Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gelar Abal-abal Kaum Intelektual

21 September 2015   19:03 Diperbarui: 22 September 2015   16:45 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Tanggal 19 September 2015, Tim dari Kemenristek Dikti menggerebek acara wisuda ilegal yang diselenggarakan oleh sebuah yayasan di Gedung Universitas Terbuka Tangerang Banten. Tercatat sebanyak 1200 orang yang berasal dari beberapa kampus mengikuti acara tersebut.  Disinyalir terjadi jual beli ijazah melalui acara tersebut. Kasus ini sebenarnya bukan hal baru, tetapi sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu dan sudah banyak memakan korban.

Menurut Penulis, masih suburnya kasus jual beli ijazah disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, karena pendidikan sudah menjadi ajang bisnis  yang menggiurkan. Pendidikan sudah keluar dari hakikatnya yaitu untuk “memanusiakan manusia”, untuk memberikan peserta didik dan mahasiswa dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang akan menjadi bekal dalam kehidupannya.

Kasus jual beli ijazah telah merusak tujuan dan fungsi pendidikan nasional. Proses penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya berorientasi kepada kualitas atau proses, telah bergeser menjadi hanya berorientasi kepada hasil.

Dengan membayar sejumlah uang, maka ijazah S-1, S-2, atau S-3 dengan mudah didapatkan tanpa harus mengikuti perkuliahan sebagaimana mestinya atau dengan kedok kelas jauh, padahal Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sudah melarang setiap Perguruan Tinggi (PT) menyelenggarakan kelas jauh demi menjaga kualitas layanan pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa.

Ibarat hukum pasar, yaitu hukum permintaan dan penawaran, bisnis jual beli ijazah palsu akan terjadi sepanjang penjual atau penyelenggara lembaga pendidikan abal-abal masih ada, dan masih ada warga masyarakat yang berminat membelinya. Telah terjadi simbiosis mutualisme antara penjual dan pembeli ijazah palsu.

Kedua, mental instan masyarakat. Ijazah yang didapatkan biasanya digunakan untuk kenaikan pangkat, jabatan, golongan, untuk mendaftar menjadi Caleg atau Kepala Daerah, atau untuk menaikkan status sosial di masyarakat. Gelar yang tertera di depan atau belakang nama akan menambah kepercayaan diri penggunanya.

Tahun 1979 Budayawan Mohctar Lubis mengatakan bahwa salah satu karakter bangsa Indonesia adalah mental menerabas, senang mengambil jalan pintas, dan tidak mau bekerja keras untuk mencapai tujuan. Yang penting dapat gelar sarjana, tidak peduli terhadap prosesnya yang instan. Akibatnya, banyak sarjana yang kurang kompeten, dan kurang menunjukkan kinerja yang diharapkan sesuai dengan gelar yang disandangnya. Budaya instan dan mental “gila gelar” membuat masyarakat berlomba-lomba meraih gelar sehingga tidak jarang, seseorang memiliki beberapa gelar baik yang berasal dari PT dalam negeri maupun luar negeri.  

Syarat memiliki ijazah ketika seseorang melamar pekerjaan pun menjadi faktor pemicu menjamurnya jual beli gelar. Idealnya, memang ijazah tersebut menjadi jaminan kompetensi, tetapi pada kenyataannya tidak selalu berbanding lurus antara nilai-nilai yang tertera pada ijazah dengan kompetensi yang dimiliki karena prosesnya yang instan tersebut. Dan di tempat kerja pun, ketika seserang bekerja, tidak terlalu dipersoalkan dia lulusan dari mana, dan IPK-nya berapa, tetapi yang penting apa kompetensi yang dimilikinya, serta mampu menunjukkan kinerja yang baik.

Ketiga, masih rendahnya pengawasan dari pemerintah. Terjadinya kasus jual beli ijazah palsu menunjukkan bahwa pengawasan dari pemerintah masih rendah. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan oleh Kemristek Dikti dengan merazia kampus-kampus abal-abal, dan membubarkan prosesi wisuda ilegal beberapa waktu lalu di Tangerang merupakan hal yang perlu didukung untuk menjaga mutu pendidikan. Kampus-kampus abal-abal tersebut banyak berkantor di ruko-ruko, dan tidak memiliki fasilitas yang memadai.

Pemerintah harus bertindak tegas dengan menutup kampus-kampus yang menyelenggarakan pendidikan abal-abal atau menjual ijazah palsu. Para pelakunya pun harus diberi sanksi tegas untuk membuat efek jera. Ijazah yang terlanjur beredar harus ditarik dan dinyatakan tidak sah.

Untuk mencegah munculnya kasus ijazah palsu, ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, pemerintah harus memperketat izin operasional berdirinya PT, melakukan pengawasan terhadap proses kuliah yang dilakukan, dan melakukan akreditasi sebagai bagian dari proses penjaminan mutu PT. PT pun harus ketat dalam meluluskan mahasiswanya dan harus memberikan jaminan bahwa lulusannya benar-benar berkualitas.

Kedua, masyarakat harus hati-hati, cermat, jeli, dan teliti dalam memilih PT untuk kuliah. Jangan mudah terbuai dengan tawaran berbagai kemudahan kuliah. Misalnya, iming-iming tiga tahun bisa sarjana, bisa kuliah kelas jauh, bisa lulus tanpa skripsi, dan sebagainya. Sebaiknya memilih PT yang telah terakreditasi.

Selain itu, masyarakat harus mengubah mentalitas atau mind set-nya untuk tidak mendapatkan segala sesuatu dengan cara instan. Untuk mendapatkan sesuatu, termasuk gelar pendidikan, diperlukan kesungguhan, kerja keras, dan mau menjalani prosesnya walaupun berat, memakan waktu, biaya, dan tenaga, karena hidup pada dasarnya adalah sebuah perjuangan. Sesuatu yang didapatkan melalui kerja keras akan terasa lebih nikmat dan memiliki kepuasan bathin dibandingkan dengan sesuatu yang didapatkan dengan cara instan.

Berjejernya gelar pendidikan tidak menjamin kesuksesan seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Howard Gardner menyimpulkan bahwa kesuksesan seseorang hanya 20% ditentukan oleh Intellectual Skill (IQ), dan 80% ditentukan oleh soft skill. Oleh karena itu, tidak perlu “menuhankan“ ijazah. Seolah-olah ijazah adalah jaminan kesuksesan hidup.

Di dunia ini, cukup banyak contoh yang menunjukkan seseorang yang sukses tanpa ijazah, seperti Bos Microsoft Bill Gates, Pendiri Aplle Steve Jobs, dan Bos Facebook Mark Zuckerberg. Di Indonesia, kita mengenal Wapres Adam Malik yang tidak pernah menyentuh bangku sekolah, KH Abdullah Gymnastiar atau akrab disapa Aa Gym, yang walaupun sudah lulus tapi ijazahnya belum diambil, motivator Andrie Wongso yang tidak tamat SD, Buya Hamka, ulama, politikus, dan penulis terkenal yang hanya sekolah SD sampai kelas II, Hendy Setiono, pemilik Kebab Baba Rafi, MH Ainun Nadjib, seorang budayawan yang mengenyam kuliah hanya sampai semester I, Ajip Rosidi, sastrawan sunda dimana karya-karyanya sudah beredar di banyak negara, Purdi E. Chandra, pendiri Bimbel Primagama yang kuliah di empat jurusan yang berbeda tapi memilih berhenti karena merasa tidak mendapat apa-apa, Bob Sadino, seorang pengusaha yang terkenal dengan ide-ide “gilanya” dalam bisnis, dan Andy F. Noya, Pemimpin Redaksi Metro TV yang tidak lulus sarjana. Dan terakhir, Susi Pudjiastuti, seorang lulusan SMP yang sukses menjadi menteri.

Tokoh-tokoh tersebut tidak lulus dari sekolah formal, tapi hakikatnya mereka belajar di sekolah kehidupan, memiliki mental baja, memiliki kecerdasan ketahanpayahan, mau bekerja keras, kreatif, dan memiliki jiwa wirausaha. Kaum intelektual muda harus dapat mencontoh mereka, tidak sekolah atau kuliah hanya untuk berburu ijazah, tetapi untuk menjadi manusia yang kompeten dan bermanfaat bagi diri dan lingkungannya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun