harus menjadi anggota wajib menjadi organisasi guru. Guru-guru diberikan kebebasan untuk bergabung dengan organisasi profesi guru sepanjang tujuannya adalah untuk melindungi dan meningkatkan profesionalitas guru.
Jika Saya perhatikan, meskipun organisasi profesi guru didirikan untuk melindungi dan meningkatkan profesionalisme guru, tetapi tiap-tiap organisasi memiliki karakter tersendiri. Setidaknya Saya mencatat empat karakter organisasi profesi guru yang saat ini ada di Indonesia. Pertama, organisasi profesi guru yang lebih condong untuk melakukan advokasi, mediasi, fasilitasi, atau bantuan hukum kepada guru yang mendapatkan masalah hukum, “terdzalimi” oleh kebijakan Kepala Sekolah atau pemerintah.
Organisasi ini biasanya memiliki karakter kritis terhadap pemerintah, bahkan cenderung bersikap menolak dan melawan setiap kebijakan pemerintah yang menurut mereka tidak tepat atau merugikan guru seperti Ujian Nasional (UN), Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), Sertifikasi Guru, Uji Kompetensi Guru (UKG), Kurikulum 2013, kebijakan pengangkatan Kepala Sekolah, atau pemindahan guru secara sewenang-wenang.
Beberapa kali gugatannya pun dimenangkan oleh pengadilan seperti pada kasus UN dan RSBI. Resikonya, pengurus organisasi seperti ini sering dianggap berbahaya, tidak kooperatif, dan mendapatkan intimidasi dari pihak penguasa. Tetapi bagi mereka, hal ini dianggap sebagai resiko perjuangan yang harus dihadapi.
Kedua, organisasi profesi guru yang tetap kritis terhadap pemerintah, tetapi tidak terlalu frontal dalam mengkritisi atau menolak kebijakan pemerintah. Misalnya, mereka menerima kebijakan pemerintah dengan catatan, misalnya menerima pemberlakuan implementasi kurikulum 2013 dengan catatan berbagai infrastrukturnya dipersiapkan atau dibenahi. Menerima pelaksanaan Uji Kompetensi Guru (UKG) dengan catatan UKG tidak dijadikan sebagai alat untuk memotong Tunjangan Profesi Guru (TPG).
Ketiga, organisasi profesi guru yang hanya fokus memperjuangan kelompok tertentu, misalnya kelompok guru honorer yang gigih memperjuangkan peningkatan kesejahteraan dan pengangkatan guru honorer menjadi CPNS. Mereka tidak bosan melakukan aksi unjuk rasa dan menyampaikan aspirasi melalui berbagai media agar tujuannya tercapai.
Keempat, organisasi profesi guru yang hanya fokus hanya kepada peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru. Biasanya mereka tidak terlalu kritis atau tertarik mengkritisi kebijakan pemerintah terkait dengan guru. Mereka lebih tertarik melakukan berbagai seminar, workshop¸ atau pelatihan untuk meningkatkan profesionalisme guru. Organisasi profesi guru seperti ini biasanya lebih disukai oleh pemerintah karena dinilai tidak akan banyak “mengganggu” pemerintah, tidak “masuk” ke ranah politik, dan dapat dijadikan mitra yang kooperatif.
Apapun katakter atau orientasi organisasi profesi guru saat ini, tidak perlu diperdebatkan atau dipertentangkan. Biarlah mereka berjalan sesuai dengan karakter, tujuan, dan idealisme masing-masing karena pada dasarnya mereka sama-sama memperjuangkan perlindungan, peningkatan kesejahteraan, dan pengembangan profesionalisme guru. Biarlah mereka saling melengkapi dan saling bersinergi, berjuang dan berkiprah dari berbagai lini.
Pemerintah pun khususnya Kemdikbud, Kemenag, dan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota perlu merangkul berbagai organisasi profesi guru tersebut dan menjadikannya mitra untuk meningkatkan mutu pendidikan utamanya mutu guru dalam rangka mewujudkan guru yang profesional, sejahtera, bermartabat dan terlindungi.
Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.
Sumber Gambar:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H