[caption id="attachment_319841" align="alignnone" width="565" caption="SEORANG IBU SEDANG MEMBELI DI PKL"][/caption] Setelah menertibkan Pedagang Kaki Lima (PKL) di sejumlah titik, mulai 1 Februari 2014 Pemerintah Kota Bandung memberlakukan denda 1 juta bagi orang yang membeli di PKL. Sebelum sanksi tersebut berlakukan, Pemkot sudah melakukan sosialisasi dan operasi simpatik larangan membeli di PKL di kawasan tujuh titik yang termasuk zona merah atau dilarang seperti Jalan Merdeka, Jalan Asia Afrika, Alun-alun Bandung, Jalan Dewi Sartika, Jalan Kepatihan, Jalan Dalem Kaum, dan Jalan Otto Iskandardinata.
Pemkot Bandung memberlakukan denda Rp 1 juta bagi pembeli di PKL dalam rangka melaksanakan Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Selama ini masyarakat banyak mengeluh terhadap kemacetan dan kesemrawutan akibat dari badan jalan, trotoar atau fasilitas publik yang digunakan berjualan oleh PKL. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut, Pemkot Bandung sudah membuat tiga zona PKL, yaitu zona merah, zona kuning, dan zina hijau. Zona merah adalah tempat yang sama sekali dilarang PKL berjualan seperti pada kawasan tujuh titik, rumah ibadah, rumah sakit, komplek militer, jalan nasional, dan tempat lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Zona kuning adalah zona yang bisa buka tutup berdasarkan waktu dan tempat, dan zona hijau adalah zona dimana PKL boleh berjualan.
Aturan baru tersebut sontak mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat khususnya yang suka membeli di PKL. Menjamurnya PKL memang tidak lepas dari hubungan saling membutuhkan sekaligus menguntungkan antara pedagang dan pembeli. PKL biasanya berjualan di tempat-tempat yang strategis, banyak dilewati orang atau tempat keramaian, seperti di pinggir-pinggir jalan. Begitu pun masyarakat cenderung dimudahkan dengan adanya PKL. Tidak perlu repot-repot masuk ke dalam pasar karena bisa dengan mudah membeli barang kebutuhan di PKL. Belum lagi harga barang yang biasanya lebih murah dibandingkan dengan tempat lain membuat barang jualan PKL banyak digemari.
PKL banyak muncul dan sulit ditertibkan karena masih banyak masyarakat yang mau dan senang membeli di PKL sehingga papan-papan larangan berjualan di tempat tertentu pun tidak digubris. Jadi, jika engacu kepada Perda tersebut, yang melanggar hukum bukan hanya PKL-nya tetapi juga pembelinya. Inilah salah satu hal yang mendasari Pemkot Bandung memberlakukan sanksi Rp 1 juta bagi pembeli di PKL. Bukan hanya PKL-nya saja yang perlu diberi sanksi, tetapi juga pembelinya.
Efek Jera
Ancaman denda Rp 1 Juta bagi pembeli di PKL di zona merah merupakan bagian dari efek jera agar masyarakat tidak lagi membeli di PKL. Denda menjadi alternatif terakhir ketika masyarakat masih bandel membeli di PKL. Ketika masyarakat tidak lagi membeli di PKL, hal itu dimaknai sebagai bentuk ketaatan terhadap hukum dan bentuk dukungan terhadap Pemkot Bandung dalam menertibkan PKL dalam upaya menciptakan Bandung yang bersih dan tertib. Penertiban PKL tidak akan pernah berhasil jika masyarakat pun kurang mendukung. Bukankah selama ini masyarakat mengeluh dengan kemacetan dan kesemrawutan kota Bandung? Walau memang hal tersebut terjadi bukan hanya disebabkan oleh PKL, tapi juga disebabkan oleh semakin bertambahnya jumlahnya kendaraan sementara panjang jalan tidak bertambah dan budaya lalu lintas yang buruk. Apalagi kota Bandung adalah kota tujuan wisata. Banyak wisatawan yang datang ke Bandung.
Edukasi (etika) Belanja
Larangan masyarakat membeli di PKL di zona merah menurut penulis merupakan sebagai bentuk edukasi baik edukasi hukum maupun edukasi (etika) belanja. PKL dan pembelinya adalah satu paket. Dua-duanya perlu ditertibkan dan diberi edukasi supaya tidak menjadi salah satu penyebab kemacetan. PKL silakan berjualan di tempat yang telah ditentukan, tidak menganggu ketertiban umum. Dan pembeli pun silakan berbelanja dengan nyaman tanpa khawatir terserempet kendaraan atau menghalangi pengguna jalan lainnya.
Menurut penulis, PKL bukanlah masalah sosial, tetapi dampak dari adanya PKL tersebut seperti kemacetan dan kesemrawutan menjadi masalah sosial. Justru ada pihak-pihak tertentu yang justru meraup keuntungan dari adanya PKL tersebut. Berkali-kali operasi penertiban PKL gagal karena disinyalir adanya bocoran dari oknum tertentu yang menjadi bekingnya.
PKL sebenarnya adalah kumpulan orang-orang yang berjiwa wirausaha, berusaha mandiri, tidak tergantung mendapatkan pekerjaan dari sektor formal. Menjadi PKL adalah salah satu alternatif  pekerjaan di tengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Tapi kurang dibenarkan juga ketika berjualan jalan dan trotoar yang menjadi hak pejalan kaki. Kini, tinggal bagaimana PKL dan masyarakat mau diatur oleh pemerintah sehingga kota Bandung ini tertib, nyaman, dan bersih. Dan mudah-mudahan Pemkot Bandung pun bisa secara tegas dan konsisten melaksanakan aturan tersebut.
Penulis, Pemerhati Masalah Sosial, Praktisi Pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H