Persoalan implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah dimulai sejak awal Indonesia merdeka. Jauh sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), kebijakan program JKN sudah berlangsung sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor: 18 Tahun 1953 tentang Merawat Orang Keluarga Miskin dan Orang-Orang Yang Kurang Mampu.Â
Namun implementasi kebijakannya belum dapat diwujudkan secara optimal kepada masyarakat kurang mampu dikarenakan subsidi dalam negeri masih terbatas pasca kemerdekaan. Kemudian pada tahun 1980-an, permasalahannya menjadi bertambah pelik mengingat fenomena pertumbuhan pelayanan kesehatan swasta yang berbasis unit cost sudah dimulai. Sehingga pemenuhan pelayanan kesehatan untuk masyarakat kurang mampu menjadi semakin jauh dari harapan.
MELAWAN LUPA
Dalam  era reformasi, kebijakan JKN yang dituangkan melalui UU SJSN pada tahap awalnya dilaksanakanoleh Pemerintah Pusat melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Namun pemenuhan Jamkesmas dirasakan masih kurang optimal, makaPemerintah Daerah melalui Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) mulai mengambil peran untuk melengkapi pemenuhannya.Â
Sayangnya kedua instrument tersebut tidak saling terintegrasi, sehingga hasil pemenuhannya menjadi tidak terarah. Kemudian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mulai berperan aktif untuk memberikan pemenuhan manfaat secara luas sejak Januari 2014. Sumber pembiayaan dilakukan secara terpadu dengan memanfaatkan pengelolaan subsidi pemerintah dan iuran dari pendapatan masyarakat. Namun, kekuatan instrument sumber terpadu tersebut masih belum mampu membawa BPJS terhindar dari defisit setiap tahunnya.Â
Namun kondisi BPJS masih mengalami defisit kembali setiap tahunnya. Jika semua itu dapat kita rangkum, maka setiap pembaharuan kebijakan yang menyangkut JKN malah justru memperlihatkan kondisi persoalan yang hampir sama dan klasik.
ASPIRASI
Seyogyanya, agar tidak terjatuh pada lubang yang sama dimasa depan, tentunya penting mempertimbangkan terlebih dahulu dampak sosial ekonomi dalam upaya menentukan konfigurasi kebijakan. Salah satunya dalam upaya untuk menekan biaya layanan komersialisasi kesehatan, pemerintah dapat memberikan bantuan insentif berupa kemudahan dan penyederhanaan perizinan usaha layanan kesehatan yang tepatguna, dan memberikan subsidi kepada perguruan-perguruan tinggi ilmu kesehatan.Â
Kebijakan lainnya, dalam upaya meningkatkan layanan, BPJS dapat membuat program jaminan kesehatan manula dengan menentukan kriteria umur pesertanya. Ini penting untuk di aspirasikan, mengingat kondisi pasien manula memiliki keterbatasan aktivitas, dan riwayat penyakit tetap beserta komplikasinya hanya dapat ditangani oleh layanan kesehatan sub-spesialis, dan tidak perlu lagi layananan kesehatan primer serta administrasi yang rumit dan berjenjang.
Tidak kalah pentingnya, program JKN yang dikelola BPJS kedepan dapat terintegrasi dengan sub-sistem jaminan sosial yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah, sehingga pemenuhan pelayanan kesehatan menjadi lebih efektif dan efisien.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H