Tanggal 8 Juli 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus pasal larangan keluarga petahana (incumbent) ikut serta pada Pilkada serentak Desember 2015. Putusan tersebut mengabulkan gugatan dari Adnan Purichta Ichsan yang menggugat Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada. Ketua MK, Arief Hidayat mengatakan bahwa "Pasal 7 huruf r soal syarat pencalonan bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 UUDÂ 1945 yang bebas diskriminatif serta bertentangan dengan hak konstitusinal dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan."
Dibuatnya aturan dalam UU Pilkada 2015 tentang larangan keluarga petahana mencalonkan diri karena dalam Pilkada dilatarbelakangi sering terjadiya berbagai kecurangan seperti penggunaan fasilitas negara, intimidasi, politisi, dan mobilisasi PNS dan birokrasi di daerah untuk mendukung calon tertentu. Oleh karena itu, persaingan antarcalon Kepala Daerah yang bersaing menjadi tidak fair.
Aturan tersebut akhirnya kandas setelah MK menghapus pasal 7 huruf r UU Pilkada 2015, dimana setiap orang yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan petahana memiliki hak untuk mencalonkan diri dalam Pilkada. Walau dalam Pilkada banyak terjadi kecurangan yang melibatkan petahana, jangan sampai UU membatasi hak konstitusional seseorang untuk dipilih.
Mantan Ketua MK, Mahfud MDÂ juga mendukung putusan tersebut. Mahfud mengatakan bahwa lebih 80% Pilkada yang melibatkan petahana diwarnai oleh kecurangan. Walau demikian, hak konstitusional keluarga petahana untuk mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah tidak dapat dihalang-halangi. Dan ada kasus, ternyata penerus petahana ternyata kinerjanya lebih baik dari yang sebelumnya.
Selanjutnya Mahfud mengatakan bahwa kecurangan yang dilakukan petahana saat Pilkada disebabkan karena masih kurang optimalnya pengawasan terhadap petahana pada saat penyelenggaraan Pilkada. Oleh karena itu, perlu dibuat aturan yang semakin ketat mengawasi petahana, dan jika terbukti melanggar aturan, maka harus ada mekanisme pembatalan kemenangannya pada Pilkada.
Dilema
Keputusan MK dalam konteks jaminan HAM sebagaimana diatur dalam UUD 1945 adalah tepat. Keputusan MK adalah final dan mengikat. Para penyelenggara pemilu seperti KPU dan KPUD harus taat terhadap putusan MK tersebut. Tetapi di sisi lain, menjadikan dilema tersendiri dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, karena dampak dari keputusan MK tersebut politik dinasti mendapatkan legalitas yang kuat, dan akan semakin menjamur. Para petahana seperti mendapatkan angin dengan keputusan MK tersebut.
Para petahana akan menyiapkan kader-kader dari keluarganya untuk melanjutkan kekuasaannya. Sudah banyak kasus ketika seorang Kepala Daerah sudah dua kali menjabat dan tidak dapat mencalonkan lagi menjadi Kepala Daerah, maka suami, istri, atau anaknya mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah, dan banyak yang menjadi pemenang. Oligarki kekuasaan akan semakin kuat.
Politik dinasti sebenarnya bukan hal yang baru. Di Amerika dikenal adanya dinasti Kennedy, dinasti Bush, Mantan Presiden Bill Clinton dan istrinya Hillary Clinton yang pernah mencalonkan diri menjadi presiden. Di Malaysia, ada Nurul Izzah Anwar, anak Anwar Ibrahim, pemimpin oposisi yang juga terjun ke dunia politik.
Di Indonesia sendiri sudah muncul sedemikian kuat. Trah Soekarno hampir semuanya terjun di dunia politik, tetapi yang menonjol adalah Megawati Soekarnoputeri, Ketua Umum PDI Perjuangan, dan saat ini mengkaderkan anaknya Puan Maharani sebagai penerusnya. Di Partai Demokrat ada Edi Baskoro Yudhoyono yang dikaderkan menjadi penerus Susilo Bambang Yudhoyono, ketua Umum partai Demokrat saat ini. Hanafi Rais, Anak pendiri PAN, Amien Rais, juga mengikuti jejak ayahnya menjadi politisi di PAN. Di level daerah pun, politik dinasti sudah makin menggejala. Misalnya di Banten, Gubernur Banten non aktif, Ratu Atut Chosiyah, memiliki keluarga dan kerabat yang menjadi Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, dan Anggota DPR.
Suka atau tidak, MK sudah memutuskan bahwa keluarga petahana berhak untuk mengikuti Pilkada. Semoga saja calon-calon yang nantinya maju memang benar-benar berkualitas, tidak hanya megandalkan ikatan keluarga semata, tidak menyalahgunakan fasilitas negara untuk kampanye, dan tidak curang. Masyarakat pun harus semakin jeli terhadap para calon Kepala Daerah yang nantinya bersaing, dan KPUD perlu membuat aturan yang ketat berkaitan dengan Pilkada dan Bawasu dapat melaksanakan fungsinya, jangan sampai hanya dianggap sebagai asesories penyelenggaraan pemilu.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H