Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, sektor manufaktur adalah salah satu sektor yang paling terkena dampaknya. Robot pintar kini mengambil alih tugas yang sebelumnya dilakukan manusia di lini produksi, dan kecerdasan buatan (AI) mampu menjalankan operasional pabrik sendiri, menjadikan automasi sebagai topik perbincangan hangat. Meskipun hal ini menjanjikan efisiensi dan produktivitas, terdapat juga kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap tenaga kerja. Jadi, apakah automasi menghadirkan lebih banyak peluang atau ancaman bagi pekerja?
Automasi: Sebuah Revolusi di Dunia Industri
Automasi bukanlah ide baru. Sejak Revolusi Industri, manusia telah menciptakan mesin untuk mengambil alih tugas-tugas yang padat karya dan berulang-ulang. Namun, kemajuan teknologi terkini telah merevolusi otomatisasi dengan cara yang benar-benar baru. Saat ini, mesin tidak hanya bekerja secara mekanis tetapi juga "berpikir" berkat AI dan pembelajaran mesin. Hal ini memungkinkan pabrik untuk beroperasi terus menerus tanpa kelelahan, sehingga meningkatkan efisiensi dan mengurangi kemungkinan kesalahan manusia.
Otomasi berdampak besar pada efisiensi di tingkat global. Negara-negara seperti Jepang dan Jerman telah secara efektif memasukkan robotika ke dalam proses manufaktur mereka untuk mempertahankan keunggulan kompetitif mereka di arena internasional. Di Indonesia, sektor seperti otomotif dan elektronik juga mulai menjajaki dan menerapkan teknologi ini.
Ancaman terhadap Tenaga Kerja
Meskipun kita mengakui kemajuan teknologi ini, sebuah isu penting muncul: apa yang akan terjadi pada pekerja manusia? Karena mesin dapat menyelesaikan tugas dengan lebih cepat, dengan biaya lebih rendah, dan tanpa waktu henti, permintaan akan tenaga kerja manusia kemungkinan besar akan berkurang. Laporan dari McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa pada tahun 2030, sebanyak 14% pekerjaan di seluruh dunia akan sepenuhnya terotomatisasi.
Situasi di Indonesia lebih buruk lagi karena sektor manufaktur mempunyai peran penting dalam penciptaan lapangan kerja. Ketergantungan pada tenaga kerja manual di pabrik berarti peralihan ke arah otomatisasi dapat memicu peningkatan pengangguran secara signifikan, khususnya yang berdampak pada pekerja berketerampilan rendah. Peran berulang seperti operator mesin dan pekerja jalur perakitan mempunyai risiko paling tinggi.
Selain itu, kita harus mengakui tantangan psikologisnya. Ketika mesin menggantikan pekerja, yang terjadi bukan hanya hilangnya pendapatan, ini juga tentang hilangnya rasa identitas dan rasa memberikan kontribusi. Bagi banyak orang, pekerjaan bukan sekadar persoalan ekonomi; ini adalah cara untuk menemukan tujuan dan merasa dihargai.
Automasi Sebagai Peluang
Bahkan dengan beberapa kekhawatiran, tidaklah benar jika memandang automasi secara negatif. Jika digunakan dengan bijak, otomatisasi sebenarnya bisa menjadi peluang luar biasa. Dengan membiarkan teknologi menangani tugas-tugas yang monoton dan menuntut, manusia dapat fokus pada upaya yang lebih kreatif dan strategis. Hal ini membuka jalan baru untuk melatih kembali dan meningkatkan keterampilan tenaga kerja.
Misalnya, di negara-negara maju, automasi telah mengakibatkan tingginya permintaan akan pekerjaan di berbagai bidang seperti pemrograman, analisis data, dan manajemen teknologi. Indonesia berpeluang memanfaatkan tren ini untuk meningkatkan kualitas tenaga kerjanya melalui program pendidikan dan pelatihan berbasis teknologi.
Selain itu, otomatisasi dapat membantu industri lokal meningkatkan daya saing mereka di pasar global. Dengan menekan biaya produksi dan meningkatkan standar kualitas, produk Indonesia bisa tampil lebih baik di kancah internasional. Meskipun hal ini dapat menyebabkan hilangnya pekerjaan dalam jangka pendek, potensi pertumbuhan ekonomi jangka panjang dari otomatisasi cukup menjanjikan.
Solusi: Kolaborasi antara Teknologi dan Manusia
Apa yang dapat kita lakukan untuk menjadikan automasi sebagai peluang, bukan ancaman? Jawabannya sederhana: kolaborasi. Kita tidak boleh menganggap otomatisasi sebagai cara untuk menggantikan manusia, namun sebagai alat yang dapat membantu mereka dalam pekerjaan mereka. Penting bagi pemerintah dan industri swasta untuk bekerja sama guna memastikan transisi yang lancar dan adil bagi pekerja.
Pentingnya pendidikan dan pelatihan ulang adalah yang terpenting. Penting bagi pemerintah untuk berinvestasi pada program yang berfokus pada pengembangan keterampilan teknologi. Pada saat yang sama, perusahaan harus memastikan bahwa mereka memberikan peluang bagi karyawannya untuk tumbuh dan beradaptasi dengan teknologi baru.
Ada kebutuhan untuk merumuskan kebijakan yang membela hak-hak pekerja. Misalnya kita bisa memastikan penggantian pekerjaan manusia dengan mesin dilakukan secara bertahap disertai kompensasi atau bantuan lainnya.
Kesimpulan
Di bidang manufaktur, automasi berfungsi seperti pedang bermata dua. Hal ini memberikan efisiensi dan meningkatkan daya saing, namun juga menciptakan tantangan besar bagi angkatan kerja. Tantangan-tantangan ini bukanlah alasan untuk menolak teknologi; mereka adalah kekuatan pendorong bagi kita untuk beradaptasi dan berkembang.
Ketika dihadapkan dengan strategi yang tepat, automasi dapat menjadi kekuatan yang kuat untuk melakukan perubahan positif baik bagi bisnis maupun karyawannya. Teknologi hanyalah sebuah alat, dan dampaknya ditentukan oleh tindakan kita. Apakah kita akan membiarkannya menjadi ancaman, atau justru kita menjadikannya peluang untuk membangun masa depan yang lebih baik? Jawabannya terserah kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H