Marano namanya. Di Google, istilah itu merujuk ke bahasa Spanyol, Italia, dan juga tertulis di kamus bahasa Yahudi.Â
Dari free dictionary, bahasa Spanyol menamainya dengan binatang Babi atau pantangan kaum yahudi untuk mengkonsumsi daging babi (Spanish, pig, Marrano {from the Jewish prohibition against eating pork}).
Namun, bukan itu yang saya ceritakan. Marano merupakan desa di ketinggian 900 an meter dari permukaan laut nan indah, tapi terpencil. Ia berada di kec. Kalukku, kab. Mamuju, Sulawesi Barat, dan menyendiri di dataran tinggi.Â
Darinya, dengan jelas kita memandang daerah bawahnya termasuk kota Mamuju. Kabut sore dan pagi biasa turun menghiasi kawasan sekitar.Â
Hawa dingin tipis-tipis menyergap kulit badan kala malam tiba. Untuk mencapai desa, diperlukan perjuangan ekstra dan nyali tak bernadi.
Rentan longsor, jalan menanjak nan curam, yang kelilingi jurang menganga hiasan disampingnya sepanjang perjalanan. Jalanan sempit, hanya untuk sepeda motor dan beronak duri di beberapa titiknya. Kondisi cuaca -- hujan dan panas -- menentukan lama dan cepatnya perjalanan.
Apalagi bulan Juni 2023, hujan, mendung, terik panas tiba-tiba, disusul hujan sesaat berikutnya. Itulah cuaca yang kurasakan kala tinggal sebulan di pegunungan provinsi Sulawesi Barat.Â
Beruntung, kala mendaki ke Marano dengan motor, cuacanya terang. Sorenya baru hujan turun deras. Perihnya perjalanan, terbayar dengan panorama desa yang menakjubkan. Berikut kisah perjalanan dan tinggal 4 malam di sana.
Perjalanan Ekstrim dan Bernyali
8 Juni 2023 jam 09.00 WIT, mobil penjemputku tiba di penginapan kota Mamuju, Sulawesi Barat. Setengah jam kemudian, kami sampai di masjid Nurul Ikhsan, kelurahan Bebanga, kec. Kalukku, di pertigaan jalan poros Mamuju, menunggu ojek kiriman desa Marano.Â