Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makna dibalik Mudik Lebaran

12 Juli 2015   13:15 Diperbarui: 12 Juli 2015   13:22 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekan terakhir ramadhan disamping diwarnai dengan berbagai hiruk-pikuk mempersiapkan kebutuhan lebaran, juga di ramaikan dengan aktivitas mudik para perantau ke kampung halamannya. Tahun 2015 diperkirakan sebanyak 20 juta orang mudik ke kampung halaman dengan menggunakan berbagai moda transportasi darat, laut, dan udara.

Istilah mudik mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1980-an. Dan seiring dengan semakin bertambahnya jumlah pemudik, maka aktivitas mudik semakin populer dan semakin banyak mendapatkan perhatian. Mudik menjadi sesuatu yang wajib bahkan “sakral” bagi perantau. Tidak peduli harus menghadapi kemacetan yang parah karena bagi pemudik, macet adalah “seninya” mudik. Tidak peduli harus berdesak-desakkan di terminal pelabuhan, dan kendaraan, bahkan menghadapi resiko kecelakaan. Semua proses itu dilalui dan dinikmati demi pulang kampung.

Di tengah ramainya aktivitas mudik, ada beberapa nilai yang dapat diambil dari aktivitas tersebut. Pertama, nilai spiritual. Nilai ini kaitannya dengan fungsi mudik menguatkan atau meningkatkan keimanan dan ketakwaan seseorang. Mudik menjadi sarana seorang anak yang yang pergi merantau untuk pulang atau berkunjung kepada orang tua. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, sang anak bersimpuh meminta ampunan kepada orang tua, memberikan “THR” kepada mereka walau tentunya tidak dapat membayar kasih sayang orang tua padanya. Ketika orang tuanya sudah meninggal, sang anak berziarah ke makam orang tuanya.

Mudik menjadi sarana berbagi kebaikan bagi yang kelebihan rezeki dari pemudik kepada sanak keluarga atau kaum dhuafa di kampung dalam bentuk “THR” sedekah, atau zakat. Berbuat kebaikan, membantu kaum yang lemah adalah hal yang diajarkan oleh agama. Oleh karena itu, mudik menjadi sarana berloma-lomba kebaikan.

Kedua, nilai sosial. Nilai ini kaitannya dengan fungsi mudik untuk meningkatkan merekatkan hubungan sosial antarmanusia. Seorang yang mudik ke kampung halamannya tentunya akan bertemu atau bersilaturahmi dengan sanak keluarga, tetangga, atau teman yang sudah lama tidak bertemu. Ketika mereka bertemu, tentunya akan banyak hal yang diperbincangkan. Ketika bertemu dengan orang-orang di kampung, sang pemudik biasanya kisah hidup di kota, apalagi kalau usahanya di kota sukses, tentu akan diceritakan dengan penuh semangat. Ikatan silaturahmi yang renggang pun bisa direkatkan kembali.

Mudik disamping menjadi sarana berkumpul dan bersilaturahmi, Bagi yang  kelebihan rezeki bisa digunakan untuk berbagi “THR” kepada kaum yang kurang beruntung, mudik juga kadang menjadi ajang pamer kesuksesan para perantau. Mereka memakai pakaian yang bagus, memakai perhiasan, membawa mobil baru atau sepeda motor baru yang digunakan untuk berbagai aktivitas di kampung halaman. Oleh karena, pada arus balik, kadang pemudik membawa serta sanak saudaranya untuk mengadu nasib di kota agar kehidupannya bisa lebih baik.

Ketiga, nilai ekonomi. Nilai ini berkaitan dengan peran mudik  berkontribusi atau berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Peredaran uang pada masa mudik mencapai milyaran bahkan mungkin trilyunan rupiah. Bukan hanya perantau dalam negeri saja yang mengirim uang ke kampung, para TKI/TKW di luar negeri pun mengirim uang ke kampung halaman untuk memenuhi kebutuhan lebaran.

Mudik memang mahal, butuh biaya besar. Bahkan ada yang harus menabung selama setahun agar uangnya bisa cukup untuk mudik. Sangat besarnya jumlah uang yang beredar pada saat mudik lebaran menjadi keuntungan tersendiri bagi para pengusaha, bahkan dijadikan aji mumpung dengan cara menaikkan harga. Mall dan toko-toko menggoda pembeli dengan tawaran diskon yang menggiurkan.

Menjelang lebaran, hampir tidak ada pasar, mall, dan toko yang sepi. Semuanya diserbu pembeli. Untuk mempercantik diri, mereka pergi ke toko perhiasan dan salon. Bengkel-bengkel pun dipenuhi oleh pelanggan yang menyervis kendaraan yang akan digunakan. Intinya, pada bulan puasa khususnya pada masa mudik, kegiatan ekonomi masyarakat berjalan dengan gegap gempita.

Pada saat lebaran, tempat-tempat wisata dipenuhi pengunjung. Hal ini tentunya selain menjadi keuntungan bagi pengusaha, juga menjadi keuntungan bagi pemerintah daerah (pemda) karena pendapatan daerah meningkat dan tentunya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Mudik sudah menjadi hajat nasional karena aktivitas sosial yang melibatkan puluhan juta manusia. Oleh karena itu, pemerintah, pemudik, dan berbagai pihak terkait lainnya harus mengantisipasinya agar mudik dapat berjalan lancar, dan para pemudik dapat berlebaran di kampung halaman dengan bahagia.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun