Riko berdiri lebih dulu. "Aku ingin menjadi pilot agar bisa melihat dunia dari langit. Aku juga ingin mengantar ayah dan ibuku naik pesawat." Anak-anak lain bertepuk tangan untuk mendukung.
Setelah itu, Dina melangkah maju dengan sedikit ragu. "Saya... saya ingin menjadi dokter. Saya ingin membantu masyarakat di desa kami sehingga tidak ada yang meninggal karena mereka tidak mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan."
Bu Ratna berseri-seri bangga sambil memberikan tepukan kecil di bahunya. Begitu setiap mimpi ditulis dan dipajang di dinding, ruang kelas seakan berubah menjadi galeri harapan. Dia dengan penuh kasih menyebutnya "Tembok Impian."
Namun, kenyataan seringkali kurang menarik dibandingkan impian kita. Seminggu kemudian, mereka menghadapi kabar buruk. Sekolah mereka akan ditutup karena kekurangan dana untuk operasional. Kepala sekolah mengumumkan bahwa ini akan menjadi tahun terakhirnya di sekolah. Anak-anak terdiam, dan Bu Ratna berusaha keras untuk tetap tersenyum, meski hatinya hancur.
Beberapa hari berikutnya, semangat anak-anak mulai berkurang. Bahkan ada yang berhenti datang ke sekolah. Dina berhenti mengerjakan tugasnya, dan Riko sering melamun selama pelajaran. Menyadari hal tersebut, Bu Ratna memutuskan untuk mengambil tindakan. Suatu pagi, dia memasuki kelas dengan sebuah kotak besar berisi balon warna-warni dan spidol.
"Kami akan memulai tugas akhir kami di sekolah ini," ucapnya riang. "Semua orang akan menuliskan mimpinya di balon-balon ini, lalu kita akan melepaskannya bersama-sama."
Awalnya anak-anak agak ragu. Namun melihat senyum cerah Bu Ratna membuat mereka semakin percaya diri untuk bergabung. Satu demi satu, mereka menuliskan mimpinya di balon-balon itu, mengikatnya erat-erat, dan membayangkan balon-balon itu membawa harapan mereka ke angkasa.
Setelah balon terakhir siap, mereka berjalan menuju bukit terdekat dekat sekolah. Angin dengan lembut membelai mereka saat mereka berkumpul.
"Dengar ya anak-anak," kata Bu Ratna sambil memegang tali balon. "Sekolah ini mungkin akan memudar, tetapi impian Anda harus tetap hidup. Jangan pernah berhenti bermimpi, bahkan ketika keadaan terasa tidak adil."
Dengan hitungan mundur sampai tiga, mereka melepaskan balon-balon itu ke angkasa. Anak-anak bersorak, mata mereka berbinar ketika balon warna-warni melayang ke atas, masing-masing membawa catatan kecil dari hati mereka.
Waktu berlalu, dan desa tersebut mengalami banyak perubahan. Sekolah kuno di kaki bukit itu sudah tidak berdiri lagi, namun kenangannya masih dikenang oleh para mantan muridnya.