Pandemi Covid-19 makin menggila. Angka perkawinan anak ikut terkerek. "Ada potensi 19 juta perkawinan anak di masa pendemi secara global dan Indonesia penyumbang besar", ungkap Misiyah, direktur Institut KAPAL Perempuan, saat talk show virtual peluncuran Surat Edaran Gubernur Sulawesi Barat No. 12 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Anak di Sulawesi Barat, Â 30 September 2020. "Makanya kolaborasi semua pihak wajib dengan hati. Bahwa terjadi "lost generation" bila kita tak sigap", lanjutnya berapi-api di acara yang didengarkan150 an pendengar dan seluruh kepala dinas dan Bupati seSulawesi Barat.Â
Sebelumnya, ibu I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga, SE, M.Si, menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia mengakhiri pidato kunci, "Anak terlindungi, Indonesia Maju," seolah mengkofirmasi kedaruratan.
Provinsi ini "alarm" perkawinan anak. Secara nasional, angka perkawinan anak di Sulbar nomor 3 tertinggi Indonesia. Akibatnya angka IPM (Indek Pembanguna Manusia) bertengger 65,1 persen atau keempat terbawah Indonesia, dan angka stunting (tinggi pendek badan) kedua tertinggi.
Makanya, Insitut KAPAL Perempuan bersama Kartini Manakara Sulbar, YKPM-Sulsel didukung EM 2030, sejak 12 Mei 2018 menginisiasi dialog berbagai pihak seperti; tim penggerak PKK Sulbar, tokoh agama, perguruan tinggi, anggota dewan, pemerintah daerah (pemda), masyarakat, hingga mengasilkan deklarasi "stop perkawinan anak". Bahan ini materi audiensi masyarakat kepada Gubernur. Penggalian data perkawinan anak secara kwalitatif di desa Kalepu, memperkuat dialog intensif multipihak dengan pemda. Hingga akhir 2019, terbit Surat Edaran Gubernur Sulawesi Barat No. 12 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Anak di Sulawesi Barat. Â
 Dihadapan ibu Mentri, berbagai kalangan berjanji membumikan surat. Contohnya, Halima pimpinan Aisyiyah Mamuju, Sulbar bertekad mendukung pencegahan perkawinan anak demi masa depannya, agar memperoleh pendidikan dan kesehatan yang baik. Indo Upe, kepala desa Kalepu, berkata "sejak 2019 saya merencanakan anggaran desa untuk menstop perkawinanan anak secara partisipatif. Saya berkomitmen untu stop perkawinan anak melalui program dan pengaggaran desa. Tahun ini saya memasukannya di perecanaan anggaran desa bagi penguatan kapasitas tim satuan tugas pencegahan perempuan termasuk perkawianan anak yang meningkat saat pandemi".  Â
Surat edaran laksana embun di padang pasir. Semenjak Pemerintah RI mengeluarkan UU No.16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 tentang perkawinan yang menaikan batas usia menikah minimal 19 tahun, belum banyak upaya membumikan. Sehingga angka perkawinanan anak nasional masih tetap tinggi. Menurut catatan angka dispensasi kawin Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama (Badilag), terdapat 33.664 kasus dari Januari - Juni 2020. Angka ini meningkat dibandingkan catatan kasus 2017 berjumlah 13.095 perkara, dan 13.815 perkara tahun 2018, serta 24.864 perkara tahun 2019.Â
Pemerintah RI melalui Bappenas dan KPPPA (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) melakukan berbagai inisiatif pencegahan perkawinan anak dalam RPJMN (Rencana Program Jangka Menengah Nasional) 2020-2024 dan Strategi Nasional (Stranas) Pencegahan Perkawinan anak. KPPPA mendorong berbagai program pencegahan melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) dan pembinaan forum anak dan fasilitatornya, sebagai sarana komunikasi dan interaksi antara pemerintah dengan anak di daerah.Â
Inisiatif kelompok masyarakat pun bermunculan di berbagai daerah. Contohnya apa yang dikerjakan Elis Setyowati, koordinator sekolah perempuan desa Sumbergede, kab. Gresik, yang  menyuarakan di forum desa untuk membuat peraturan desa (perdes) penghentian perkawinan anak. Suara yang berangkat pengalaman penyakit rahimnya yang disebabkan menikah dini, direspond aparat desa. Pengalaman senada dialami Darma, anggota sekolah perempuan pulau Kulambing, kab. Pangkep, Sulawesi Selatan yang berhasil memaksa kepala desa mengeluarkan perdes penghentian perkawinan anak. Ia adalah korban perkawinan anak, yang menjadi survivor di pulau.
Di Lombok Timur, sekolah perempuan "menjemput bola" penanganan empat kasus perkawinan anak, 31 Juni 2020, di desa Sukadana, kec. Bayan. Penanganannya terbantu karena melibatkan tokoh adat. Berkat pembelajaran di sekolah perempuan, ibu Saraiyah, anggota sekolah perempuan berhasil menjadi Majelis Keramah Adat Desa (MKAD). Ia mempengaruhi keputusan majelis adat guna menghapus kekerasan terhadap perempuan dan perkawinan anak. Kini, aturan adat mengadopsi pencegahan perkawinan anak.
Berbagai praktek baik dan inisiatif pemda Sulbar dalam pencegahan perkawinan anak semoga menginspirasi provinsi lain. Khususnya provinsi paling tinggi jumlah angka perkawinan anak, seperti; pKalimantan Selatan berjumlah 21,2 % dan Kalimantan Tengah 20,2 %, peringkat ke satu dan dua secara nasional. Semoga...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H