Di dunia energi, batu bara berperan penting bagi kehidupan manusia. Bayangkan, hampir 40 persen bahan bakar pembangkit listrik di dunia menggunakan batu bara (CNBC Indonesia, 13 Jan 2022). Namun pernah kah kita menoleh sejenak, bagaimana energi itu diolah dan dampaknya bagi masyarakat sekitar? Berikut ceritaku kala tinggal di desa dekat eksplorasinya.
Salah satu wilayah eksplorasi batu bara adalah desa Sempayau. Ia berada di kec. Sangkulirang, kab. Kutai Timur, prov. Kalimantan Timur. Letak dan topografinya unik. Kenapa begitu? Ia berada dekat perusahaan batu bara multinasional, yang disampingnya mengalir sungai besar penuh beraneka ragam ikan dan pohon bakau. Sungai ini berperan strategis. Alirannya dekat dengan bibir laut lepas. Sehingga, ia menjadi sarana pengangkut ribuan kwintal batu bara dari pengolahan perusahaan melalui kapal tongkang, ke negara tujuan importir. Video tentangnya tersebar di kanal youtube. Di sini, saya bercerita pengalamanku tinggal berhari2 disana, sejak April dan Mei 2022.
Luas lahan desa Sempayau 97,000 km2, yang terbagi menjadi; 2 dusun dan 6 RT, dengan 966 jiwa (data penduduk 2017 di RPJMDes 2017-2023). Kawasannya terdiri dari dataran dan pegunungan yang menghubungkan jalan dari Sangkulirang ke kec. Karangan dan kec. Kaubun. Desa memiliki tiga tipologi karakteristik sumber daya alam.
Pertama, kawasan hijau pegunungan. Kedua, pertanian meliputi dusun Sempayau dan dusun Damai, sebagai penyangga pertanian desa. Ketiga, kawasan perekonomian di  kawasan jalan tembus antar kecamatan. Desa ini berbatasan dengan desa lain seperti; Pengadan Baru, Kadungan Jaya, Bumi Etam, dan kec. Kaubun, serta kec. Karangan.
Untuk mencapai Sempayau (khususnya dusun Sempayau), kita melewati hutan sawit milik perusahaan besar yang dijaga palang pintu dan satpam. Hanya mobil pribadi yang diperbolehkan melintas gerbang. Satpam menyetop kendaraan besar seperti truk melintas, terkecuali milik perusahaan. Di dalam hutan, terdapat rumah bedeng kayu yang dihuni karyawan kebun. Profil rumahnya menyendiri di tengah hutan, terbuat dari kayu bertingkat. Persis rumah panjang. Ia berlokasi jauh dari keramaian.
Begitu masuk ke areal Sempayau, belantara hutan dan kebun dengan aneka vegetasi menyambut tamu. Dari kejauhan, saya melihat kerlap kerlip lampu perumahan di sebelah kirim jalan menuju dusun. Saya menyaksikan cahaya lampu bertebaran di tengah hutan. Lampu itu mengelilingi kawasan khusus, menyediri di tengah kebun dan hutan. Itulah mess pekerja perusahaan batu bara, begitu ungkap sopir mobil travel.
Ada dua moda transportasi untuk menuju ke Sempayau; bus dan perahu. Bus operasional sekolah dan kendaraan pribadi sebagai transportasi warga berpergian keluar desa. Sebelum ada jalan darat, masyarakat menggunakan perahu kayu dan mesin. Kini, warga jarang menggunakan, karena biayanya mahal (Rp 100 ribu per sekali jalan dari desa ke kota kecamatan).
Jam di tanganku menunjukkan pukul 18.30 WIT. Mahgrib menjelang petang 27 Mei 2022, tepat saya berada di gerbang desa. Pancaran lampu jalan dan rumah warga bersinar terang. Sejatinya, tak ada listrik dari PLN (perusahaan listrik negara) di sana. Kok suasana bisa terang? Ternyata desa mengandalkan listrik dari perusahaan, yang beroperasi dari pukul 18.00 sore hingga jam 06.00 pagi.
Aneh kan, kenapa listrik PLN tidak mengalirs ke sana? Padahal desa sekitar terang oleh PLN? Saya tidak mengerti bagaimana asal usul desa dan keberadaan perusahaan Batu Bara. Khabarnya, warga sedang bernegosiasi dengan stake holder terkait (terutama perusahaan) tentang tatakelola keberadaan kedua belah pihak. Kini, penduduk mengeluhkan dampak eksplorasi perusahaan.
Debu bata bara contohnya, menganggu pernafasan warga khususnya balita.Temannku dimana aku menumpang ngekos, pernah memeriksa telingga yang berdenging ke rumah sakit, di kota Kutai Timur. Kosannya berada persis di pinggir sungai yang dilalui kapal tongkang pengangkut batu bara. Bila air sungai pasang, kamarku bagai mengapung diatas air. Kembali ke pemeriksaaan kesehatan temanku, dokter berucap bahwa ada kotoran hitam di telinga. Temanku menduga debu batu baralah yang menumpuk di telinga (ini masih perkiraan).
Debu batu bara berwarna hitam pekat, dan tajam menembus berbagai lubang di tubuh manusia. Saat saya tinggal disana, pernafasanku terganggu. Sungai yang dirimbuni pohon bakau dan aneka tanaman, harusnya menyegarkan udara sekitar. Sayangnya, itu tak terjadi. Pagi hari, sedianya waktu pas warga menghirup udara segar di sampaing sungai. Namun, pernafasanku pengap dan hidungku mampet kala berdiri di dermaga mini sungai, yang berjarak beberapa meter dari timbunan batu bara.
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat wiraswasta, dan sebagian petani serta yang lainnya karyawan perusahaan. Selebihnya nelayan sungai dan pegawai negri sipil (PNS). Suku Kutai merupakan penghuni awal (asli) desa. Kini, berbagai suku seperti; Bugis, Sunda, Jawa, Banjar hadir berdampingan dengan warga asli.
Keberadaan perusahaan batu bara dekat desa, mendorong anak mudanya bekerja disana. Bahkan pemuda luar desa mengubah domisiki KTP demi bekerja di perusahaan.
Desa pun ramai dengan karyawan bermukim di kosan. Dampaknya, masyarakat membuka usaha, seperti katering, warung (makan, sembako dan sayur) dan kontrakan, merespon permintaan pasar.
Di pihak lain, jumlah nelayan berkurang karena tangkapan ikan menurun. Kelompok nelayan menengarai aktifitas pertambangan yang mencemari sungai penyebabnya.
Minggu, 29 Mei 2022, udara pagi segar dan sejuk menerpa dusun. Pasalnya, hujan lebat mengguyur Sempayau sejak semalam. Dampaknya, butiran debu yang mengotori daun dan mencemari udara, hilang berkat guyuran hujan. Di saat itulah udara terasa fresh nan menyegarkan.
Kala malam hadir dengan gemerlap bintang di langit, saya sering duduk termenung di dermaga mini sungai. Dari dermaga terlihat aktifitas perusahaan menumpahkan bara berwarna hitam ke kapal tongkang. "Tidak kah negara-negara pemanfaat batu bara berfikir dampak abunya bagi masyarakat sekitar", batinku meronta. Â Â
Sependek pengetahuanku, Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional) melalui direktur Lingkungan Hidup, gencar mendorong konsep ekonomi hijau untuk memperbaiki kualitas lingkungan, guna menaikan pendapatan per kapita penduduk dan mengurangi kemiskinan hingga tahun 2030 (Kompas, 8 Agustus 2022).
Di tingkat makro, penggunaan bata baru dan pengembangan perusahaan, sejatinya terkurangi dengan visi negara RI dalam mendorong terwujudnya ekonomi hijau 2030. Karena ke depan, industry global memiliki kesadaran untuk mengurangi emisi karbon dan bertransisi ke ekonomi hijau seiring tuntutan persaingan di rantai pasok. Makanya, perusahaan berusaha mendorong "dekarboniasi". Bila tidak, maka perusahaan yang tidak mengurangi emisi karbon sulit bersaing di rantai pasok dunia.
Sayangnya, di Indonesia terdapat 76 persen industry manufaktur masih menggunakan energi fosil (termasuk batu bara) untuk beroperasi. Rinciannya, konsumsi energi di sektor pengolahan berasal dari; sumber batubara (33 persen), gas (33 persen), energi listrik (23 persen), bahan bakar minyak (10 persen), dan elpiji (1 persen).
Diakui bahwa perusahaan memberikan CSR (corporate social responsibility) di bidang kesehatan dan pendidikan, ungkap salah satu tokoh masyarakat ke penulis. Misal, Â perusahaan memfasilitasi bus antara jemput bagi murid SMA dan SMP di kecamatan Kaubun. Akses internet di areal kantor desa yang berdampingan dengan bangunan SD memudahkan pembelajaran anak didik dan masyarakat.
Di sektor kesehatan; tersedia puskesmas pembantu, 1 unit posyandu, dan 1 unit rumah karantina. Lokasinya berada di jalan poros dan bidan desa siap melayani 24 jam, memudahkan warga.
Sayangnya, desa belum menyediakan mobil ambulan. Â Sehingga bagi warga yang jauh dari jalan poros, sulit mengakses fasilitas kesehatan dan 1 orang perawat yang melayani. Hal ini mendorong masyarakat berobat ke dokter di Sangkulirang atau langsung ke rumah sakit di Sangata (ibu kota kabupaten).
Apalah arti, sarana kesehatan dan pendidikan di Sempayau. Bila harapan hidup sehat warga terbatas. Ini karena udara di sana tercemar, menyebabkan pernafasan warga terganggu. Belum lagi anak muda paska tamat SMA langsung bekerja di perusahaan dengan posisi berhadapan dengan batu bara. Meski karyawan menggunakan kostum lengkap, namun debu yang mereka hirup berdampak bagi pernafasan di kemudian hari.
Saya berharap yang terbaik bagi warga Sempayau. Potensi desa wisata dan sumber daya alam lain -- selain batu bara -- juga tersedia. Wisata pulau seribu, madu hutan, hasil-hasil pertanian, perikanan, dsb, melimpah di sana. Semoga ini menjadi renungan semua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H