Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveler amatir. Menggali pengetahuan dari pengalaman terus membaginya agar bermanfaat bagi banyak khalayak..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Healing Tipis-Tipis ke Yogya

3 Desember 2024   07:51 Diperbarui: 4 Desember 2024   16:24 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Museum Ullen Sentalu menyimpan informasi sejarah kebudayaan Jawa (Sumber: dok. pribadi)

Kesibukanku di bulan Oktober 2024 tak berjeda. Tujuh hari seminggu terasa tak cukup memenuhi hasrat kerja. Sabtu-Minggu berlalu, tiba-tiba Senin muncul dengan segudang rencana. Agenda besar menguras energy usai, inisitaif lain antri menunggu. "Ah, rutinitas kerja mendera setiap hari tak berhenti. Kapan ya bisa rehat untuk berefleksi sesaat ...", keluhku sebelum tidur malam. 

Carl Honore, filosuf Kanada dalam buku "In Prise of Slowness", berkata, "We are slave to our schedules". Selanjutnya ia mengingqtkan, "manfaat besar dari memperlambat langkah adalah mendapatkan Kembali waktu dan ketenangan untuk membuat koneksi yang bermakna -- dengan pekerjaan, dengan tubuh dan pikiran kita sendiri". Rehat dari pikuk rutinitas jadi keniscayaan.

Kala kantor menawarkan pekerjanya jeda untuk healing akhir Minggu, secepat kuiyakan. Kota Yogyakarta disepakati sebagai destinasi. Waktunya dari 14-16 November 2024 dan diikuti 9 orang menggunakan moda kereta api. Tim kecil merancang itenerary (schedule acara) ditengah kesibukan.

Pagi, Kamis, 14 November 2024, langit Jakarta cerah merona. Pertanda hujan tak turun ke bumi. Kereta Argo Dwipangga yang mengangkut kami, berangkat pukul 08.50 dari stasiun Gambir ke Yogyakarta. Waktu dimana kesibukan ibu kota menggeliat di semua akses menuju stasiun. 

Kami berjibaku ke Gambir penuh "drama". Kebayang kan, padatnya akses jalur ke stasiun melewati keramaian ibukota. 

Seorang teman bercerita kakinya terkilir saat turun tangga stasiun Gondangdia menuju Gambir, karena terburu-buru takut ditinggal kereta. Teman lain bercerita akses jalan ojol yang ditumpangi tertutup barisan militer, membuat jantungnya berdenyut kencang.

Pengalamanku senada. Setelah turun dari LRT, perjalananku terhenti ke akses menuju busway jurusan Gambir, karena puluhan murid taman kanak-kanak ramai di sana. Ahamdulillah, meski berdrama ria, kami berkumpul di pintu masuk kereta pas jam keberangkatan.

Sinar matahari melipir malu-malu di balik tirai jendela kereta. Bunyi peluit masinis melengking, tanda kereta segera berangkat. Riuh ramai penumpang di gerbong kereta, semua bercerita drama menuju Gambir. Lima belas menit berlalu, suasana hening. Sebagian teman membuka lap top dan HP untuk meeting zoom.

Waktu makan siang tiba. Semua membuka bekalnya. Teman sebelah kursiku membuka bungkusan yang disiapkan istri. Yang lain -- temanku yang menjalani hidup sehat -- membuka bekal berisi buah dan salad. Semua saling berbagi bekal membuat suasana gerbong semarak. Bagi yang bosan makanan rumah, mereka ngacir ke resto kereta.

Setengah jam berlalu, suara teman-teman tak terdengar, pertanda kantuk menyergapnya. Sebagian lagi melamun dan memandang sawah sepanjang kiri-kanan perjalanan kereta. Hiingga akhirnya kereta mendarat di Yogyakarta pukul 16.00 sore hari. Berikut cerita healingku di Yogya.

Museum berada di ketinggian menyimpan informasi sejarah baik untuk refeksi hidup (Sumber: dok. pribadi))
Museum berada di ketinggian menyimpan informasi sejarah baik untuk refeksi hidup (Sumber: dok. pribadi))

Kuliner Gudeg Yang Viral

Jam tanganku menunjukkan pukul 18.30 malam. Setelah istirahat di penginapan asri "Arah Living", daerah Soropadan, Condongcatur, Kec. Depok, Yogyakarta, kami bersiap kuliner nasi Gudeg viral bernama "Permata". Anak-anak muda tak suka gudek "Yu Jum". Mereka bilang rasanya sudah old test, terlalu manis. Di medsos, muncul warung gudeg yang pembelinya ngatri, kayak mengambil bansos. 

Rata-rata jam operasi dari jam 20.00 -- 12.00. Beberapa warung gudeg yang viral terletak di beberap titik. Gudeg Permata berlokasi di Jalan Gajah Mada Nomor 2, Gunungketur, Pakualaman, Kota Yogyakarta, salah satunya.

Lokasinya di pinggir jalan raya, dekat lampu merah. Meski tempat parkirnya sempit, pelanggannya tak pernah sepi. Menjelang pukul 19.30, sesaat menjelang jam 20.00 waktu awal buka, pengunjung antri menunggu.

Karena takut tak mendapat kursi, selepas magrib, kami berangkat ke sana. Sesampainya baru jam 19.15 menit, dan warung masih tutup. Di sampingnya ada apotik dengan tulisan di parkiran, "Pengunjung Gudeg, dilarang parkir di sini". Ini menunjukkan begaimana pelanggan gudeg Permata meluber hingga ke apotik.

Kami menyebar mencari kesibukan menjelang pukul 20.00. Saya ngacir ke angkringan sebelah Toserba dan memesan kopi hitam dan tahu bacem mengisi perut kosong. Baru tiga seruput kopi, HPku berdering, "Mas cepat ke sini, ini warung sudah buka. Tempat dudunya terbtas, nanti tidak kebagian loh...", suara temanku di HP. Aku bergegas membayar kopi hitam dan tahu bacem. "Berapa Pak?", tanyaku. "Tiga ribu rupiah saja dek", jawabnya enteng. Terkejut aku dengan harganya yang murah.

Sesampai di warung, beberapa kursi dan meja sudah terisi pengunjung lain. Kami duduk melingkar di meja dan kursi depan. Warung ini memiliki 6 meja dan kursi. Di depannya ada meja dan plastik pernutup bagi gudeg, krecek, telor, ayam, dsb.

Lima menit kemudian, datang mobil box berisi gudeg dan lauk pauk lain. Secepatnya pemilik menyandingkannya di meja berpenutup plastik tebal, berduyun-duyun pelanggan hadir mengerubuti meja yang penuh lauk. Seorang pelayanan gercep mencatat pesanan pelanggan yang baru hadir. Seorang perempuan dan laki-laki sigap menata gudeg di meja tertutup plastic.

Aku memesan gudeg dengan ayam kampung. Laparku terobati di waktu yang pas. Rasanya gurih dan enak serta cocok dengan lidahku yang tak menyukai manis berlebihan. Semua temanku meminta tambahan lauk. Setelah ditotal, harga pesanan setiap orang sebesar Rp 30.000,- Ini sungguh murah untuk rasa yang lezat.

Malam makin larut. Rasa kenyang membuat perutku pegal namun enak. Pelanggan yang baru pulang kantor, keluarga beserta anak-anak, dan kelompok pekerja kantoran hadir tanpa spasi. Tak jauh darinya, berderet mobil pelanggan jauh memanjang. Kami bergegas melipir setelah membayar untuk memberi kesempatan pelanggan lain menikmati sepiring gudek nan lezat.

Pasar Ngasem

Beraneka ragam makanan tradisional di pasar Ngasem menarik pengunjung (Sumber: dok. pribadi)
Beraneka ragam makanan tradisional di pasar Ngasem menarik pengunjung (Sumber: dok. pribadi)
Jum'at, 15 November 2024, kicau burung menyambut hari. Kesejukan pagi dan lengangnya jalan Soropadan, Condongcatur, depan penginapan Arah Living, mendorongku berlari pagi. Olah raga pagi membuatku segar secara pyisik dan mental, siap berhealing ria hari ini.

Pagi ini, kami berburu sarapan di pasar Ngasem. Ini pertama saya berkunjung sehingga tak sabar mencicipi kuliner tradisonal Yogya. Sesampainya, pasar ramai dengan pengunjung dan penjual serta warga sekitar. Dari kostumnya, sebagain besar pengunjung datang dari luar kota. 

Beragam penjual dan makanan tradisional tersebar di pojok-pojok lapak. Ada pecel, bakpia yang dikukus fresh, nasi rames khas jawa, bubur sumsum, lepet, rengginang dan jajanan khas Jawa lain yang asing bagiku.

Saya bingung dengan aneka ragamanya makanan tersaji. Rata-rata harganya murah untuk standar wisatawan luar Yogyakarta. Di satu sudut lapak, pengunjung mengantri membeli makanan dengan piring berbalut daun pisang di tangan. Saya panasaran dan kudekati antrian. Ternyata, mereka mengantri nasi rupa-rupa khas Jawa yang berharga murah. Mereka mengambil nasi dan lauk seperti; telor ayam kampung, tahu bacem, krecek dll.

Setelah berkeliling, saya membeli pecel lontong dengan kue tradisional lain. Rasanya enak, khas pecel dengan kacang racikan Yogya. Kami makan di tempat bergaya Joglo depan pasar belaskan tikar. Di situ, tersedia kursi dengan meja yang dikelilingi pohon dan baris parkir motor dan sepeda. 

Lokasinya tertata rapi. Terlihat di berbagai pojok, kelompok orang bersenda gurau sambil menikmati sarapan. Pasar ini menjadi desa wisata penduduk setempat dan sebagai tujuan wisata.

Pengunjung luar Yogyakarta ramai memenuhi pasar (Sumber: dok. pribadi)
Pengunjung luar Yogyakarta ramai memenuhi pasar (Sumber: dok. pribadi)

Ullen Sentalu

Meski beberapa kali ke Yogya, saya baru mendengar nama Ullen Sentalu. Ia adalah museum sejarah kebudayaan Jawa terletak di dataran tinggi bernuansa magis. Alamatnya di Jln Boyong, Kaliurang, kec. Pakem, kab. Sleman. Namanya marupakan akronim ujaran falsafah bahasa Jawa berarti, "Ulating Blencong Sejatining Tataraning Lumaku", bermakna "terang adalah penuntun jalan kehidupan".

Lama aku mengeja arti istilah itu di benaku. Selain kedalaman makna, ia juga penggambaran protret era masyarakat Jawa alami. Musium menggambarkan sejarah Jawa dari masa ke masa yang penuh symbol dan laku ajar hidup bagi manusia. Ada tiga kategori harga bagi pengunjung guna menikmati sejarah Jawa di musium. Perbedaan itu terkait dengan fasilitas informasi, lokasi kunjungan, benda-benda (lukisan, keris, patung, pakaian, senjata dan pernak pernik peninggalan lain) sebagai pembeda kunjungan.

Kami memilih paket kunjungan komplit. Seorang ahli sejarah memandu perjalan sejarah jawa. Perempuan berkerudung lincah menerangkan sejarah jawa, mulai dari kebudayaan masa Mataran kuno, masa Kerajaan Mataram Islam, hingga masa pencampuran dan asimilasinya dengan budaya Tiongkok. 

Darinya juga terceritakan tentang kehidupan para bangsawan di masa Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Praja Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman. Gambaran sejarah itu tercerminta di gaya pakaian, corak batik dan motifnya, makanan, rumah dan ornament lain.

Bagai mengembara ke masa silam, saya dibawa ke abad delapan masehi zaman Mataram Kuno atau Medang dari Dinasti Sailendra. Letaknya di Jawa Tengah dan Yogyakarta sebagai titik sentral kerajaan. Di buku sejarah dikisahkan kerajaan pecah hingga menyebar ke Surakarta. 

Semuanya tersajikan detail, mulai dari: pekaian dikenakan raja, permaisuri, hingga piring, keris, kursi, meja serta gelas yang dipakai menjelaskan bagaiamana kronik perubahan sejaran  kebudayaan Jawa tercipta.

Hamengkubuwono IX merupakan tokoh refolusioner zamannya sebagai salah satu raja Jawa yang meninggalkan jejak keberhasilan diungkap turis Guide. Di Surakarta juga ada seorang Raja dengan gagasan perubahan dan mengabdi rakyat.

Patung dan ornamen arsitek bangunan bernuasa jawa menambah keheningan (Sumber: dok. pribadi)
Patung dan ornamen arsitek bangunan bernuasa jawa menambah keheningan (Sumber: dok. pribadi)

Oh ya, aku mencatat informasi menarik bahwa daerah Yogyakarta dan sekitar diselimuti bencana alam, mulai dari gempa bumi, letusan gunung Merapi, hingga banjir dan longsor. Oleh karena itu, sejumlah raja di sejarahnya, pernah berpindah ke Jawa Timur. 

Tersimpan pertayaan di hati bahwa mungkin saja masih tersimpan peninggalan sejarah yang belum terungkap. Karena berbagai bencana mungkin saja pernah terjadi menimpa Yogyakarta dan sekitar.

Perjalanan ini membuatku merenung dan berefleksi atas apa yang kudengar dan lihat dari kronik sejarah kebudayaan jawa guna mengambil pembelajaran hidup sebagai amunisi healingku.

Kopi Klotok

Setelah menikmati wisata pengetahuan dan sejarah Jawa, saatnya kami menikmati kuliner khas Yogya di kopi Klotok. Warung ini viral di jagad maya. Tempatnya menyempil di perdesaan. Jalan ke arahnya cukup dua mobil yang berpapasan. 

Sesekali mobil kami menepi, memberi jalan mobil berlawan arah. Sesampainya, puluhan pengunjung telah mengantri di tiga barisan hingga ke luar restaurant untuk mengambil makanan.

Aksen restaurannya bergaya Jawa Kuno. Genteng, penyangga atap, dan dindingnya terbuat dari tembok yang kusam serta kayu jati tua nan asri. Kursi dan meja untuk makan terbuat dari kayu jati menyebar di dalam dan luar restaurant.

Pemandangan sawah menyatu dengan restauran kopi Klotok (Sumber: dok. pribadi)
Pemandangan sawah menyatu dengan restauran kopi Klotok (Sumber: dok. pribadi)

Karena semua kursi terisi pengunjung, sebagian kami mencari kursi kosong untuk bersembilan. Saat pelanggan lain selesai makan, temanku sigap mendudukinya dan yang lain antri mengambil nasi dan lauk pauk. 

Menunya seragam: nasi, sayur lodeh tahu, lodeh terong, lodeh embung, dan telor dadar krispi, serta ikan goreng. Kerupuk dan pisang goreng melengkapi menu utama. Meski sederhana, namun rasanya maknyus, terutama sayur lodeh yang khas jawa super lezat berharga murah.

Minumannya: kopi khas klotok, es teh manis, dan teh tawar dimana pengunjung mengambil sendiri. Pengunjung silih berganti hadir di restaurant. Siang hari makin memanas.

Saat teman-teman masih makan, saya keluar dan berkeliling restaruan. "wah.. luas banget nih restaruan. Kulihat keraiaman manusia sedang bersantap siang bersama di sudut tempat yang disediakan. Persis seperti meraryakan makan bersama", kataku lirih.

Persawahan terhampar luas di belakangnya. Pengunjung di luar menggelar tikar berhadapan sawah yang padinya telah menguning. Tagalan setapak nan asri memisah antara petak sawah sebagai jalan setapak. Aku menyaksikan puluhan manusia bersantap siang dengan tertib di kursi dan meja serta di alas tikar depan sawah. Semua bagai merayakan makan siang berjamaah.

Diiringi angin sawah semilir, tak terasa semua teman selesai makan siangnya. Saatnya kami hengkang dari restaurant. Kala membayar di barisan antri, saya terpana dengan harganya yang murah. Sepiring nasi, sayur lodeh, telor krispi, kopi, kerupuk dihargai sebesar Rp 25.000. Murah kan...

Nongkrong di angkringan pojok Malioboro aktiftas langka sambil menikmati malam (Sumber: dok.pribadi)
Nongkrong di angkringan pojok Malioboro aktiftas langka sambil menikmati malam (Sumber: dok.pribadi)

Malamnya sebelum besok ke Jakarta, kami hangout ke Malyoboro. Di sana saya menikmati Yogya di saat malam, sambil menyeruput teh angkringan di kopi Jos, dan kupandangi hilir mudik kendaraan, muda-mudi bercenkrama, dan lagu pengamen.

Tak terasa, jam tangan menunjukkan 12.00 malam. Rasa kantuk tak bisa terbendung. Di tengah gelapnya malam nan sepi kukebut laju motor bersama teman. Selamat malam Yogya. Terima kasih atas asupan healingnya. Besok kubalik ke rutinitas Jakarta. Suatu saat, pasti kukankembali..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun