“Koran pak, koran. Buat alas shalat pak. Seribu rupiah empat lembar pak.” seorang anak yang masih berpakaian SMP menghampiri Saya sambil menawarkan koran bekas untuk alas atau sajadah shalat jumat di sebuah mesjid. Walau Saya sebenarnya kurang membutuhkan karena akan shalat di bagian dalam mesjid yang biasanya sudah tersedia karpet tapi Saya membelinya sebagai bentuk penghargaan terhadap kerja kerasnya.
Setelah Saya membeli koran tersebut, Saya bertanya kepada anak tersebut, darimana mendapatkan koran bekas tersebut? Anak tersebut menjawab dia mendapatkannya dari sekolah atau kantor secara gratis, lalu dia menjualnya. Kalau koran setebal 24 halaman dia jual seharga Rp 1.000,- setiap 8 halaman, maka satu koran menjadi Rp 3.000,-. Rata-rata setiap Jumat dia bisa mendapatkan penghasilan Rp 20.000 sampai dengan Rp 30.000,-. Sebuah jumlah yang lumayan untuk menambah uang jajan atau ongkos sekolah.
Selain anak tersebut, di mesjid tersebut juga ada anak-anak lain yang rata-rata masih berpendidikan SD dan SMP (dilihat dari seragamnya) yang memanfaatkan momentum jumatan untuk mengais rezeki dengan menjual koran bekas untuk alas shalat atau sajadah. Saya sejenak mengambil smartphone Saya dan mengambil foto-foto mereka. Meraka ada yang pede difoto, tapi ada juga yang tampak malu-malu dan memalingkan muka.
Jum’atan sekaligus belajar mencari uang dengan cara jualan koran bekas. Aktivitas tersebut dapat menjadi sarana untuk mengembangkan mental atau semangat kewirausahaan terhadap mereka. Menumbuhkan sikap untuk mau bekerja keras, ulet, sungguh-sungguh, disiplin, dan kreatif. Ketika sekolah mereka belajar tentang teori-teori ekonomi kreatif, maka mesjid menjadi laboratorium bahkan sekolah kehidupan bagi mereka.
Hari Jumat memang membawa membawa berkah bagi sejumlah pedagang. Setelah shalat jumat, para jamaah dapat berbelanja atau jajan. Di halaman mesjid para pedagang berjejer menjajakannya beragam dagangan, mulai dari baju muslim, kopiah, farfum, buku-buku, alat-alat listrik, alat-alat rumah tangga, batu akik, obat-obatan, makanan, minuman, dan sebagainya. Mesjid berubah menjadi pasar rakyat.
Di kampus tempat Saya melanjutkan pendidikan ke program doktor pun, Saya suka melihat ada pelajar atau mahasiswa yang membawa box yang berisi dagangan donat atau es. Mereka tanpa canggung menawarkan atau menjajakan dagangannya kepada teman-temannya sendiri atau kepada orang-orang yang melewati daganganya.
Para pebisnis besar justru banyak yang lahir dari pedagang kecil-kecilan. Kita bisa membaca kisah Bob Sadino, Chairul Tanjung, Dahlan Iskan, Susi Pudjiastuti, dan tokoh-tokoh inspiratif lainnya. Mereka dibesarkan dan didewasakan oleh kesulitan-kesulitan hidup. Mereka memiliki mental baja, tahan banting, pantang menyerah, berani mengambil resiko, kreatif, dan berpikir out of the box.
Mesjid selain berfungsi sebagai tempat ibadah (fungsi ritual), juga bisa menjadi sarana pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan sarana membangun jiwa wirausaha bagi pelajar dan mahasiswa (fungsi sosial-ekonomi). Saya berpendapat bahwa hal itu baik selama tidak mengganggu fungsi ritualnya. Justru kedua fungsi tersebut bisa saling melengkapi. Misalnya pada saat khutbah Jumat, khatib menjelaskan tentang tata cara jual-beli (muamalah) sesuai dengan syariat Islam, lalu hal tersebut dipraktek oleh pedagang dan pembeli. Tentu hal itu akan sangat Indah. Jual beli yang tidak akan diwarnai dengan tipu menipu.
Hancurnya ekonomi sebuah negara salah satunya adalah karena praktek jual-beli yang tidak jujur. Pedagang hanya berorientasi mencari keuntungan sebesar-besarnya walau harus menipu pembeli, sementara pembeli ada yang suka tidak jujur. Ada yang suka “darmaji” (ngadahar lima ngaku hiji) sebuah ungkapan atau singkatan dalam bahasa Sunda yang artinya makan lima biji tapi membayar hanya satu biji.
Di tengah semakin sulitnya lapangan pekerjaan, di tengah semakin bertambahnya jumlah pengangguran, di tengah banyaknya buruh yang di PHK, wirausaha bisa menjadi solusi jitu untuk mendapatkan penghasilan. Saat ini, fokus pendidikan seharusnya bukan hanya melahirkan lulusan yang siap melamar pekerjaan, tetapi lulusan yang siap menciptakan lapangan kerja sendiri. Oleh karena itu, para pelajar dan mahasiswa harus dibekali dengan kompetensi melalui pendidikan kewirausahaan. Porsinya harus lebih banyak praktek daripada hanya sekedar teori. Dan anak penjual koran tadi sedang mempraktekannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H