Kita terbiasa melihat dan mengkonsumsi Kacang Hijau (bhs latinnya vigna radiata) atau "mung bean", bahan pangan berprotein nabati tinggi. Ia bisa dibuat menjadi bubur kacang hijau, isian kue gandasuri, isian bapia patok, dsb.
Mari kita lupakan sejenak kacang hijau. Tanah Indonesia juga memiliki kacang warna lain. Nun jauh di kampung Seya, Distrik Mare, kab. maybrat, Papua Barat, ada jenis kacang-kacangan berpotrein tinggi berwarna Kacang Merah (red bean).Â
Masyarakat membudidayakannya turun menurun secara organik, tanpa pestisida yang ditanam di lahan tidur dataran rendah pegunungan secara liar. Menurut penelitian Balitbangda PAPUA, (2017), produk kacang merah tumbuh tersebar di Kabupaten Nabire Kepulauan, khususnya di Pulau Moor, provinsi Papua, dan kampung Saye, distrik Mare, kab. Maybrat, provinsi Papua Barat.
Kacang merah asal papua memiliki kandungan; pertama, kandungan Zat Besi yang merupakan sumber utama metabolisme dan energi tubuh. Kedua, kata serat sehingga memberikan rasa kenyang lebih lama dan cocok mengontrol berat badan dan menjaga kadar gula dalam darah dan memperlancar BAB.Â
Ketiga, mengandung Vitamin K dan B yang penting untuk Otak dan sistem saraf serta mencegah pikun (Alzheimer). Keempat, tinggi Magnesium yang membantu menurunkan kadar kolesterol jahat sehingga memperkecil stroke dan serangan jantung. Khasiat kacang merah asal Papua yang dikonsumsi rutin, bermafaat bagi kesehatan tubuh manusia.
Tingginya protein kacang merah menjadi alternatif makanan pokok dan alternatif pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable divelopment goal, SDGs) yaitu pencegahan kelaparan akut di tanah papua khususnya dan Indonesia secara umum.Â
Sayangnya, -- hingga tulisan ini dimuat -- kacang merah belum menjadi produk potensial pemerintah daerah/provinsi sebagai potensi sumberdaya alam yang dikembangkan ke depan (lihat visi dan misi di  website provinsi dan pemerintah kabupaten).
Beruntung, 25 November 2021 lalu, setelah 8 jam perjalanan dari bandara kota Sorong, melaui jalan ekstrem di tengah hutan, saya menggapai lokasi penghasil kacang merah.Â
Hutan lebat nan sepi dan beberapa jalan cukup untuk satu mobil, kami terabas di siang bolong. Bunyi binatang hutan jelas terdengar. Bila kami berteriak, maka suaranya bergema balik, seolah ada banyak suara menyahut.Â
Bila malam menjelang, maka tak ada yang satu pun kendaraan yang melintas di hamparan hutan itu. Begitu tutur Om Sam (bukan nama asli), driver mobil yang sering melintas lokasi ini. Konon, penduduk setempat pun menghindar perjalanan sore hingga malam.
Bahaya penodongan atau perampokan kelompok yang bersembunyi di hutan berpotensi menyerang ke orang yang lewat. Makanya, bila pendudukan atau orang yeng hendak melintas daerah ini terpaksan mengunap di kampung terdekat dibanding bermalam di perjalanan.Â
Baru-baru ini (saat tulisan ini disusun), terjadi kontak senjata antara kelompok sipil bersenjata dengan pasukan TNI di kab. Maybrath(Baca; Seorang Prajurit TNI Tewas dalam Baku Tembak dengan TPNPB di Maybrat). Hutan lebat nan sunyi dan luasnya pegunungan di Maybrath menggugah perasaanku dengan mengkaitkan seringnya kejadian baku tembak. Â Â
Meski begitu, Tidak hanya bayangan mengerikan mewarnai perjalan kami. Di beberapa titik panorama indah memanjakan mata kami sepanjang perjalanan. Salah satunya, perkampungan dihuni beberapa kepala keluarga (KK) dikenal dengan "kampung seni". Saung kecil dengan kursi dan meja berderet di pinggir sungai indah. Udara dan angin sejuk menggoyang-goyang rambutku. Pepohonan dan gemercik air sungai di depannya menyatu dengan semilirnya angin.Â
Masyarakat setempat menamai sungai itu dengan "kali ombak", karena memang disamping arus kali ada gelombang air mirip ombak. Di pojoknya, terdapat tumbahan air mirip air terjun dari pegunungan. Segar sekali airnya. Sejanak kami beristirahat dan berswafoto. Saya yakin, bila sore menjelang, anak-anak penduduk sekitar bersuka cita berenang di sana. Â Â
Pukul 15.30 sore, kami sampai di tujuan. Adalah kampung SEYA, distrik Mare, kab. Maybrat, Papua Barat, dimana hamparan tanah menjadi lahan subur kacang merah berkembang biak.Â
Infrastruktur jalan menuju kampung, bergelombang dan berbatu serta rusak di sana sini. Jalanan cukup dilalui satu mobil di tengah rimbunan hutan. Ada jalan tembus dari kampung Komdif ke Seya, namun saat itu sedang rusak karena longsor hujan.
Di kampung Seya terdapat sarana pusksemas dan rumah bidan desa. Namun begitu, sekolah dasar berlokasi di kampung Komdif, sehingga murid desa harus berjalan kaki ke sana melalui jalan hutan setengah hari berjalan kaki.
Langit sore mendung. Gelap sekali. Aneh memang, padahal semenit kami sampai, panasnya menyengat bagai di panggang api. Hujan turun lebat tanpa sepasi. Akibatnya, kami bisa menggunakan air untuk bersih-bersih dan membasuh muka. Dibantu penerangan solar sel, sepanjang malam, kami berbincang dengan penduduk setempat tentang bagaimana budidaya kacang merah ke depan; menguntungkan petani, berdaulat pangan, gotong royong, lestari, adil, dsb. Berikut point obrolan sepanjang malam disana.
Masyarakat menanam kacang merah secara turun menurun di lahannya. Lambannya penjualan produknya ke konsumen dan kecilnya hasil bagi petani, menjadikan kacang merah hanya ditanam 15 KK dari 80 KK berdiam di kampunng Seya. Padahal, lahan tidur dan perkebunan  untuk kacang merah terbentang luas.
Sementara kebutuhan air besih, masyarakat mendapatkannya dengan menampung air hujan. Kini, pemerintah desa sedang mencoba mengalirkan air dari sungai yang berjarak beberapa kilo meter ke kampung.Â
Untuk penerangan, masyarakat mengadalkan solar sel, sehingga listrik mengaliri penduduk waktu tertentu, yaitu malam hari. Namun sambungan internet terkoneksi baik, karena tower Bakti Kominfo berdiri di sana.
Apa dampaknya bagi tanaman kacang merah? Budidaya kacang merah ternyata tidak terganggu. Ia tumbuh subur di lahan kering dan tidak banyak membutuhkan air.Â
Petani kampung Saye mengelola lahanya dengan pola pertanian mandiri di lahannya. Penanaman dan pemanenannya belum diatur pola pertanian yang baik sesuai kalender musim, guna mengantisipasi stok berlebih saat panen dan kestabilan harga.Â
Gudang penampung dan penjemuran kacang merah belum tersedia dan masih menggunakan halaman rumah, sehingga berpotensi membusuk bila panen melimpah dan tidak ada sinar matahari. Organisasi petani pun belum terlintas di benak petani. Initnya, mereka butuh peningkatan kapasitas dalam budidaya dan managemen hasilnya.
Malam pun makin larut. Keasyikanku ngobrol bersama petani lokal tak menyadarkan akan keletihan badanku karena perjalan sepanjang hari. Akhirnya aku pamit untuk istirahat kepada petani lokal dan anaknya.Â
Saat menjelang tidur malam, pikiranku melayang dan serasa sedang berbaring diatas bumi kaya sumber daya alam, yang menunggu diolah. Ayo bangun bumi Papua...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H