[caption caption="Shalat Tajahud dan Shalat Dhuha, bukan hanya sebagai ritual, tetapi dapat menjadi sarana pendidikan karakter."][/caption]
“Wilujeng (selamat) Qiyamullail, semoga berkah. Do’akan orang tua, keluarga, kawan-kawan, bangsa dan negara.” Kalimat tersebut adalah isi Whatsapp (WA) dari salah seorang dosen Saya pada Jum’at, 13 Nopember 2015 pukul 03.17 WIB. Isi pesannya mengajak untuk melakukan qiyamullail atau shalat tahajud. Lalu pukul 07.00 WIB, melalui WA, Beliau juga mengingatkan atau mengajak untuk shalat dhuha.
Di kalangan mahasiswa, dosen tersebut dikenal sosok yang religius, aktivis, idealis, dan dekat dengan mahasiswa. Secara pribadi, Saya pun mengenal Beliau sebagai sosok dosen yang produktif menulis di media massa dan menulis buku, serta religius. Saya ingat, sejak beberapa tahun yang lalu, Beliau memang sering mengirimkan Qiyamullail Call (shalat tahajud) dan Dhuha Call melaui SMS. Sepengetahuan Saya, dari sekian banyak dosen yang pernah mengajar Saya, baru Beliau yang suka melakukan hal tersebut.
Dalam konteks pendidikan, Saya melihat bahwa apa yang dilakukan oleh sang dosen merupakan cerminan seorang dosen yang bukan hanya sebagai pihak yang mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menginternalisasikan nilai-nilai kebaikan. Sang dosen bukan hanya menginginkan para mahasiswanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga religius, dan memiliki budi pekerti yang baik.
Pendidikan Karakter
Ajakan sang dosen mengerjakan shalat tahajud dan shalat dhuha merupakan bagian dari pendidikan karakter. Pada awalnya, sang dosen mengondisikan semua mahasiswa dan orang-orang lain yang dikirimi pesan tersebut setiap hari, tetapi dalam jangka panjang, sang dosen berharap bahwa shalat tahajud dan dan shalat dhuha menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi yang telah terbiasa melakukannya, ketika satu kali saja tidak melakukannya, maka akan merasa menyesal dan merasa ada yang kurang.
Sang dosen mengharapkan mahasiswa bukan hanya menjadi orang yang cerdas secara intelektual, tetapi juga secara spiritual dan sosial. Selain itu, kesalehen yang dimiliki oleh mahasiswa bukan hanya kesalehan vertikal (rajin beribadah), tetapi juga kesalehan horizontal (berbuat baik kepada sesama manusia). Bukan hanya menguasai hard skill¸ tetapi juga soft skill. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Howard Gardner menyimpulkan bahwa kesuksesan seseorang 20% ditentukan oleh hard skill dan 80% ditentukan oleh soft skill.
Soft skill meliputi intrapersonal skill dan interpersonal skill. Intrapersonal skill adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri seperti mengendalikan emosi, murah senyum, ramah, sopan, santun, dan karakter yang baik lainnya. Sedangkan interpersonal skill adalah kemampuan seseorang dalam membangun relasi sosial yang baik dengan orang lain. Orang yang memiliki soft skill yang baik pada umumnya memiliki gaya komunikasi yang baik, supel, mudah bergaul dengan orang lain, serta mampu bekerja dalam tim.
Ajakan-ajakan mengerjakan kebaikan yang dilakukan sang dosen tersebut memiliki kekuatan karena Beliau terlebih dahulu telah melakukannya, alias telah memberikan keteladanan kepada para mahasiswanya. Sang dosen telah melakukan dakwah dengan perbuatan, sehingga setiap pesan qiyamullail call dan dhuha call yang masuk ke HP mahasiswanya memiliki wibawa, membuat mahasiswa yang membaca pesan tersebut termotivasi dan malu jika tidak melakukan ajakan sang dosen.
Bagi Saya, sang dosen telah memberikan inspirasi dan motivasi untuk sama-sama melakukan kebaikan dan saling berbagi kebaikan. Komunikasi yang dijalin sang dosen dengan mahasiswa bukan hanya komunikasi formal antara dosen dan mahasiswa, tetapi juga sebagai teman, seorang kakak dan adik, dan sebagai orang tua kepada anaknya. Dengan gaya komunikasi seperti itu, maka hubungan antara mahasiswa dengan dosen menjadi lebih erat dan lebih dekat, walau tentunya ada etika dan batas-batas tertentu yang perlu diperhatikan.
Qiyamullail call dan dhuha call yang dilakukan oleh sang dosen, walau pun merupakan hal yang sederhana, tetapi berdampak luar biasa. Jika ada sekian orang yang saja tergerak melakukan qiyamullail dan shalat dhuha, tentunya hal tersebut menjadi pahala bagi yang mengajaknya.
Dalam konteks sosial, ajakan-ajakan sederhana tersebut berkontribusi terhadap perubahan sosial, khususnya menciptakan masyarakat yang agamis dan berbudi pekerti luhur, karena masyarakat yang baik berawal dari pribadi-pribadi yang baik. Perubahan sebuah masyarakat berawal dari perubahan individu-individunya. Sebuah perubahan besar berawal dari yang hal yang kecil atau sederhana.
Revolusi Mental
Dalam konteks saat ini, hal tersebut disebut sebagai revolusi mental. Qiyamullail dan shalat dhuha dapat sarana revolusi mental, yaitu mengubah pola pikir, selain sebagai sarana untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, juga sarana meningkatkan kepedulian sosial. Salah satu bentuk kepedulian sosial adalah ketika kita mendo’akan orang lain setelah shalat. Kita tidak egois hanya berdo’a untuk diri sendiri, tetapi juga untuk keluarga, sahabat, guru, para pemimpin, hingga seluruh bangsa dan negara.
Semoga hal yang dilakukan oleh dosen tersebut menjadi sebuah “virus” kebaikan yang terus menyebar, dapat ditiru oleh sesama dosen, mahasiswa, atau masyarakat umum dalam rangka berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat) dan berkontribusi dalam mewujudkan masyarakat yang semakin baik dan bermartabat.
Penulis, Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Kewarganegaraan UPI.
Sumber Foto:
http://www.ummi-online.com/po-content/po-upload/96waktu-sholat-tahajud-terbaik.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H