Kegagalan adalah hal yang paling tidak mengenakkan. Bahkan untuk seorang ibu rumah tangga seperti saya, kegagalan tetap sesuatu yang bikin mood swing dan kehilangan orientasi diri. Lalu, apakah kemudian saya harus menyerah dengan perasaan gagal tersebut?
Kecewa, adalah perasaan paling manusiawi ketika kita mengalami kegagalan. Tapi saya tidak ingin rasa gagal itu mengendalikan saya dan mengendalikan hidup saya. Bangkit dari rasa gagal memang tidak mudah, tapi bisa diusahakan. Ya, DIUSAHAKAN. Kata inilah yang selalu saya garis bawahi sebagai penyemangat saya untuk bangkit dari rasa gagal.
Saya yakin, setiap permasalahan pasti memiliki jalan keluarnya. Meski kemungkinannya hanya nol koma sekian persen, saya yakin pasti ada. Saya yakin Tuhan memberi jalan. Kita hanya perlu mengerahkan sedikit lebih banyak energi saja untuk berusaha mencari jalan keluarnya. Yang tentu saja harus didasari keyakinan dan harapan yang besar untuk itu.
Bagaimana caranya agar memiliki keyakinan dan harapan yang kuat bahwa kita pasti bisa melewati rasa gagal itu? Saya bukanlah seorang ahli, tapi saya hanya ingin membagikan apa yang pernah saya pelajari dan alami dalam tulisan ini, sehingga saya bisa mengatakan bahwa kegagalan atau rasa gagal  bisa kita kendalikan.
Hal pertama yang biasanya saya lakukan untuk menghadapi rasa gagal adalah MENERIMA rasa gagal itu.
Tidak mudah memang membuat diri kita mengakui bahwa kita telah gagal. Keegoisan diri adalah penyabotase terbaik perasaan ini. Siapa sih yang ingin gagal? Semua orang tentu lebih ingin berhasil dan sukses dalam setiap kesempatan hidupnya. Sehingga, ketika harapan itu tidak sesuai, maka kita menjadi kecewa, marah, sedih, dan menyebut diri ini menjadi orang yang gagal.
Agar bisa menerima rasa gagal itu, ada proses lain yang perlu kita lewati. Yakni melatih rasa SYUKUR. Pernahkah Anda benar-benar menyadari dan bersyukur setiap hari? Terhadap segala yang kita peroleh dalam hidup ini? Atau rasa syukur hanya mampir ketika kita mengalami kegembiraan, keberhasilan dan kesuksesan?
Hehe..jujur, ketika saya mendapatkan pelajaran mengenai rasa syukur ini dari beberapa mentor training pengembangan diri pertama kali, saya sempat menyepelekannya. Ya, karena saya merasa sudah bersyukur setiap hari. Benarkah? Lalu saya diminta untuk menuliskan 50 rasa syukur yang saya rasakan.
Mudah? Ternyata, baru sampai 10 rasa syukur saja, saya mulai kelabakan. Lanjut sampai 15 rasa syukur, saya mulai mikir-mikir. Terus menulis sampai 20 hingga 25 rasa syukur, saya benar-benar "deprok" alias terduduk lemas, termangu dan baru benar-benar menyadari bahwa tidak mudah mengumpulkan rasa syukur sebanyak itu. Trust me! You have to try it. Bahkan mungkin terasa lebih mudah mengumpulkan 50 rasa sedih dan kecewa daripada rasa syukur.
Dari latihan mengumpulkan rasa syukur inilah, saya mulai melatih pikiran saya untuk tetap berpikir positif. Untuk selalu mengarahkan perasaan, pikiran dan energi saya menjadi lebih positif setiap hari. Setelah rasa positif terbentuk, maka saya baru bisa MENERIMA rasa kecewa, marah, sedih dan rasa gagal itu sendiri.
Rasa syukur membantu saya untuk mengeluarkan rasa cinta terhadap diri sendiri. Salah satu elemen rasa cinta itu adalah PENERIMAAN. Maka, rasa cinta yang berhasil saya hadirkan dalam diri sendiri mendorong saya untuk bisa menerima diri ini apa adanya. Termasuk menerima kegagalan yang saya alami. Bahkan, melihat proses sabotase terhadap diri sendiri sebagai bentuk "kebaikan" diri. Sebagai sebuah alarm bagi saya agar tidak merasakan sakit atau kecewa.