Pagi di Jatinangor, kab. Sumedang, Jawa Barat, 28 April 2023, terasa sejuk nan cerah. Kawasan penyanggah kota Bandung, ibu kota provinsi Jawa Barat kian mempesona. Selain kontur pegunungan yang memanjakan mata, keberadaan perguruan tinggi negeri dan swasta, menjadikannya pusat keramaian baru warga sekitar dan Jawa Barat. Tak pelak, jalan tol telah tersambung dari Jakarta – Perbuelenyi – Cileunyi. Tiang pancang rel kereta Jakarta-Bandung berjejer di pinggir jalan tol, pertanda angkutan besi segera beroperasi.
Begitu kendaraanku keluar tol Cileunyi, pukul 09.00, keramaian menyemut. Motor, mobil pribadi dan angkutan umum berebut jalan yang kian menyempit. Pas, jalan menuju kampus IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negri), perlahan jalanan lenggang. Kini masih musim libur perkuliahan sehingga kesibukan civitas kampus belum mengeliat.
Kedatanganku pas sekarang. Hari ini, kami mengantar anakku mencari kos, karena ia seleksi SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi) di kampus berlokasi di sana. Mumpung penerimaan mahasiswa model SNBT (seleksi nasional berdasarkan tes) dan Mandiri belum mulai yang mendorong melambungnya harga kos, segera kami hunting.
5 menit dari kampus IPDN, kendaraanku menuju areal luas dengan rimbunan pohon laksana di areal hutan. Dua kampus negeri kebanggaan warga Jawa Barat terlihat berhadapan. Jalan membelahnya berkontur turun naik, menandakan kawasan ini berdataran tinggi dengan udara dingin pegunungan.
Pukul 10.00 siang, kami berhenti di pintu utama kampus. Lengang dan sepi. Sesekali kendaraan keluar dari dalam. Rimbunan pohon tumbuh di kiri dan kanan. Satuan pengaman (satpam) kampus mendekat. 2 orang berpakaian sipil – bercelana pendek dan sepatu cat -- berdiri di sampingnya. “Ada keperluan apa ya… bapak dan ibu?” Tanya satpam kepada kami. Istriku menjawab, “Begini, pak. Anak saya diterima di kampus ini. Ia hendak melihat-lihat kampus dan lokasi fakultas. Bisakan ya..?”.
Satpam meminta kami menunjukan KTP (Kartu Tanda Penduduk). Ia menulis nama kami di buku besar. “Ibu mau diantar ke fakultas, atau sendiri saja?”, sergahnya. Anakku secara spontan, setuju untuk diantar hingga ke fakultas.
Saya berfikir satpamlah pengantarnya. Ternyata, anak muda – yang berdiri disamping –memandu kami menuju fakultas dengan motornya. Anakku mengamati suasana dan gedung begitu sampai. Terlihat beberapa mahasiswa melakukan aktifitas penelitian di ruang laboratorium. Satpam fakultas menghampiri begitu kendaraan kami berhenti di areal parkir.
Di sinilah cerita bermula. Si pengantar membuka percakapan tentang rencana kos. Ia meminta no hp dan bersedia mengantar untuk mencari kos. Ia berbicara daftar kos dan harganya. Anakku tak mengiyakan tawaran itu, dan bilang hendak berkomunikasi dengan temannya yang kini sudah di sana. Sebagai tanda terima kasih, kami memberi tip kepada pengantar.
Secepatnya, kami menuju ke lokasi keluarga temen anakku berada untuk mencari bersama. Eh, tanpa sepengatahuan, orang (bercelana pendek) mengikuti kendaraan kami dengan sepeda motor. Kala kami berembuk bersama teman anakku, ia pun menyertai. Bahkan ia (beserta temannya) memberi usulan lokasi kos terdekat. Anakku bersama teman bersepakat menuju ke lokasi kos terdekat berada di seberang jalan raya. Melalui gang seukuran motor dua arah, kami menuju ke bangunan bertingkat berisi kamar kos. Beranekaragam dan tipe kos tersedia di sana.
Singkat cerita, orang ini (bercelana pendek) mengantar kami masuk-keluar gang menuju kos. Ada 4 tipe kos dimana ia menempel kami hingga saat bernegosiasi bersama pemiliknya. Sampai di sini, feeling kami belum pas dengan kos yang ditemui. Melihat raut kami belum sreg, sang pengantar berujar, “kami memiliki informasi lain. Tepatnya di daerah yang berkontur naik ke dataran atas. Kalau berkehendak, kami antar bapak dengan motor kesana”.