Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meningkatkan Kecerdasan Emosi Anak

23 September 2015   12:38 Diperbarui: 23 September 2015   13:01 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada bulan September ini, dunia pendidikan kejutkan oleh dua kasus kekerasan yang menyebabkan kematian peserta didik. Pertama, tewasnya Pricilia Dina (15) siswi SMPN 51 Bandung oleh teman sekolahnya SF (13) tanggal 1 September 2015. Kasus tersebut dilatarbelakangi perampokan yang dilakukan oleh SF terhadap korban.  Kedua, tewasnya NA (8) siswa Kelas II SDN 07 Pagi Kebayoran Lama Jakarta oleh temannya satu kelasnya, R tanggal 19 September 2015. Peristiwa tersebut di awali oleh pertengkaran antara NA dan R yang dipicu oleh saling ejek antara keduanya. Selain kekerasan antarsiswa, beberapa waktu yang lalu, juga terjadi kekerasan siswa terhadap guru di sebuah SMA di Kota Sukabumi, dimana siswa tersebut memukul gurunya karena tersinggung ketika diingatkan oleh guru.

Sebelum dua kasus di atas, Tahun 2013, di Bekasi seorang anak tewas karena dipukul dan didorong oleh temannya ke kolam gara-gara masalah utang piutang. Mei 2014, Renggo, seorang siswa kelas V SD di Jakarta Timur tewas dianiaya kakak kelasnya karena korban menjatuhkan jajanan milik pelaku. Setelah itu, muncul kasus pembunuhan Ade Sara, seorang mahasiswa yang tewas oleh dua orang temannya karena urusan asmara.

Selain kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian, kasus-kasus yang lain seperti tawuran dan bullying di lingkungan sekolah pun sudah banyak terjadi, dan sudah banyak memakan korban. Tawuran dan bullying masih menjadi tradisi di sekolah  tertentu dan diwariskan dari satu angkatan ke angkatan berikutnya.

Hal ini tentunya menjadi keprihatinan bagi kita semua. Terjadi fenomena dimana anak-anak menjadi semakin agresif dan tidak mampu mengendalikan emosi.  Berbagai kajian menyimpulkan bahwa tayangan TV dan game kekerasan menimbulkan dampak yang buruk terhadap perkembangan psikologis atau emosi anak.

Anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan kematangan berpikir memiliki keinginan untuk meniru (imitasi) terhadap tayangan-tayangan TV atau game kekerasan yang mereka lihat. Seolah hal tersebut nyata, padahal banyak adegan rekayasa. Akibatnya, anak-anak sudah ada yang berani melakukan tindakan kekerasan dan melakukan  pelecehan seksual.

Hasil penelitian Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) seperti dikemukakan B Guntarto, sekarang ini umummya anak sudah menghabiskan waktunya di depan televisi selama35 jam seminggu atau sekitar lima jam sehari. Sedangkan idealnya, anak menonton 6 jam. Dan hanya 15 persen saja anak yang mengatakan selama menonton televisi didampingi oleh orangtuanya.

Sebuah studi tahun 2006 menemukan video game berbau kekerasan menyebabkan peningkatan gejala gangguan emosional pada anak. Para peneliti juga mencatat bahwa bermain video game berjam-jam dapat meningkatkan penurunan kinerja memori verbal. (Merdeka, 08/08/2012).

Sebuah kajian menyebutkan bahwa game yang berunsur kekerasan ternyata berpengaruh pada otak anak dan remaja, terutama di bagian yang berhubungan dengan fungsi kognitif dan pengendalian emosi. Hal ini terjadi karena saat pemindaian otak menggunakan FMRI (functional magnetic resonance imaging) saat bermain gameterekam di otak. Inilah yang lantas membuat anak bisa mengalami perubahan dalam bagian-bagian otak yang berhubungan dengan fungsi kognitif dan pengendalian emosi. Perubahan otak tersebut hanya butuh waktu satu minggu, usai seorang anak bermain game kekerasan. Kesimpulan dari studi ini telah dipresentasikan pada pertemuan tahunan Radiological Society of North America (RSNA). (Okezone, 05/12/2011).

Selain meminta agar stasiun TV menayangkan tayangan-tayangan yang mendidik, ada hal-hal yang perlu dilakukan oleh orang tua dan guru dalam mengelola kecerdasan emosi anak. orang tua perlu mendampingi anaknya ketika menonton acara TV, berikan penjelasan terhadap hal-hal memperlukan penjelasan agar anak tidak salah paham, memilah tayangan-tayangan yang layak dan tidak layak ditonton anak, dan batasi waktu anak dalam menonton tayangan TV dan bermain game.

Di sekolah, guru perlu terus mendidik, membimbing, membina, dan mengawasi setiap aktivitas siswa. Kasus kekerasan di sekolah biasanya terjadi ketika para siswa luput dari pengawasan guru. Guru perlu membangun kecerdasan intrapersonal dan interpersonal siswa, membangun sikap saling menyayangi, saling menghormati, dan saling menghargai antarsiswa, dan mengembangkan berbagai kegiatan dalam rangka membentuk karakter positif siswa. Dan hal yang paling penting adalah orang tua dan guru harus mampu memberikan contoh teladan agar mampu mengendalikan emosi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun