Mohon tunggu...
Rial Roja
Rial Roja Mohon Tunggu... Editor - Digital Marketer/Content Writer

Menghidupkan tulisan dengan gaya santai namun informatif. Mari berbagi cerita dan inspirasi!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Penjaga Mimpi di Ruang Kelas

19 November 2024   11:16 Diperbarui: 19 November 2024   11:18 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi anak-anak berlari disaat senja. (Sumber illustrasi: www.freepik.com)

Di kaki bukit di sebuah desa kecil, terdapat sebuah sekolah sederhana dengan tiga ruang kelas. Salah satu ruang kelas tersebut merupakan surganya seorang guru bernama Bu Ratna, seorang wanita paruh baya yang terkenal dengan senyumnya yang selalu hangat. Meskipun ruang dan sumber daya terbatas, Ibu Ratna suka mengatakan, "Kelas ini bukan hanya untuk belajar, ini adalah tempat perlindungan bagi impian Anda."

Hari itu, desa tersebut diguyur hujan sehingga menyebabkan atap seng sekolah bergetar hebat. Kedua belas siswa kelas enam menjadi cemas. Anak-anak ini, meski berasal dari petani dan buruh, memiliki cita-cita besar dan hati penuh harapan.

Riko, seorang anak laki-laki yang penuh rasa ingin tahu, mengajukan pertanyaan, "Apakah kita benar-benar mampu mewujudkan impian kita?" Ia bercita-cita menjadi pilot, meski belum pernah berkesempatan melihat pesawat dari dekat.

Sambil tersenyum lembut, Ratna berhenti menulis di papan tulis sambil menatap Riko. "Tentu saja Riko! Ingat saja, mimpi itu ibarat benih yang perlu dipupuk melalui belajar, kerja keras, dan doa."

Anak-anak yang lain mulai angkat bicara, seolah semakin berani mendengar pesan Bu Ratna.

"Tapi Bu, apa gunanya bermimpi jika kita tinggal di desa kecil? "Sepertinya tidak ada yang peduli dengan kami," kata Dina, gadis pendiam yang bercita-cita menjadi dokter.

Bu Ratna menghampiri Dina dan berlutut agar sejajar dengannya. "Dina, pernahkah kamu melihat sekuntum bunga tumbuh di celah batu? Bahkan di tempat yang paling tidak terduga sekalipun, keindahan bisa muncul.

Mata Dina berbinar karena emosi, dan dia tersenyum lembut. Ucapan Bu Ratna seolah menyulut api semangat di hatinya.

Pada hari itu, Bu Ratna menginstruksikan setiap siswa untuk menuliskan mimpinya di selembar kertas. "Pastikan untuk menuliskan impian Anda dengan jelas. Setelah itu, kami akan menggantungnya di dinding kelas agar kami dapat mengingat tujuan kami setiap hari."

Anak-anak mulai menulis dengan antusias. Ruang kelas menjadi sunyi, yang tersisa hanyalah suara pensil yang menari-nari di atas kertas. Setelah selesai, mereka masing-masing mempresentasikan tulisannya di depan kelas satu per satu.

Riko berdiri lebih dulu. "Aku ingin menjadi pilot agar bisa melihat dunia dari langit. Aku juga ingin mengantar ayah dan ibuku naik pesawat." Anak-anak lain bertepuk tangan untuk mendukung.

Setelah itu, Dina melangkah maju dengan sedikit ragu. "Saya... saya ingin menjadi dokter. Saya ingin membantu masyarakat di desa kami sehingga tidak ada yang meninggal karena mereka tidak mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan."

Bu Ratna berseri-seri bangga sambil memberikan tepukan kecil di bahunya. Begitu setiap mimpi ditulis dan dipajang di dinding, ruang kelas seakan berubah menjadi galeri harapan. Dia dengan penuh kasih menyebutnya "Tembok Impian."

Namun, kenyataan seringkali kurang menarik dibandingkan impian kita. Seminggu kemudian, mereka menghadapi kabar buruk. Sekolah mereka akan ditutup karena kekurangan dana untuk operasional. Kepala sekolah mengumumkan bahwa ini akan menjadi tahun terakhirnya di sekolah. Anak-anak terdiam, dan Bu Ratna berusaha keras untuk tetap tersenyum, meski hatinya hancur.

Beberapa hari berikutnya, semangat anak-anak mulai berkurang. Bahkan ada yang berhenti datang ke sekolah. Dina berhenti mengerjakan tugasnya, dan Riko sering melamun selama pelajaran. Menyadari hal tersebut, Bu Ratna memutuskan untuk mengambil tindakan. Suatu pagi, dia memasuki kelas dengan sebuah kotak besar berisi balon warna-warni dan spidol.

"Kami akan memulai tugas akhir kami di sekolah ini," ucapnya riang. "Semua orang akan menuliskan mimpinya di balon-balon ini, lalu kita akan melepaskannya bersama-sama."

Awalnya anak-anak agak ragu. Namun melihat senyum cerah Bu Ratna membuat mereka semakin percaya diri untuk bergabung. Satu demi satu, mereka menuliskan mimpinya di balon-balon itu, mengikatnya erat-erat, dan membayangkan balon-balon itu membawa harapan mereka ke angkasa.

Setelah balon terakhir siap, mereka berjalan menuju bukit terdekat dekat sekolah. Angin dengan lembut membelai mereka saat mereka berkumpul.

"Dengar ya anak-anak," kata Bu Ratna sambil memegang tali balon. "Sekolah ini mungkin akan memudar, tetapi impian Anda harus tetap hidup. Jangan pernah berhenti bermimpi, bahkan ketika keadaan terasa tidak adil."

Dengan hitungan mundur sampai tiga, mereka melepaskan balon-balon itu ke angkasa. Anak-anak bersorak, mata mereka berbinar ketika balon warna-warni melayang ke atas, masing-masing membawa catatan kecil dari hati mereka.

Waktu berlalu, dan desa tersebut mengalami banyak perubahan. Sekolah kuno di kaki bukit itu sudah tidak berdiri lagi, namun kenangannya masih dikenang oleh para mantan muridnya.

Riko menjadi seorang pilot, seperti yang selalu ia impikan, dan ia sering bercerita kepada rekan kerjanya tentang seorang guru yang menaruh kepercayaan padanya. Dina sukses dalam perjalanannya menjadi dokter dan mendirikan klinik kecil di desanya.

Di hari yang penuh kenangan, para alumni berkumpul di kampungnya untuk mengenang Ibu Ratna tercinta yang tak lagi bersama mereka. Mereka berdiri di lokasi bekas sekolahnya, kini hanya tersisa kenangan berupa puing-puing.

"Bu Ratna adalah penjaga impian kami," ucap Riko dengan mata berkaca-kaca. "Dia mendorong kita untuk percaya pada diri kita sendiri, bahkan ketika dunia mengatakan sebaliknya." Dina mengangguk sambil menatap ke langit."Impian kami bertahan lama, Bu. Terima kasih atas kepercayaan Anda yang tak tergoyahkan kepada kami."

Tetesan air hujan mulai rintik-rintik, seakan langit sedang merasakan hangatnya kenangan indah itu. Meski sekolahnya sudah tidak berdiri lagi, namun semangat Bu Ratna tetap membekas di hati para siswanya, menjadi mercusuar yang memandu perjalanan hidup mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun