Binatang Laron berputar-putar mendengung di kegelapan malam. Rabu, 21 Juni 2023, hujan dari pukul 15.00 WIT hingga petang mengundang puluhan hewan.
Kesunyian menyergap malam, mengganti riuh siang hari. Jam tanganku menunjuk 19.30 WIT, saya berdiri di teras rumah panggung, memandang pekatnya suasana hutan di lereng pegunungan.
Hingga 23 Juni 2023, saya bermalam di rumah kepala dusun, desa Sejati, akronim "Sulawesi, Jawa, Timor", kec. Tobadak 8, kab. Mamuju Tengah dikenal "Mateng", provinsi Sulawesi Barat.
Kec Tobadak terdiri 8 (delapan) desa yang terpisah jauh di lereng pegunungan, dan tobadak 8 tempat penduduk desa Sejati, berlokasi paling ujung. Karena letaknya diujung tak tersentuh, kekayaan sumber daya alam masih asri dibanding kampung sebelumnya. Buah durian berjatuhan di mana-mana (kebetulan sedang musim), sayur-sayuran, pohon penghasil minyak nilam, dsb. Berikut kisahku disana.
21 Juni 2023, pukul 12.30 siang, kakiku menjejak desa Mahahe, kab. Mateng, setelah 5 jam dari kota Mamuju. Desa ini pemberhentian akhir penduduk yang hendak ke Tobadak. Jarang kendaraan roda empat berani menembus Tobadak.
Jalan sempit nan menanjak, dan tanah berlobang, serta jarak berkilo-kilo meter ke perbukitan, membahayakan manusia. Menurut cerita, guna mencukupi kebutuhan ke jalan besar atau desa Mahahe, penduduk Tobadak berjalan kaki berkilo-kilo sebelum ada kendaraan.
Desa Sejati, Keanekaragaman Penduduk Pegunungan
Terik matahari memanas. Bersama teman, saya menunggu ojek penjemput dari Sejati. Cuaca yang berubah-ubah membuatku cemas. Mendung sesekali, dan berganti cerah. Hatiku berdetak, deg-degan. Bila hujan dan membasahi tanah, otomatis jalanan pun licin dan membahayakan pengendara motor.
Ditengah kegundahan, ojek hadir di hadapanku dan kami berangkat. Perjalanan ditempuh 1 jam setengah, kata pengojek. Dengan rangsel dipunggung, saya membonceng di jok belakang, dan sopir membawa beras, minyak dan tas rangsel di jok depan. Terbayangkan kan, beban kendaranku saat menanjak...
Sepanjang perjalanan, saya melihat hutan sawit dan rimbunan pohon terhampar. Jalan awal kutemui halus dan dicor semen, namun bagian lain lapisannya terkelupas, sehingga cakar besinya mengangga. Motor kami berjalan melipir di pinggir hati-hati berhadapan motor berlawan arah. Setengah jam berlalu, suasana lengang dan sepi menyergap.
Kini, kami di ujung jalan bercor yang bersambung tanah kering. Jalannya lebar namun bergelombang. Sisa air hujan menggenang, menggoyang ban motorku setengah licin. Sopir mengendarainya hati-hati. Sesekali hatiku dag dig. Khawatir motor menggelinding ke jurang karena tidak seimbang.
Kondisi ini akhirnya mendorong supir memintaku turun dan berjalan kaki di jalan penuh lumpur. Perjalanan terasa panjang dan membosankan. Perasaan was was menghantuiku. Hatiku berkata "kenapa perjalanan ini tidak sampai-sampai".
Melihat ini, sopir lekas mengajakku bercakap selama perjalanan. Saya memperbaiki tempat duduk karena perjalannan berbelok belok. Kini, kami sendirian di tengah sepinya hutan dan rerimbunan pohon di pegunungan.
Tiba-tiba supir menunjuk ke jalan tanah berwarna putih dari kejauhan yang berarti keterjangkauan tujuan di depan. Hatiku berkata, "Oh masih jauhkah itu lokasi yang hendak kita tuju ?".
Sampailah kami di perkampungan awal dimana kehidupan berdenyut. Beberapa rumah panggung dari kayu terlihat dari jalan. Inilah Tobadak 3 sebagai kampung tetangga, ungkap sopir ojek. Artinya masih ada permukiman Tobadak 4,5,6,7 hingga 8. Jalan akses kendaraan tetap berliku dan turun naik. Kami berhati-hati melewatinya.
Sampai kami melewati gapura bertulis, "selamat datang di desa Sejati". Alhamdulillah. Darinya masih 3 kilometer ke areal permukiman warga. Setelah sopir meletakan barang bawaan di rumahnya, kendaraanku ringan hingga ke rumah pak dusun sebagai lokasi menginap. Desa Sejati akronim "Sulawesi, Jawa, Timor" yang menandakan asal muasal penduduknya. Ketiga etnis tersebut mempunyai cerita ikhwal kedatangannya.
Yang menarikku, hikayat warga Eks Tim-Tim. Di sela-sela ngopi di malam di teras rumah panggung, saya berbincang dengan beberapa warga senior eks tim-tim.
Cerita awalnya dimulai saat mereka bermukim di Lokasi Penampungan, Makasar, setelah pengumuman refrendum antara integrasi dan kemerdekaan tahun 2000.
Kala itu, pemerintah RI memberi pilihan kepada warga untuk bertransmigrasi ke suatu daerah di Sulawesi Selatan. Tobadak yang berlokasi di Sulawesi Selatan kala itu dan kemudian dimekarkan menjadi provinsi Sulawesi Barat.
Kala mereka datang pertama, lokasi Tobadak masih hutan dan pegunungan. Akses jalan menuju kampung memprihatinkan. Sempit dan berjalan tanah. Semak belukar rimbun menutupi jalan setapak.
Semangat ingin berubah mendorong warga membuat jalan dengan gotong royong. Kala itu, ada perusahaan sawit di desa bawah yang sedang membuka lahan perkebunan yang terbatas.
Melihat perusahaan menanam sawit di desa bawah, mereka berinisiatif mengembangkan lahan kosong di pegunungan dengan aneka tanaman. Awalnya, mereka menanam coklat selama empat tahun karena memliki harga bagus. Saat harganya turun, petani eks tim-tim beralih ke tanaman lain.
Pertemuannya dengan penduduk dari Makasar dan Jawa, memperkaya pengetahuan akan budidaya pertanian. Sayur-sayuran bernilai jual ekonomi dan bahan makanan, mendorongnya untuk mempraktekkanya di lahan sendiri. Begitu pula dengan tanaman lain seperti Nilam dan Sawit yang bisa dijual ke perusahaan.
Cerita lucu diungkap seorang warga. Awalnya mereka tidak mengetahui durian dapat dimakan. Kala mereka datang dan mendapatkannya, mereka biarkan dan membuangnya ke suang.
Menurutnya buah itu tidak bisa dimakan, karena kulitnya berduri. Saat melihat orang Jawa dan Sulawesi memanfaatkannya, mereka ikut membudidayakannya.
Di sini, pohon durian tumbuh di mana mana. Harganya pun murah, dibawah Rp 10.000, - per biji. Saat musim, para tengkulak buah datang ke desa dengan mobil pick up menerobos jalan pengunungan. Ia membelinya dari kebun penduduk berkarung-karung yang tersebar luas di desa.
Cerita lain tentang suka duka kala perang saudara Meletus. Seseorang mengaku salah anggota badanya terluka tersabet samurai penduduk lain yang memiliki merdeka saat pecah perang saudara. "Ngeri sekali de, saat itu. Kita sudah gelap, mana teman dan saudara. Yang penting, integrasi atau merdeka. Untung, anggota TNI menyelamatkan nyawaku", ungkapnya sedikit tinggi suara.
Ceritanya mengalir tanpa curiga dan orisinal. Mereka mengaku senang bertemu dengan tamu yang membawa cerita perubahan.
Sembari ngobrol, permainan gaple mengiringi canda dan cerita ditemani dengan pisang rebus dari kebun penduduk. Mereka tidak mau kembali lagi ke tim-tim. Semua anggota keluarga inti telah berada di kampong. Hanya saudara sepu jauh saja di tim-tim dan aktif berkomunikasi sesekali. Kini mereka nyaman di desa Setia. Tanpa sadar malam mengalir larut. Perlahan satu per satu pamit pulang karena besok hendak ke ladang dan ke kebun.
Ceritanya menginspirasi dan memperkaya batinku. Mereka menolak tumbang dan memanfaatkan setiap peluang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H