Masih ingat, kelaparan yang menimpa 113 warga Yahukimo, Papua, hingga meninggal akibat kekurangan gizi, dari Januari hingga Agustus 2009? Bahkan bencana serupa telah menimpa 55 orang meninggal di 2005 (liputan 6, 6/9/2009).Â
Menurut Pak Bupati, sebab kematianya, karena makanan umbi-umbian (sebagai sumber pangan) habis dan masyarakat belum sempat menanam. Padahal catatan Jonathan Lassa, penulis desertasi "Politik Pangan dan Bantuan Pangan: Studi Kasus Indonesia 1950-2003", (Kompas 12/12/2005) terdapat 21 jenis pangan local sebagai lumbung saat krisis namun belum tersentuh kebijakan lokal.Â
Ini diperparah kebijakan swasembada beras nasional yang perlahan, porsi beras menjadi hampir 20% dari total konsumsi rumah tangga penduduk. Perpindahan dari pangan "ethno-food" seperti hipere (ubi jalar) ke beras makin memiriskan situasi. Akhirnya, beras selalu dihadirkan dari luar daerah Yahukimo untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daerah. Â Â
Intinya, jangan main-main dengan pengelolaan pangan. Nyawa taruhannya. Ini karena, manusia hidup tidak lepas dari pangan. Pangan menjadi kebutuhan dasar makhluk hidup. Pangan seperti sudah menjadi "sunnah ilahi" (hukum alam). Sebab ia merupakan sumber energy roda kehidupan dan tumbuh kembang manusia. Hidup alpa pangan seperti  kemustahilan, karena pangan merupakan hidup itu sendiri.
Peristiwa kelaparan Yahukimo tamsil nyata satu wilayah di Indonesia. Dalam istilah Amartya Sen, ekonom penerima nobel, ketiadaan akses (entitlements) warga Yahukimo terhadap pangan menjadi sumber kelaparan berakibat maraknya penyakit dan kematian. Tak terkelolanya system pangan (beserta asupan kecukupan gizi) yang masuk dalam tubuh manusia, lahan subur aneka penyakit.
Aneh bin ajaib. Indonesia negri agraris dengan curah hujan tertinggi di dunia menjadikannya kaya akan aneka sumber pangan. Setidaknya ada 77 jenis pangan yang memiliki sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 77 jenis buah-buahan, 75 jenis sayur-sayuran dan 26 jenis rempah dan bumbu untuk aneka masakan dan obat-batan herbal (Kehati, 2019).Â
Sayangnya, ditengah guyuran kuantitas pangan, berbagai penyakit tidak menular terkait dengan pola makan (dietary risk) yang sering menjadi factor resiko kematian dan kecacatan, seolah mengiringi penduduk tanpa henti. Contoh lain, aspek pre-DM (diabetes mellitus) yang disebut ahli gizi sangat erat hubungannya dengan pola konsumsi. Â Â
Sampai disini, perlahan kita memahami bahwa urusan pangan menembus sekat kementrian dan sektoral. Berbicara pangan, kita tak lepas dari rentetan proses, yang sering disebut "Daur Hidup Pangan" (food life cycle), meliputi; ketersediaan lahan pangan, pengambilan & konservasi dan pembudidayaan, pemrosesan & pengemasan, penyimpanan & pencadangan, logistik & distribusi, konsumsi dan paska konsumsi (Draft konsep Pangan Bijak, EU, Hivos, ASPPUK, WWF, AMAN Nusantara, NTFP-EP, 2019).
Nah, bila kita lihat seksama apa yang terjadi sekitar kita? Miris. Tantangan alam dan khususnya manusia di area "pasca konsumsi" mempertontonkan timbunan makanan sisa (food waste) pada tahap konsumsi. Sebenarnya, sebelum itu, sumber daya pangan juga bisa hilang di setiap tahapan daur hidup pangan sebelum konsumsi, dalam bentuk kehilangan pangan atau istilahnya "food loss".Â
Cobalah anda perhatikan di banyak restoran lokasi dimana manusia membuat hajatan makan bersama. Terhampar tumpukan makanan yang bisa menjadi makanan sisa (food waste) yang berujung sampah atau produk daur ulang. Terkadang manusia hanya berfikir saat menkonsumsi, namun abai paska komsumsi, khususnya dalam tahap food loss.
Berbagai kelompok kepentingan berupaya membangun pola pangan yang baik. Salah satunya, apa yang sedang digagas, ASPPUK, WWF Indonesia, AMAN, NTFP-EP, Hivos dan Uni Eropa dalam mempromosikan sistem pangan lokal, adil, sehat dan lestari atau disebut dengan "Pangan Bijak Nusantara".Â
Wilayah percontohannya tersebar di; 14 kabupaten di 8 propinsi (Sumatera Utara, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan), dan 5 Kota (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan, Makasar).
Ayolah kita bergandeng tangan. Saat kita berhadapan dengan pangan, berfikirlah menyeluruh. Artinya, daur hidup pangan harus tertancap di alam sadar manusia, guna bijak mengkonsumsi pangan, demi kelestarian for sustainable life. Mulai dari sekarang...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H