Pernahkah pembaca ke pegunungan Sandapang, Sulawesi Barat (Sulbar)? Aksesnya berupa; jalan raya tanah turun-naik, gang jalan perkebunan, serta setapak di sawah pegunungan, namun kaya sumberdaya alam. Akses semua layanan publik jauh.Â
Hanya SD --baru diperbaiki-- sejengkal dari rumah perkampungan penduduk.
Meski begitu, keindahan panorama dan kehangatan warga kaki Sandapang magnet bagi pendatang. Ia berada di ketinggian 450 an meter, di desa Sandapang, kec. Kalumpang, Kab. Mamuju, Sulawesi Barat.Â
Gunung Sandapang sendiri terletak di ujung timur kec. Kalumpang dan perbatasan antara Mamuju Sulbar dan kab. Luwu Timur, Sulawesi Selatan.Â
Kata orang, bentuk gunungnya unik, karena mempunyai 3 puncak berhimpitan. Salah satunya mirip jempol manusia. Inilah cerita perjalanaku ke sana.
Panorama Mirip Pegunungan Eropa
Pukul 08.00 WIT, 13 Juni 2023, kami start dari kota Mamuju ke pegunungan Sandapang dengan mobil carteran. Tidak ada kendaraan khusus penumpang ke sana. Waktu tempuhnya empat jam dari kota Mamuju, Kec. Kalumpang---lokasi akhir mobil.Â
Pukul 12.30 siang, kami tiba di kota kec. Kalumpang. Ia memiliki lapangan luas dimana rumah penduduk mengelilingi berderet. Masjid berdiri di satu sudut, dan gereja di sudut lain. Keragaman etinis dan agama penduduk membaur puluhan tahun. Puskesmas berdiri di pintu gerbang kota. Â
Kami berhenti di rumah seorang penduduk dan berbincang dengan sopir ojek. Motor satu-satunya kendaraan yang tebus ke kaki pegunungan Sandapang. 4 motor dengan ban trail berjejer di depan rumah. Membutuhkan waktu 2 jam ke sana, ungkap tukang ojek.
Pukul 13.00 siang, kami berangkat. Keluar dari Kalumpang, kami berjumpa jalan raya beralas tanah merah. Terik matahari mengiringi perjalanan. Selama perjalanan, kami disuguhi pemandangan memicu adrenalin, namun mempesona.
Sebelah kanan, bukit tinggi berpotensi longsor saat hujan. Di kiri, jurang curam dengan aliran air sungai berkelok nan jernih. Meski jauh, percikan airnya terdengar lirih.Â
Sungai berkelok mengikuti aliran hingga ke pegunungan Sandapang, seru pengojek. Diatas sungai, deretan bukit indah dengan barisan pohon rimbun dan hutan. Angin sepoi-poi menerpa wajah dan kepalaku yang tak berhelem.
"Uh sejuknya ini angin. Meski udara panas di siang hari, namun terpaan angin di tengah pegunungan, menyegarkan badan", ungkapku lirih.
Meski begitu, desir kengerian di jantung kurasakan sesekali. Ban motor seperti bergoyang karena melaju kencang. Secepat itu, saya memegang bahu pengojek.
Saya mereka-reka panaroma itu seperti lokasi film holywood berlatar sejarah-kolosal Eropa. Cantik, mempesona dan penuh magis.Â
Saya kagum menikmati arah kiri berisi jurang dan panorama kelokan sungai nan indah. Karena jalannya berkelok dengan batu kerikil di beberapa titik, Saya tidak berani mengambil photo. Keselamatanku segalanya.
Tiba-tiba, pengojek mengarahkan motor ke jalan arah pemukiman penduduk pinggir jalan raya. Ada jalan sempit memuat motor dengan dua arah berlawanan.Â
Di depanku jembatan gantung khusus penjalan kaki dan motor menghubungkan pemukiman desa dengan tetangga. Di bawahnya sungai dengan gemercik air jernih menerpa bebatuan. Itulah aliran sungai yang kulihat sejak di pinggir jalan raya.
"Pelajaran Hidup" Perjalanan
Hingga akhirnya kekhawatiranku pecah. Sedari awal perjalanan, hatiku was was dengan kondisi jalan bertanah merah yang kulalui. Berlumpur, licin, dan menggelincirkan pengendara motor, bila hujan turun.Â
Setengah jam berikut, rintik hujan turun tak diudang. Harapanku sirna. Selanjutnya hujan turun deras. Tadinya kufikir bisa menembus rintik hujan, namun derasnya tak bisa kulawan hingga terpaksa berhenti di bedeng pinggir jalan. Lokasi itu rumah pekerja dinas PU (pekerjaan umum) yang sedang memperbaiki jalan dan jembatan. Disitulah kami berhenti menghindari hujan.
Ketakutanku membumbung kala pengojek berujar, "Wah berat ini pak. Jalanan ke pegunungan bertanah merah. Pasti licin kalau hujan deras.Â
Semoga ini tidak berlansung lama...", ungkapnya. Kami memandang jalanan yang makin penuh guyuran hujan. Dag dig perasaanku dengan nasib perjalan diatas jalan tanah merah nan basah.
Hujan deras melambat menjadi rintik-rintik. Kami melanjutkan perjalanan. Pengojek memacu motor dengan kecapatan sedang. Ban motor belakang bergoyang saat menyentuh jalan bertanah merah. Tiba-tiba hujan turun deras. Pengojek mempercepat laju motor guna segera sampai di tujuan.
Kala motor kami menanjak, tiba-tiba sopir ojek tak bisa mengendalikannya. Jatuhlah kami di atas jalan bertanah di tengah hujan.Â
Beruntung, tidak ada kendaraan melintas dari arah berlawanan dan sebaliknya. Mungkin karena hujan lebat. Kami berdiri secepat mungkin
. Remang-remang --karena tertutup hujan-- saya melihat kaki kananku lecet. Celana training bawahku robek. Saya merasakan perih di kaki, gumanku lirih.
Tak ada pilihan, kami melanjutkan perjalanan dengan rasa sakit di kaki. Terlihat bangunan kosong di tikungan dimana motor pengendara lain memarkir disana.Â
Kami berhenti dan meneduh. Perlahan saya melipat celana panjang kaki kananku. Terlihat tiga luka di sana. Yang satu lebih parah dari lainnya. Ada tetesan darah. Segera saya menempelnya dengan tansoplas. Alhamdulillah, rasa perih hilang kala luka tertutup salonpas.
Celana dan sepatuku basah, kotor dan penuh lumpur. Hujan pun semakin deras. Mental psikologisku drop, akibat jatuh dan melihat luka mengangga di kaki. Situasi seperti ini --bahkan yang terburuk sekalipun-- bisa menimpa siapa saja. Para traveler pasti pernah merasakan momen tertentu dalam perjalanan.
Di tengah rintik hujan, hatiku berdoa, "Ya Alloh (Tuhanku), kuatkan mentalku. Berikanlah pelajaran bermakna dari perjalanan ini".Â
Saya pun menguatkan tekad dan memotivasi diri supaya kuat dan tahan banting. Alhamdulillah, di ujung pemberhentian ada air terjun kecil turun dari bukit melewati jalan sebelum ke sungai. Jernih dan segar sekali.
Dengan semangat baru, saya ke pancuran untuk membersihkan lumpur menumpuk di sepatu, celapa, tas ransel, serta jaket. Minimal lumpur hilang dari pandanganku, sehingga memulihkan mental dan melupakan kejadian barusan. Sementara, sopir ojek memeriksa kondisi motor dan memperbaiki sebisanya.
Kejadian ini memberi pembelajaran pengendara untuk berhati-hati ke depan. Begitu ungkapku kepada sopir kala berbincang sambil menunggu reda.Â
Setengah jam lewat, hujan mereda. Saya melanjutkan perjalanan dengan hati-hati dan penuh perhitungan. Meski motor tetap bergoyang melaju di atas jalan tanah licin, namun kini lebih waspada.
Tiba-tiba hujan turun lebat kembali. Secepatnya sopir mempercepat laju penuh resiko di jalan sedikit beraspal guna menggapai bengkel untuk berteduh.
Lokasi ini ternyata pemberhentian akhir bagi mobil. 20 menit kami menunggu di sana. Saya menggerakan badan ala scretching sambil memotivasi diri. Tukang bengkel mengecek kekuatan motor.
Potensi Sebagai Wisata Petualangan
Jam di tangan menunjukkan pukul 15.00 sore. Saya bertanya ke tukang ojek, berapa lama waktu ke pegunungan? Ia menjawab satu jam setengah.Â
Hujan masih rintik-rintik. Untuk mengantisipasi hujan deras, kami putuskan berlaju kembali. Dengan tekad kuat, kami tembus rintik hujan penuh hati-hati.
Kini, kami melewati jalan kecil di perkampungan dan perkebunan coklat. Kami melewati jembatan gantung lagi dan 5 langhkah berikutnya menanjak curam ke jalan atas.Â
Karena khawatir, saya turun motor dan berjalan kaki. Sopir menuntun motor untuk mengantisipasi jatuh. Di tengah rintik, dan kaki kanan yang luka, saya paksakan berjalan naik ke tanjakan. Dari bawah, motor lain menunggu menyusul naik. Setelah nyaman, saya naik motor di jalanan sempit perkebunan.
Kini saya di area kebun kopi yang rimbun. Di sini, saya menjumpai petani baru pulang dari kebun. Lenggang dan sepi. Sesekali daun pohon bergoyang, pertanda ada petani. Terkadang kami berhenti, memberi jalan arah berlawan.
Selanjutnya, kami melalui pegunungan dengan jalan sempit yang kanannya jurang curam dimana bawahnya sungai dengan air jernih. Nun jauh di depan, gundukan pegunungan berderet hijau nan indah.
Hamparan sawah dengan jalan setapak kini kami berada. Terkadang kami berhenti untuk turun karena jalan becek dan licin. Lempeng kecil terlihat menyambung jalan.Â
Dua kali motor ojek terjerembab tipis-tipis ke parit. Bersama sopir, saya mengangkat motor sekuat tenaga. Sempurna perjalanan ini. Berkendara, berteduh, terjatuh, berhenti, berjalan kaki, terjerembab di parit sawah, dan berkendara lagi.
Sore menjelang malam kami tiba di dusun Makolong sebagai akhir tujuan. Ia berada di kaki pegunungan Sandapang, Kab. Mamuju, Sulawesi Barat.Â
Di balik kaki pegunungan ini daerah kec. Tobadak, kab. Mamuju Tengah hingga menembus Donggala, dan Palu Sulawesi Tengah. Sayang, hutan dan pegunungan menghalangi akses penduduk. Dahulu, warga dusun sering berjalan kaki melintas gunung dengan bekal beras untuk menginap di hutan guna menuju kota. Â
Kala membersihkan badan, tuan rumah dan warga yang menyaksikan lukaku, namun terkesan biasa. Saya heran dan sambil bercanda tanya kenapa. Ternyata, baginya kulit lecet karena jatuh menuju Makolong hal lumrah. Karena akses infrastruktur yang minim dan sulit.
Begitu warga luka atau lecet akibat perjalanan, penduduk memiliki obat emergency alami. Yaitu, mereka mengolesi luka dengan minyak Nilam yang pohonnya tumbuh subur. Alhamdulillah, dua hari berikutnya luka kaki mengering.
Selain warisan leluhur, penduduk betah tinggal disana karena kekayaan sumberdaya alam sebagai alasan. Semua bahan makanan dan ramuan obat tersedia.Â
Padi pegunungan ditanam tradisional non kimiawi menghasilkan beras berkwalitas. Saya menikmatinya setiap waktu makan. Nikmat dan menyehatkan.
Keakraban warganya seperti dongeng di buku cerita. Sesamanya saling membantu. Kala padi milik seorang warga panen, ramai-ramai tetangga membantunya. Ada yang membuat kue, kopi, dan aktifitas lain. Kelapa, alpuket, rambutan, pisang, tales, ubi kayu, embung bambu, salak, ikan di sungai, madu hutan, kopi, coklat, dsb tersedia di alam bebas.
Saat hendak pulang ke Jakarta, pikiranku bergejolak. Pegunungan Sandapang dan areal sekitar belum termanfaatkan sebagai lokasi wisata. Saya belum menyaksikan aktifitas pendakian gunung.Â
Gunung Sandapang belum menjadi pendaki dan traveler di Sulawesi. Kala turun ke Kalumpang, saya baru melihat beberapa kelompok anak muda ramai-ramai naik motor ke arah Sandapang. Mereka sedang menikmati travelling menantang ini. Sepertinya wisata treveling petualangan dengan motor cross, peluang wisata ke depan.
Tantangannya, daerah ini secara geografi dekat dengan IKN (ibu kota nusantara). Pendirian IKN yang membawa jumlah manusia, pasti membutuhkan sumber pangan. Pegunungan Sandapang mungkin salah satu sumbernya. Semoga semua pemangku kepentingan sadar dengan ini...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H