Permasalahan pungutan liar pada pelayanan publik merupakan permasalahan yang sudah lama meresahkan masyarakat. Mulai dari pengurusan dokumen penting hingga akses layanan kesehatan. "Biaya tambahan" tidak resmi ini sering kali tampak tidak dapat dihindari.Â
Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: mengapa pungutan-pungutan ini tetap ada, dan haruskah kita menerimanya sebagai bagian dari "tradisi" pelayanan publik? Jawabannya tentu saja tidak. Untuk benar-benar menghilangkan praktik ini, kita perlu mengambil tindakan yang lebih strategis daripada sekadar mengeluh.
Pungli: Akibat Sistem atau Budaya?
Salah satu penyebab utama maraknya pungutan liar adalah sistem birokrasi yang rumit. Prosedur yang panjang dan seringkali tidak jelas menciptakan peluang bagi individu untuk mengeksploitasi situasi tersebut. Misalnya, ketika seseorang membutuhkan dokumen penting dengan cepat, "jalan pintas" suap yang menggiurkan mungkin sulit ditolak.
Meski begitu, kita tidak bisa menyalahkan sistem begitu saja atas masalah ini. Pengaruh budaya juga berperan dalam sifat pungutan informal yang masih berlangsung.Â
Di beberapa komunitas, biaya ini dianggap sebagai bentuk "terima kasih" atau "uang rokok" atas bantuan. Sikap ini memperkuat siklus di mana memberi dipandang sebagai hal yang normal, dan pejabat merasa berhak untuk meminta.
Konsekuensi yang Tidak Terlihat
Permasalahan pungutan liar bukan sekedar kehilangan uang berlebih. Parahnya lagi, menimbulkan ketidakadilan yang berdampak pada banyak orang. Mereka yang mampu membayar "lebih banyak" seringkali menerima perlakuan yang lebih baik, sementara mereka yang tidak mampu justru tersisih. Situasi ini melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan memperburuk kesenjangan sosial.
Selain itu, adanya pungutan liar juga berdampak negatif terhadap efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik. Membiarkan praktik-praktik seperti ini terus berlanjut akan menghasilkan sistem yang kurang efektif, karena penekanannya beralih dari penyediaan layanan berkualitas ke arah keuntungan pribadi. Transformasi ini menjadikan pelayanan publik yang seharusnya menjadi hak semua orang, kini hanya menjadi bisnis segelintir orang.
Haruskah Kita Menyerah?