Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan menggunakan sistem zonasi, terindikasi dapat menghilangkan peluang pendidikan rakyat pinggiran pada Sekolah Negeri. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya sekolah-sekolah negeri yang berada di daerah.
Tak lama lagi proses penerimaan akan segera ditutup. Artinya, beberapa peserta didik sudah mendaftarkan dirinya masing-masing baik melalui jalur prestasi mau pun zonasi.
Untuk para peserta didik yang telah terdaftar merupakan suatu kebanggaan dan keberuntungan bagi mereka dibandingkan peserta didik yang masih kebingungan dalam hal mendaftar karena adanya kebijakan system zonasi. Sebab, tak ada pilihan lain, selain memilih sekolah swasta yang selama ini masih berstatus bayar.
Pada umumnya, para peserta didik tentu berbondong-bondong ingin melanjutkan pendidikannya ke Sekolah yang berstatus negeri. Di samping fasilitas dan tenaga pengajarnya terjamin, mereka juga tidak dipungut biaya sedikit pun oleh pihak sekolah. Karena dalam hal ini Sekolah negeri memang sudah disubsidi oleh pemerintah untuk anak-anak negeri yang ingin bersekolah.
Di sejumlah daerah sekolah negeri lebih sedikit dibandingkan sekolah swasta, misalnya Kabupaten lebak, Banten. Untuk jumlah sekolah negeri SD kisaran 776 sekolah, SD Swasta 237 sekolah, SMP Negeri 174 sekolah, SMP Swasta 267 sekolah, SMA Negeri 37 sekolah, SMA Swasta 97 sekolah.
Dari data di atas menunjakan bahwa sedikitnya peluang siswa-siswi yang ingin melanjutkan ke sekolah SMP dan SMA yang berstatus negeri. Kita juga dapat menyimpulkan bahwa secara sistem zonasi ini merupakan peluang bagi sekolah-sekolah swasta yang ingin bersaing untuk memperbanyak murid dalam berbisnis di dunia pendidikan.
Beberapa hari lalu saya mendapatkan pengaduan dari tentangga saya yang mengalami penolakan saat ia mendaftarkan anaknya ke sekolah SMA 1 Negeri Cibadak, Lebak Banten dengan alasan jarak tempat tinggal terlalu jauh dari sekolah.
“Anak saya ditolak daftar di SMA 1 Cibadak, pihak sekolah bilang anak saya tidak masuk zonasi wilayah sekolah dan nilainya pun dibawah dari kategori standar”. Ujar Juhayah Ibu dari peserta didik.
Alasan penolakan pihak sekolah pada zonasi amat tak masuk akal. Sebab, jarak tempuh dari tempat tinggal Juhayah ke sekolah hanya butuh waktu tempuh cukup dengan 10 hingga 15 menit. Terlebih tempat tinggal Juhayah masih satu Kecamatan dengan sekolah SMA N 1 Cibadak. Dan perlu diketahu juga bahwa SMA Negeri 1 Cibadak merupakan satu-satunya sekolah yang beroperasi di wilayah Kecamatan Cibadak. Lebak Banten.
“Dan saya disarankan untuk mendaftar di Kalanganyar daerah Mandala atau Warunggunung, nama sekolahnya MHI” Lanjutnya.
Pengalihan yang disarankan oleh pihak sekolah tentu sudah diluar kebijakan sistem zonasi yang diberlakukan, karena dua tempat yang disarankan tersebut zonasinya semakin jauh dari tempat tinggal Juhayah. Perkiraan jarak tempuhnya pun berada dalam kisaran 35 hingga 40 menit. Serta sekolah di dua wilayah tersebut masih berstatus swasta.
Dalam hal ini persaingan lembaga pendidikan (Sekolah) antara negeri dan swasta akan lebih didominasi oleh swasta, hingga dengan demikian sistem zonasi tak sepenuhnya berpihak pada rakyat.
Harusnya, sebelum pemerintah (Kemendikbud) memberlakukan sistem zonasi dengan tujuan untuk meratakan pendidikan atau menghilangkan kasta pada sekolah-sekolah negeri, pastikan terlebih dahulu sekolah negeri mampu memberikan kuota yang cukup di setiap zonasi, terutama di daerah pinggiran, dan paling tidak berlakukan pula subsidi untuk sekolah swasta agar siswa/siswi yang melanjutkan ke swasta mendapatkan hak yang sama.
Jadi, jika dua hal tersebut belum terpenuhi oleh pemerintah. Maka dipastikan kebijakan sistem zonasi ini tidak berpihak pada rakyat pinggiran. Sehingga akan berdampak negatif seperti terjadinya penurunan motivasi belajar dan banyaknya orang yang putus sekolah di kalangan masyarakat.
Sebetulnya, diterapkannya sistem zonasi ini tak semuanya berdampak buruk pada masyarakat, Misalnya di daerah perkotaan yang sudah memiliki sekolah yang telah memadai baik dari kualitas mau pun kuantitas. Sebut saja Jakarta.
Kota Jakarta menjadi salah satu kota yang tidak keberatan dalam menerima penerapan kebijakan sistem zonasi ini, karena Jakarta memiliki sekolah negeri yang berdaya tampung lebih tinggi untuk masyarakat.
Dilhat dari suasananya yang tak kontroversial, kebanyakan dari masyarakat Jakarta malah mengapresiasi tentang kebijakan tersebut dan dianggap telah memudahkan mereka untuk melanjutkan sekolah di tempat terdekat dari tempat tinggalnya.
Harapanya, pemerintah dapat mempertimbangkan kembali tentang kebijakan sistem zonasi ini yang dianggap tak semuanya masyarakat menerima, khususnya masyarakat daerah pinggiran. Agar semua kebijakan pemerintah yang bertujuan baik untuk masyarakat dapat tercapai tanpa adanya keberpihakan atau pun diskriminasi (perbedaan perlakuan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H