Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kurikulum Pendidikan, Tirulah Pedagang Warteg

21 Agustus 2015   10:27 Diperbarui: 21 Agustus 2015   10:45 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Siswa terbebani harus belajar banyak mata pelajaran di sekolah (Foto : tribunnews.com)"][/caption]

 

Salah satu persoalan mendasar pada kurikulum pendidikan di Indonesia adalah  banyaknya materi pelajaran yang harus dipelajari oleh peserta didik. Akibatnya peserta didik banyak yang mengeluh karena dipaksa harus menguasai materi-materi pelajaran yang tidak diminatinya. Seperti robot, siswa digiring untuk mempelajari setiap materi pelajaran, tanpa mempertimbangkan minat, bakat, dan kebutuhannya, padahal setiap siswa adalah pribadi unik, memiliki karakteristik yang berbeda, dan memiliki tingkat kecerdasan yang beragam.

Hal ini sesuai teori kecerdasan majemuk (multiple intelligence) yang diperkenalkan oleh Howard Gardner dimana tiap-tiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda. Ada delapan kecerdasan majemuk, yaitu; (1) kecerdasan bahasa (linguistic intelligence), (2) kecerdasan musik (musical intelligence), (3) kecerdasan logika-matematika (logical-mathematical intelligence), (4) kecerdasan visual-spasial (visual-spatial intelligence), (5) kecerdasan kinestetik-tubuh (body-kinestetic intelligence), (6) kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence), (7) kecerdasan interpesonal (inerpersonal intelligence), dan (8) kecerdasan naturalis (naturalist intelligence).

Di Indonesia, pada tingkat SD saja, seorang siswa harus belajar sekian banyak mata pelajaran dengan isi materi yang berat. Bahkan materinya lebih cocok dipelajari pada oleh siswa SMA. Misalnya pada mata pelajaran PPKn di SD yang menggunakan KTSP, materinya tentang lembaga-lembaga-lembaga negara, sistem pemerintahan, dan susunan peraturan perundang-undangan, otonomi daerah, globalisasi, dan sebagainya. Menurut Penulis, materi-materi tersebut terlalu berat dipelajari oleh siswa SD, dan tidak relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan berpikir mereka.

Daripada diberikan materi tentang ketatanegaraan dan politik, lebih baik siswa SD diberikan materi yang berkaitan dengan pembiasaan-pembiasaan pada kehidupan sehari-hari untuk membentuk sikap, watak, dan mentalnya. Materi yang diberikan dekat dengan kehidupan mereka, dan bahasa yang digunakan menggunakan bahasa yang sederhana supaya mudah dipahami oleh siswa, dan materinya pun dikemas dengan menarik supaya siswa belajar dengan menyenangkan.

Seperti halnya di Jepang, mata pelajaran SD di Jepang yaitu Matematika, Bahasa Jepang, Seni, Olahraga, dan Life Skill. Sampai kelas 2, anak hanya diajar perkalian, pembagian, penambahan dan pengurangan. Materi ini diajarkan terus berulang-ulang sampai mereka benar-benar faham. Sementara di Indonesia, materi pelajaran yang harus dipelajari begitu banyak.

Dalam pandangan guru atau orang tua, siswa yang pintar adalah siswa yang harus memiliki nilai baik pada tiap mata pelajaran. Tidak peduli walau anak hanya apal cangkeum (menghapal hanya untuk kebutuhan ujian, setelah itu lupa lagi). Penulis ingat waktu Penulis ujian praktek di sekolah tidak bisa memainkan alat musik karena memang tidak menyenangi bermain alat musik, tetapi guru seni mewajibkan untuk bisa memainkan alat musik karena kalau tidak bisa memainkan alat musik, maka Penulis tidak akan mendapatkan nilai. Oleh karena itu, dengan alakadarnya, yang penting asal dapat nilai dan lulus ujian, Penulis memainkan alat musik tersebut. Dan setelah itu, Penulis tidak pernah lagi memainkan alat musik.

Berkaitan dengan kurikulum pendidikan, Penulis berpendapat kita bisa meniru gaya pedagang Warung Tegal (warteg). Ketika pembeli datang, oleh pelayan dia ditanya mau makan dengan apa. Maka sang pembeli pun menunjuk menu-menu makanan yang tersedia pada etalase makanan. Dan sang pelayan pun dengan senang hati melayaninya. Karena menu makanan yang sesuai dengan kenginannya, maka tiap orang yang makan di warteg makan dengan lahap sampai makanan habis. Bahkan minta nambah karena belum kenyang.

Itulah gambaran bahwa pendidikan di sekolah diibaratkan orang makan di warteg. Penuh dengan pilihan menu dan penuh dengan kesenangan. Sang pelayan diidentikkan dengan guru yang siap melayani atau memfasilitasi siswa untuk belajar materi pelajaran yang yang diinginkan siswanya. Pelayan warteg tidak pernah menolak permintaan sang pembeli atau mengatur-ngatur pembeli supaya memilih makanan tertentu. Pilihan sepenuhnya diserahkan kepada sang pembeli.

Menurut penulis, daripada seorang siswa mempelajari banyak pelajaran tetapi tidak fokus dan tidak mendalam, lebih baik dia belajar sedikit mata pelajaran, tetapi fokus dan mendalam sampai dia benar-benar mampu menguasainya. Pertanyaannya adalah, bisakah pemerintah atau guru mencontoh prinsip pedagang warteg yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih mata pelajaran yang diminatinya seperti halnya pedagang warteg yang memberikan kebebasan kepada pembelinya memilih menu-menu makanan yang terdapat di etalase?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun