Saat ini tahapan pemilu tengah memasuki masa kampanye. Beragam janji disampaikan oleh partai-partai politik peserta pemilu untuk merebut kepercayaan calon pemilih. Ada yang menjanjikan sekolah dan kesehatan gratis, bantuan dana miliaran bagi desa, penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, dan sebagainya. Janji-janji tersebut disampaikan melalui berbagai media seperti baligo, spanduk, iklan di jejaring sosial, dan media massa cetak dan elektronik.
Semuanya partai mengklaim sebagai partai yang paling pro rakyat, paling profesional sehingga paling layak dipilih. Ibarat jualan kecap, tidak ada kecap nomor dua. Semua kecap pasti nomor satu. Partai baru menjanjikan perubahan dan memberikan garansi bahwa caleg-caleg yang diajukan adalah orang-orang terpilih, bersih, jujur, profesional, dan antikorupsi. Hal tersebut sah-sah saja dilakukan. Namanya juga kampanye. Sepanjang tidak melakukan kampanye hitam (black campaign). Tapi sayang, dalam prakteknya, kampanye banyak diisi dengan kampanye hitam, saling menjatuhan, dan saling sindir antarparpol atau antar elit politik. Persaingan yang sengit menyebabkan mereka tidak segan saling membuka aib atau mengungkap kembali “dosa-dosa politik” masa lalu.
Kita berharap bahwa bahwa kampanye yang dilakukan oleh parpol peserta pemilu adalah kampanye yang cerdas. Kampanye yang disamping memaparkan visi, misi dan programnya, juga sekaligus menjadi sarana pendidikan politik bagi masyarakat khususnya bagi pemilih pemula karena mereka adalah pemilih potensial dan akan mengunakan hak pilihnya untuk pertama kali. Bukan kampanye yang isinya hanya hiburan dangdut erotis, hura-hura, arak-arakan, dan konvoi kendaraan yang mengganggu ketertiban lalu lintas. Tapi kenyataannya, kampanye yang dilakukan masih jauh dari harapan.
Salah satu peran partai politik adalah melakukan pendidikan politik bagi masyarakat. Yang terjadi saat ini parpol hanya mendekati masyarakat hanya menjelang pemilu, ketika butuh suara dan dukungannya. Dan setelah pemilu, masyarakat pun ditinggalkan. Ibarat pribahasa, habis manis sepah dibuang.
Dampak dari kampanye yang tidak mengandung muatan pendidikan politik adalah pemahaman yang kurang tepat terhadap hakikat kampanye itu sendiri. Pemilu hanya diartikan arak-arak menggunakan kendaraan sambil membawa bendera partai, berteriak-teriak menyampaikan yel-yel dan slogan-slogan. Bahkan pada suatu kesempatan, Penulis melihat ada peserta kampanye yang membawa miras yang kemungkinan akan digunakan untuk mabuk-mabukan.
Kampanye menjelang pemilu dilakukan di setiap negara yang menganut sistem demokrasi tapi sangat berbeda antara negara dengan sistem demokrasi yang sudah maju dengan negara yang masih dalam tahap membangun demokrasi. Tengoklah di Amerika Serikat pada saat kampanye pemilihan presiden. Massa hadir menghadiri kampanye dengan tertib. Menyimak pembicaraan calon presiden dan sesekali bersorak-sorak. Tidak ada arak-arak yang menggangu ketertiban lalu lintas.
Pemandangan berbeda terjadi di Indonesia pada saat kampanye. Suasana jalan yang sudah semrawut menjadi semakin semrawut oleh alat peraga kampanye yang dipasang sembarangan dan tanpa izin. Masa kampanye telah menimbulkan banyak sampah visual. Setelah pemilu, baligo-baligo tersebut dibiarkan begitu saja. Belum lagi foto-foto caleg yang dipasang dipohon telah merusak pohon dan mengotori lingkungan. Hiburan dangdut erotis dan fornoaksi yang dengan bebas bisa dilihat anak-anak.
Memang suka ada kampanye yang bersifat dialogis, tapi masih pada kalangan terbatas khususnya di kalangan kampus. Beberapa stasiun TV juga suka menyelenggarakan acara debat atau diskusi antarcaleg tapi itu pun hanya ditonton oleh kalangan tertentu karena masyarakat secara umum lebih tertarik nonton acara hiburan dibandingkan acara talk show seperti itu.
Walau demikian, kita patut megacungkan jempol kepada sedikit caleg kampanye dengan mengandalkan idealisme, blusukan ke kampung-kampung menemui konstituen, mengadakan acara bakti sosial, pengobatan gratis, pasar murah, menanam pohon, jalan sehat, dan sebagainya. Hal-hal tersebut jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan acara pengerahan massa yang bersifat hura-hura. Kampanye melalui pengerahan massa sangat berpotensi melahirkan politik uang karena yang massa yang datang belum tentu pendukung partai tetapi bisa saja massa bayaran. Yang penting diberi kaos, uang bensin, dan nasi bungkus.
Kampanye yang minus pendidikan politik lebih cenderung hanya menggiring dan mempengaruhi orang untuk mencoblos parpol atau caleg daripada mencerdaskan dan mengubah paradigma berpikir masyarakat tentang hakikat pemilu dan demokrasi. Oleh karena itu, para elit politik sudah seharusnya memperbaiki dan memodifikasi pola kampanye agar lebih berbobot.
Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H