Parah. Kata yang pantas kuungkapkan di kepergianku kali ini.
Negara Brasil, Amerika Latin, kedengarannya mengasikan. Harusnya memang begitu. Apalagi ini merupakan kali pertama, aku mengijakkan kaki ke bumi pemain sepak bola tumbuh bagai jamur. Kekesalan hadir berulang kali saat menjelang kepergian ke Negri sang legenda bola, Pele. Begini ceritanya…..
Kekesalan bermula sejak pengurusan visa. Aku mendapat undangan ke Brasil, Selasa, 19 April 2016 untuk menghadiri acara tgl 3-6 Mei 2016. Kontan, aku segera memproses visa di kedutaan besar Brasil, Jakarta. Untung aku tinggal di Jabodetabek. Bila bermukim di luar Jawa misalnya, hadeeh. Kanal website keduataannya, aku baca berkali-kali. Bagaimana pembuatan visa, dan berbagai persayaratan yang harus dipenuhi. Di situ tertulis bahwa pengajuan visa turis wajib melalui on line, dan dilanjutkan penyerahan dokumen.
Hal penting sebelum apply visa adalah pas foto standar visa-brazil. Dalam persyaratan – seperti tertulis di web kedutaan -- menginformasikan berbagai cara dan contoh photo standar.
Hari Rabu, 20 April pagi hari, saya bergegas ke studio foto di jalan Sabang, Jakarta pusat – menurut info, di situlah pembuat photo visa. Singkat kata, saya berfoto di sana. Sorenya, saya mendaftar visa online di web keduataan. Alhamdulillah. Saya berhasil mengisi semua syarat dan tertulis “diterima”. Accepted. Sebagai bukti keberhasilannya, muncul tulisan bahwa semua dokumen sedang di proses dengan bukti tanda print kalau saya telah mendaftar. Appesnya, kala itu, saya tidak memperhatikan perintah bahwa setelah apply, saya harus menyertakan dokumen lainnya untuk diantar ke kantor kedutaan. Sambil ongkang-ongkang kaki, di sela mengerjakan tugas kantor, saya mengecek perkembagan dokumen melalui website an-sich.
Hingga akhirnya, Senin sore 25 April, pihak kedutaan belum memberikan updated perkembangan. Telpon kedutaan tentang visa yang kutunggu tak kunjung datang. Sekali lagi, saya cek perkembangan visa melalui webnya. Tertera di “kanal pengurusan visa”, visaku sedang dalam proses “review”. Belum beranjak ke tahap selanjutnya.
Sampai detik itu, hatiku ragu dengan informasi tersebut. Iseng-iseng aku WhatsApp (kontak) kawanku yang sama-sama berangkat ke Brazil tentang kondisi visanya. Dalam percakapan, ia bilang bahwa travel agen (yang mengurus visanya) segera membawa dokumen tertulis ke kedutaaan, Selasa 26 April. Syahdan, informasi ini membuatku bertanya dalam hati. Apakah ada kewajiban semua dokumen harus dibawa ke kedutaan meski kita sudah mendaftar on-line. Segera aku membaca persyaratan di web kedutaan kembali. Pelan-pelan aku “pelototi” instruksinya. Benar. Semua dokumen harus aku (sebagai pendaftar) serahkan sesuai pendaftaran on-line ke kedutaan.
Selasa pagi mendung. Gerimis turun pelan-pelan. Segera aku ke kedutaan Brasil dengan membawa dokumen yang dikirim on-line. Jam 09.00, aku sampai di kedutaan, yang terletak di Gedung Mulia, lt 16, jalan Gatot Subroto, Jakarta. Sesampainya, empat orang menunggu giliran di loket visa kedutaan. Di depanku seseorang “pemohon” visa berdialog dengan petugas visa keduataan berwarga Indonesia.
Petugas itu terlihat marah-marah kepada pengaju visa yang – mungkin – tidak lengkap. Petugas menyatakan bahwa pemohon visa tidak bisa buru-buru begini. Minimal waktu pengajuan visa membutuhkan 1 minggu hari kerja, begitu kira-kira umpatan sang petugas. “Wah….makin tipis nih kesempatan ajuan visaku,” keluhku dalam hati di sampingnya. Singkat kata, petugas memberi penekanan syarat yang harus dilengkapi pemohon.
Aku termanggu mendengar pecakapan tadi. Eh tiba-tiba aku dipanggil untuk maju ke loket visa. Dalam percakapan melalui jendela kecil, aku sertakan dokumen resmi yang kuajukan on-line dan copy print penerimaan. Tiba-tiba ia bilang, “Bapak mau ke Brazil. Ngapain!! Mau bekerja ya…” Spontan aku kaget. Hatiku berujar,”Apa ada yang salah dengan tampangku kala itu? Apa tampangku seperti kuli bangunan yang mencari kerja di Brazil seperti yang biasa di”stigma” petugas negara selama ini. Huh….kok begitu pandanganya ya….”
Dengan kesabaran yang ditahan, aku serahkan dokumen dan surat organisasi (kantor or lembaga) Brazil yang mengundangku di eventnya. Dengan nada sopan, saya meminta dia membacanya dahulu dokumen dan surat undangan. “Dokumen bapak sedikit sekali. Kurang ini. Kalau ingin berangkat ke Brazil, anda harus melengkapi berbagai dokumen lain”, begitu tambahnya.
Sambil berkata dengan nada tinggi, perlahan ia melihat-lihat dokumen dan surat undangan. Sampai akhirnya, ia berhenti sejenak. Dan akhirnya, ia memintaku untuk menunggu sebentar dengan tune nada melemah.
Ia masuk ke dalam ruang kantor dan memanggil staf kedutaan berwarga negara Brasil asli. Beberapa menit, keluarlah perempuan Brazil berambut ikal. Dengan ramah ia bertanya kepadaku, kapan pesawat anda take off ke Brazil. Aku menjawabnya bahwa organisasi Brazil merencanakan keberangkatanku bersama teman, Senin malam, tgl 2 Mei 2016 (bisa juga jadinya tgl 3 Mei dini hari). Akhirnya ia bilang, anda harus melengkapi dokumen seperti; kwitansi hotel di Brasil, tiket reservasi pesawat, dan surat pengantar kantor Indonesia.
Perempuan itu memintaku untuk berkirim surat ke organiasi Brazil guna melampirkan dokumen tersebut secepatnya. Selambat-lambatnya, kantor kedutaan menunggu hari Selasa, tgl 27 April 2016 (besok harinya). Ia meyakinkanku untuk berusaha mengeluarkan visa tepat Senin pagi, 2 Mei 2016. Sehingga malamnya, saya bisa langsung pergi ke Brazil. Di akhir percakapan, sang perempuan bilang kepada petugas Indonesia untuk mengurus visaku dengan baik, sampai aku mendapatkannya. “Edan….Mepet banget”, hatiku berteriak.
Hatiku lega. Namun juga dag dig dug. Apakah aku bisa memenuhi semua persyaratan dalam waktu mepet?
Secepat itu, aku dan temanku berkomunikasi intensif dengan pengundang di Brasil. Inti komunikasinya, meminta semua dokumen yang diminta kedutaan Brasil di Jakarta. Selain dokumen yang diminta, aku mendesak pengundang untuk berkirim surat kepada kedutaan Brasil di Jakarta untuk mempercepat proses visa paling lambat hari Senin pagi, 2 Mei 2016.
Singkat kata, semua dokumen bisa selesai pada Selasa, 27 April 2016, jam 09.00. Hari itu, aku memantau perkembangan komunikasi dengan pengundang Brasil semenjak pagi di depan computer dan smart phone guna mendapatkan itinerary pesawat dan copy kwitansi hotel di Brasil. Begitu, email dokumen masuk di jam itu, segera aku print, dan membawanya ke keduataan Brasil.
Begitu sampai, petugas kedutaan berwarga Indonesia menyambut. Kebetulaan, saat itu suasana kedutaan lengang. Aku serahkan semua dokumen. Sang petugas membaca-baca sebentar, dan melihat kelengkapannya. Ia bertanya lagi. Dan ini juga yang membuatku kaget. “Pasport kamu baru ya. Terlihat di passport kamu baru ke Malasyia. Emang, kamu sudah pernah ke Brasil sebelumnya?”. Aku jawab belum. Dan aku tambahkan bahwa dipasport lamaku tertera jadwal travellingku. Ia bertanya lagi, “Kenapa passport lama anda tidak diserahkan di sini juga?”. Aku terdiam (dalam hatiku berguman, “Bukannya pasport lama sudah digunting sama imigrasi..”).
Ia bertanya lagi, “Sudah kemana saja anda sebelum ini?”. Saya jawab, saya pernah ke Gana tahun 2009, Budapest tahun 2011, dsb. (Hatiku berujar, kenapa kok kesannya aku (sebagai warga Indonesia) ga boleh kemana-mana ya. Aneh nih...). Di akhir percakapan – yang menurutku basa-basi petugas – ia berujar, “Baik lah. Semua dokumen saya terima dulu. Anda harus membayar uang visa sebesar 80$ di lantai bawah di bank BCA.”
Sekembali dari bank BCA, sang petugas memberi penutup percakapan yang membuat hatiku belum yakin seratus persen terhadap visaku. Ia berucap bahwa ia tatap menulis pengambilan visaku di 4 Mei 2016, meski di tanggal 2 Mei pagi, saya diminta untuk menelponkedutaan untuk memastikannya. Gubrak……Bila visaku selesai 4 Mei (hari Rabu), berarti tiketku hangus dan tidak jadi pergi.
Namun begitu, aku tetap yakin bahwa visa keluar Senin, 2 Mei, pagi hari. Selepas dialog itu, aku berkirim surat melalui email kepada penyelenggara di Brazil tentang dialog singkat di kedutaan. Intinya, aku meminta lembaga di Brazil – selain berkomunikasi telpon – mengiirim surat resmi dengan bahasa portugis tentang pengeluaran visa 2 mei 2016, pagi hari adalah hal mutlak.
Sebab, tiket penerbanganku Senin malam hari. Alhamdulillah. Pengundang di Brasil sigap menanggapinya. Ia berkirim surat resmi dengan bahasa nasionalnya. Di hari Jum’at 29 April, ia berkirim email lagi bahwa kedutaan Jakarta memastikan untuk mengeluarkan visa tepat di hari senin, 2 Mei 2016. Lega rasanya. Meski belum seratus persen, karena visa belum di tangan, dan kedutaan Indonesia belum menelpon kami tentang perkembangan visa.
Senin, 2 Mei 2016. Hingga hari itu pihak kedutaan tidak menelponku tentang visa. Aku ragu, walau ada kepastian dari lembaga pengundang di Brazil. Keyakinanku menebal, karena tiket keberangkatanku menunjukan waktu 24.000 malam, 2 Mei, sudah diemail dan tersimpan di smartponku. Pagi itu, aku mempunyai acara di musium nasional, di jalan Merdeka, Jakarta Pusat, kawasan Monas.
Semua perlengkapan traveling tertata di koper besar. Dengan keyakinan tinggi aku berangkat ke musium bersama tas koper dan tiket ke Sao Poulo, Brasil. Tepat pukul 13.00 siang, saya pergi ke kedutaan untuk mengambil visa. Alhamdulillah, begitu sampai di sana dan menunjukan surat tanda pengambilan visa, sang petugas langsung menyodorkan pastport dan visanya. Aku diminta tanda tangan di buku pengambilan. Lega hatiku….Aman….
Tepat pukul 18.00, dengan bus way aku bertolak ke stasiun Gambir sambil menenteng koper besar untuk naik bus Damri ke bandara SOETTA. Sedikit rame di bus way – karena memang jam sibuk --, namun aku bisa masuk bus bersama koper besarku. Sesampai di Gambir, aku menenteng koper ke lokasi damri. Sedikit capek memang. Namun ini jalur ke bandara yang murah dan bebas macet..
Setelah makan malam di restoran Padang di ujung terminal D international, aku mengantri check-in di kantor pesawat Qatar Airways. Ya, itulah nama pesawat yang mengantarku ke Sao Paulo Brasil melalui bandara Doha (untuk transit).
Tertulis dalam tiket dan boarding pas, bahwa pesawat take off pukul 00.35 malam. Namun hingga jam segitu, saya belum melihat ada tanda-tanda papan pengumuman maskapai untuk memberangkatkan penumpang. Tiba-tiba suara pengeras mengumumkan bahwa karena ada masalah teknis, pasawat terlambat sekitar 45 menit. Huh…cepek hatiku. Kantukku mulai menyergap. Penumpang lain gelisah. Mereka segera mendekati pusat informasi untuk menanyakan kejelasan keberangkatan.
Hingga akhirnya petugas memberi tahun bahwa perlu waktu 2 atau 3 jam untuk perbaikan pesawat. Semua penumpang kecewa. Mereka kesal dengan kejadian ini. Aku pun begitu. Karena dingin, aku mengambil selimut dan pergi ke luar dari ruang tunggu. Di sana banyak penumpang Qattar Airways yang berlalu lalang dan tidur di kursi panjang. Kasihan….
Hingga akhirnya tepat pukul 03.30. maskapai Qatar Airways mengumumkan bahwa pesawat tidak bisa terbang malam itu. Gubrak….kesal hatiku untuk sekian kali.
Rasa kantuk yang tadi menyergap, kini hilang seketika. Terpaksa, aku harus bergegas mengurus penerbangan alternative. Semua penumpang diminta untuk mengurus emigrasi dan mengambil koper masing-masing dan melapor ke petugas Qatar Airwayas untuk penerbangan alternative.
Kesal. Dongkol. Semua campur aduk. Pagi yang seharusnya aku tidur lelap di dalam pesawat, kini masih sibuk antri dengan penumpang lain guna mencari alternatif pesawat ke Sao Paulo. Setelah bernegosiasi dengan petugas maskapai, akhirnya saya dan teman dialihkan ke pesawat Singapore Airlane (SQ) yang kebetulan memiliki jam penerbangan sama. Tepatnya SQ hari itu take off pukul 09.00 pagi, 3 Mei 2016, melalui transit Changi Airport (Singapura). Dari situ, sambung ke Frankfurt (Jerman), kemudian lanjut ke Sao Paulo. HUUUH…Marem banget….dan sempurna capeknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H