[caption caption="Integritas adalah hal sangat penting dalam kesuksesan seseorang."][/caption]
Tanggal 17 Desember 2015 bertepatan dengan pemberian penghargaan kepada sekolah-sekolah yang memiliki integritas dalam menyelenggarakan Ujian Nasional (UN), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan bahwa sekolah harus menjadi zona integritas. Sekolah bukan hanya menjadi institusi yang mengajarkan sejumlah ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga menjadi tempat untuk menanam dan menyemaikan integritas kepada para peserta didik.
Para peserta didik adalah calon-calon pemimpin bangsa, generasi yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan bangsa. Untuk membangun bangsa ini, bukan hanya dibutuhkan manusia-manusia yang cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki moralitas dan integritas yang tinggi.
Nilai-nilai integritas yang dimaksud misalnya; kejujuran, kedisiplinan, tanggung jawab, budaya malu, sikap ksatria, berani menanggung resiko, dan sebagainya. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka sekolah terlebih dahulu harus dapat memberikan contoh sebagai lembaga yang memiliki integritas. Semua warga sekolah, mulai dari Kepala Sekolah, guru, staf TU, penjaga sekolah, sampai satpam sekolah harus bisa menjadi pribadi yang integritas.
Secara kelembagaan, berbagai langkah yang perlu dilakukan oleh sekolah untuk mewujudkan diri sebagai sekolah berintegritas antara lain; Pertama, manajemen sekolah yang transparan dan akuntabel, terdapat partisipasi semua pihak terkait dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan program.
Kedua, sekolah mengampanyekan budaya anti nyontek ketika ulangan. Menyontek merupakan kebiasaan yang hampir lumrah terjadi baik pada saat ulangan maupun pada saat Ujian Nasional (UN) atau Ujian Sekolah (US). Menyontek dilakukan dengan tujuan untuk mencapai nilai yang tinggi. Menyontek seolah menjadi hal yang dilegitimasi ketika sekolah membentuk tim sukses pada saat UN. Oknum panitia UN menyebar kunci jawaban UN, dan para peserta UN dibiarkan menyontek secara berjamaah. Secara kuantitatif, para peserta UN lulus dengan nilai memuaskan, dan sekolah tercatat menjadi salah satu sekolah peraih nilai UN tertinggi, tetapi secara kualitatif, kelulusannya tersebut telah mengorbankan nilai-nilai kejujuran.
Ketiga, sekolah mengintegrasikan pendidikan antikorupsi ke dalam pembelajaran dan ke dalam program ekstrakurikuler, mendirikan kantin kejujuran sebagai “laboratorium kejujuran” siswa, dimana siswa membeli barang tertentu di kantin yang tidak dijaga dan membayar sendiri tempat yang telah disediakan.
Selain kantin kejujuran, juga dikenal adanya toilet kejujuran. Toilet kejujuran diinisiasi oleh sekelompok siswa yang menyediakan pembalut bagi siswi yang sedang menstruasi. Mereka kadang ada yang lupa membawa pembalut pengganti. Oleh karena itu, mereka banyak yang meminta izin pulang untuk mengganti pembalut. Dengan adanya toilet kejujuran, mereka tidak perlu izin pulang, mereka cukup mengganti pembalut di toilet kejujuran, dan membayar di tempat yang telah disediakan. Selanjutnya, ada ada juga kotak temuan yang bertujuan untuk menampung berbagai benda yang ditemukan di sekolah.
Keempat, sekolah membangun budaya untuk melarang copy-paste tugas-tugas kepada peserta didik. Selain itu, perlu juga ada larangan penjiplakan (plagiarisme) Karya Tulis Ilmiah (KTI) untuk kenaikan pangkat guru. Sudah bukan rahasia lagi, adanya mesin mencari seperti google memudahkan setiap orang untuk mencari informasi atau referensi untuk membuat tugas atau menulis KTI. Budaya copy-paste dan plagiarisme KTI sedikit demi sedikit harus terus dikikis di sekolah karena hal tersebut merusak integritas dan melanggar hukum.
Untuk menjadi sosok yang berintegritas, bukanlah hal yang mudah. Butuh komitmen dan semangat yang tinggi, karena tantangan dan godaannya sangat luar biasa. Integritas, hal yang mudah diucapkan, tapi sangat sulit dilakukan. Dalam sebuah iklan kampanye antikorupsi, Saya membaca ada sebuah tulisan yang menarik, yaitu “Negeri ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur.” Banyak kalangan intelektual, kepala daerah, anggota DPR/DPRD, atau pejabat lainnya yang notabene kalangan terdidik terseret kasus korupsi. Hal ini disebabkan oleh semakin rendahnya integritas. Bahkan, bisa dikatakan saat ini mencari orang berintegritas ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami.