Pada tahun 2020 ini, saya merilis sebuah buku tentang Eyang Hasan Maolani berjudul: "Gegap Gempita Perjalanan Sejarah dan Upaya Status Kepahlawanan Eyang Hasan Maolani Lengkong". Buku ini sejatinya sudah digagas lama sekali, yakni sejak tahun 2013. Namun karena keterbatasan data dan waktu pengerjaan, hasilnya harus molor hampir 7 tahun lamanya.
Dalam tulisan kali ini, saya tidak akan membahas isi dari buku saya tersebut, namun menyampaikan pendapat mengenai penyebutan "eyang" bagi Hasan Maolani Lengkong.Â
Mengapa saya membahas hal ini? Karena beberapa kelompok generasi dari anak keturunan Eyang Hasan Maolani yang mungkin tergabung dalam sebuah paguyuban, mencoba mengkampanyekan merubah istilah "eyang" dengan istilah "kyai".Â
Apakah perubahan ini akan berhasil dan diterima ditengah-tengah masyarakat, utamanya masyarakat Kuningan yang sudah berpuluh-puluh tahun mengenal sosok Hasan Maolani dengan sebutan "eyang", atau hanya akan menjadi perubahan yang sia-sia? Bahkan terkhusus lagi masyarakat Lengkong yang sudah menggunakan istilah ini dalam kehidupan sehari-harinya?
Saya pribadi tidak mengetahui persis mengapa sekelompok anak keturunan Eyang Hasan Maolani hendak merubah sebutan itu, saya juga tidak menanyakannya langsung kepada pihak-pihak tersebut, karena mungkin hanya akan menambah panjang perdebatan.Â
Saya meyakini, perubahan istilah itu untuk menunjukkan atau memunculkan sosok Hasan Maolani sebagai sosok "Tokoh Islam" atau "Kaum Agamawan".Â
Beberapa hal yang saya dengar, perubahan istilah itu dinilai perlu dilakukan karena---menurut mereka---penyebutan istilah "eyang" merupakan penyebutan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk menghancurkan citra dan nama baik Hasan Maolani. Walau kita semua tahu, pendapat tersebut baru sebatas hipotesis, belum bisa dibuktikan dengan data empirik yang bisa dipertanggungjawabkan.
Mari saya ajak pembaca untuk mengetahui realita yang ada di masyarakat, utamanya di Kuningan, dan terkhusus lagi di Desa Lengkong. Kami mengenal Hasan Maolani sebagai sosok yang diperbincangkan lintas generasi, dan setiap dari kami menyebutnya dengan istilah "eyang". Lepas siapapun yang bercerita, kami mendengar sosoknya dengan sebutan "Eyang Hasan Maolani".
Setiap orang Lengkong ngobrol sesama orang Lengkong, dan salah satu diantara mereka berucap sebuah nama "Eyang Hasan", maka sang lawan bicara akan mengenali arah pembicaraan mereka.Â
Maksudnya tentu Eyang Hasan Maolani. Walau tidak diucapkan lengkap, namun kami memahami dengan sangat baik. "Eyang Hasan" pastilah merujuk pada Eyang Hasan Maolani.
Lebih dari itu, jika salah satu dari mereka hanya berujar "Dulu zaman Eyang", maka kami juga akan paham bahwa pembicaraan ini merujuk ke zaman Eyang Hasan Maolani.