"Saya tinggal di daerah kepulauan. Sumberdaya lautnya melimpah. Berbagai macam ikan dan rumput laut terhampar di berbagai sudut laut. Apa yang bisa saya lakukan dengan sumber daya laut ini?", ungkap Sarmine, biasa disapa Mine, saat membuka presentasi ide bisnis di hadapan komentator, akhir pelatihan kewirausahaan pemuda, pertengahan Januari 2020, di Kendari.
Mine bercita-cita membangun usaha "mie rumput laut". Ia adalah mahasiswi semester VII, jurusan Teknologi Pangan, Universitas Haleuleo, dan penduduk asli Wakatobi, Sukawesi Tenggara. Daerahnya terdiri dari 4 pulau besar; Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Menurutnya, sekitar rumahnya, rumput laut tersebar di laut sejauh mata memandang. Beruntung, ia berkuliah di universitas yang memiliki lab pangan. Berkat bimbingan dosen, ia meneliti rumput laut untuk dikembangkan berbagai produk. Hingga, ia menemukan mie dari rumput laut yang memiliki 70% kandungan serat, non bahan pengawet, dan minim garam. Berbeda dari mie dari tepung terigu secara umum.
Ide bisnis Mine menarik diperbincangkan di tengah ramainya pembahasan RUU Cipta Kerja. Publik terkonsentrasi pada debat antara pemilik perusahaan dan buruh. Pemodal perusahaan bersorak. Buruh merangsek bernegosiasi. Di sisi lain, pemerintah RI mempercepat demi investasi. Ya, inilah kata favoritnya. Demi investasi pula, pembangunan SDM (sumber daya manusia) fokus periode kedua Presiden Jokowi. Bagaimana SDM Indonesia mampu mengisi pasar kerja. Sesimpel itukah UU Kerja dan pembangunan SDM?
Menurutku lebih dari itu. Kerja dan pembangunan SDM guna merespond investasi satu hal. Sisi lain, makna pembangunan SDM dan "kerja" bagi jutaan penduduk usia produktif Indonesia bermakna luas. Sekaya dan beranekaragam budaya dan wilayah Indonesia.
Pengalamanku bersafari memfasilitasi kewirausahaan 200an anak muda Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara menggambarkan kekayaan cerita. Dari kab. Barru, Pangkep dan Maros (Sulawesi Selatan) hingga kota Kendari, dan kab. Wakatobi, selama Desember 2019 -- Januari 2020, saya bersama tim ASPPUK, didukung OXFAM, Kemensos dan pemda setempat, mengasistensi anak muda menemukan ide, menyusun perencanaan dan menjalankan usaha. Berikut ceritanya.
Perjalananku menggambarkan tingginya hasrat anak muda "menciptakan" kerja. Ini sesuai survei kewirausahaan 2019 (The Asia Pacific Entrepreneurship Insights Survey 2019) Herbalife Nutrition yang menyebutkan orang Indonesia berhasrat kuat berwirausaha. Tujuh dari 10 orang (sekitar 71 %) berangan-angan memiliki usaha sendiri (Berita Satu, 14 Agustus 2019). Sayang, keterbasan tempat dan anggaran, hanya 35 pemuda yang ditampung di setiap pelatihan. Padahal anak muda lain berhasrat ikut pelatihan. Ini mencerminkan minimnya program sejenis di pulau pemilik sumberdaya laut di Kawasan Timur Indonesia.
Revolusi digital betul-betul membuat anak muda (khususnya 2 provinsi) hamper tidak berbeda dengan daerah lain dalam mengakses informasi. Tekhnologi Andorid di hand phone menghubungkan anak muda dengan berbagai kesempatan dan peluang.
Gambaran itu, terlihat dalam penggalian ide bisnis. Idenya menjulang tinggi dan ambisius. Setelah kami asistensi secara "smart" (specific, measurable, achievable, realistic, dan time bond), bisnisnya makin sesuai pasar dan bernilai 3 P (planet, people dan pfofit). Di akhir, peserta mempresentasikan rencana usaha (bisnis plan) dengan "bisnis model canvas" (BMC). Ada 100 an lebih bisnis plan dari pemuda. Saya yang tinggal di daratan -- terkadang -- tak bisa membayangkan idenya. Mereka menciptakan usaha berdasarkan sumber bahan baku daerah. Aneka ikan, rumput laut, dan hasil hutan serta pertenakan, menjadi mutiara bahan baku usaha. Mie rumput laut contohnya.
Beragam ide bisnis brilian, saya dan tim mengasistensinya dengan; ketersediaan bahan baku, jalur distribusi, keahlian, strategi pasar, jejaring mitra, rencana keuangan, dsb. Hampir 70% bisnis plane anak muda "matang". Saya perkirakan produk "mie rumput laut" misalnya, sukses. Ini karena didukung potensi Wakatobi bervisi daerah wisata.
Tahun 2020 -- 2030 Indonesia memasuki bonus demografi, dimana anak muda menumpuk. Sementara lapangan kerja formal, seperti; peluang perusahaan, PNS, TNI dan polri terbatas. Sekuat-kuat pemerintah menarik investasi (luar negri dan dalam negri) pengungkit ekonomi, sulit menutupi lubang pengangguran. BPS mencatat 133,56 juta angkatan kerja di Indonesia per Agustus 2019. Sebanyak 126,51 juta orang bekerja, selebihnya 7,05 juta orang menganggur, termasuk pemuda. Â
Meski perekonomian RI 2019 tumbuh 5,02 persen, namun ketimpangan jelas terlihat. Produk domistik regional bruto Jawa tumbuh 5,52 persen atau berkontribusi 59 persen terhadap perokonomian Indonesia. Namun wilayah Kawasan Timur Indonesia, terutama Maluku dan Papua hanya minus 7,4 persen (Kompas, 8 Februari 2020). Di sinilah arti penting pembangunan SDM, tidak melulu demi investasi. Namun bagaimana anak muda mampu menciptakan kerja sesuai sumberdaya alam daerah.
Dalam buku "Sain untuk Biodiversitas Indonesia", disusun Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) (Kompas, 12/11/2019), Indonesia memiliki potensi akifitas ekonomi berbasis sumber daya hayati yang berkelanjutan. Diantaranya; ekowisata, bioprospeksi untuk penggalian obat dan bioenergy, serta eksplorasi laut dalam. Di sektor pangan, Indonesia memiliki 77 jenis pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 77 jenis buah-buahan, 75 jenis sayur-sayuran dan 26 jenis rempah dan bumbu untuk aneka masakan dan obat-batan herbal (Kehati, 2019). Sebagian sumberdaya alam berada di Kawasan Timur Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H