Mohon tunggu...
Ikedian Puspita
Ikedian Puspita Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga

suka selfie, moto hidup : selalu bertumbuh, be positive, be you

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Shinta Obong

4 Juni 2021   10:39 Diperbarui: 4 Juni 2021   10:52 2255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shinta Obong, www.deviantart.com/lituhayu/art

*Sebuah Tafsir

Kisah Roman Ramayana merupakan salah satu kisah cinta yang tak lekang oleh waktu. Dari masa ke masa, dari jaman ke jaman, cinta segitiga menjadi topik yang tak pernah habis melahirkan banyak inspirasi dan pemaknaan tentang cinta itu sendiri.

Sebelumnya tafsir roman cinta segitiga antara Rahwana, Dewi Shinta dan Sri Rama sempat marak diperbincangkan setelah budayawan Sujiwo Tedjo mengangkatnya dalam sebuah novel, "Rahvayana : Aku Lala Padamu". Disitu tergambarkan dengan apik bagaimana romantisme cinta Rahwana terhadap Shinta.  

Nah, sekarang saya coba memberanikan diri untuk menulis kembali sekelumit kisah roman itu dengan tafsir dari sudut padang Shinta.

Tak banyak yang bertanya bagaimana perasaan Shinta saat itu. Tidak ada yang bertanya apa yang sebenarnya dipikirkan dan dirasakan oleh Shinta. Semua sepakat mengamini bahwa Dewi Shinta tetap teguh mempertahankan kesetiaan murninya pada Sri Rama, suaminya. Dan itu sudah terbukti dengan selamatnya Shinta dari kobaran api yang berusaha membakar tubuhnya. Api tak mampu menghancurkan kesetiaan dan cinta yang tetap ia jaga utuh.

Namun benarkah menjaga kesetiaan itu terlihat demikian heroiknya seperti yang dilakukan Shinta? Pastilah ada gejolak-gejolak lain yang dirasakan oleh Shinta; yang membuat perjuangannya mempertahankan cinta dan kesetiaan tidak semudah seperti kelihatannya.

Maka inilah tulisan saya tentang Shinta Obong; sebuah tafsir perjuangan cinta dan kesetiaan dari sisi Shinta sebagai perempuan.

***

Ketika Shinta menjatuhkan dirinya ke dalam api, dia tahu hanya ada dua pilihan, hancur lebur atau akan tetap bertahan.

Hatinya sudah remuk ketika cinta Rahwana berhasil menggetarkan jiwanya sejak semula jadi. Titisan jiwanya sebagai Dewi Setyawati tidak bisa membohongi diri bahwa dia tetap setia kepada Rahwana suaminya di kelahiran terdahulu.  Namun tubuh dan jiwa barunya sebagai Shinta di dunia ini mengemban tugas berbeda. Tak pelak dirinya telah sejak semula dipersiapkan bersanding dengan Sri Rama. Mungkinkah karena kesetiaan utuhnya yang telah teruji di kehidupan sebelumnya? Cinta sejati yang memeluknya dalam kesunyian?

Shinta menyadari, hatinya merasakan rindu saat kilatan mata kijang kencana menyambar benaknya. Dia tahu, belahan jiwanya sedang mencari dirinya dengan kesakitan. Namun tak kuasa baginya melawan takdir yang kini harus diembannya.

"Oh, kekasihku, nelangsa jiwaku. Terkurung emas sudah hatiku. Entah apa gerangan yang dilakukan Sang Hyang Widhi kepada jiwaku. Dia memisahkan aku jauh darimu di kelahiran ini". Tangis Shinta hendak memecah langit.

Dan ketika akhirnya dirinya tertangkap oleh Rahwana, berkecamuk pula rasa di dalam hatinya. Antara senang  sekaligus sedih. Antara bahagia sekaligus merana.

Rahwana masih saja memperlakukannya dengan baik dan lembut di taman indah Alengka. Sama seperti kala dirinya adalah Dewi Setyawati, istri Rahwana saat itu. Dan semakin hancurlah hatinya karena hal itu.

Pias wajah Rahwana selalu membayang dalam benaknya. Ingin rasanya meredakan duka yang disebabkan olehnya. Entah bagaimana pahit empedu selalu keluar dari sikap dan kata-katanya pada Rahwana. Ingin rasanya ia memeluk Rahwana yang menangis pilu akibat sembilu penolakan yang selalu diberikannya setiap kali Rahwana menyatakan cinta dan menawarkan untuk hidup kembali bersamanya sebagai permaisuri. Tak sanggup hatinya mendengarkan rintihan Rahwana di tengah malam-malam panjang yang meminta keadilan akan cintanya.

Namun, Shinta tetap tidak mampu mengkhianati janji jiwanya. Janji kesetiaan utuh yang tidak akan pernah ada di dunia ini selain miliknya. Itulah tugas yang diembannya di dunia ini, menjadi simbol kesetiaan yang hakiki.

***

Shinta kembali memandangi jilatan-jilatan api itu di hadapannya. Perasaan diragukan membakar segenap harga dirinya. Tak terima kesetiaannya dipertanyakan Sri Rama. Jika harus terbakar, maka lebih baik terbakarlah semuanya. Cinta dan kesetiaannya tak kan mudah serapuh itu.

Shinta pun dengan yakin melompat menjatuhkan dirinya pada kobaran api yang dahsyat itu. Api membakar tubuhnya, membakar jiwanya, namun tidak dengan cinta dan kesetiaannya pada Sri Rama. Agar genaplah yang tertulis oleh takdir. Shinta tidak akan terbakar karena kesetiaannya. 

Tapi kini dia telah terbakar abadi dalam cintanya di dunia dan tidak akan ada yang bisa memadamkannya sekalipun.

Shinta Obong, itulah dia.

***

Ikedian P. | Dianike P.

Juni 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun