Perilaku "social climber" yang akhir-akhir ini, telah menjadi perbincangan hangat di jagat "dunia maya", medsos maupun (dunia nyata).Tak bisa dipungkiri, di sekitar kita mulai banyak bermunculan para generasi "social climber" yang narsis dan  "sok eksis". Kebanyakan mereka, yakin dan punya anggapan  bahwa dirinya para perkumpulan generasi modis serta yang paling kekinian.
Ternyata "social climber" pada dasarnya merupakan perilaku seseorang yang dilakukan untuk meningkatkan status sosialnya. Dengan cara melakukan segalanya, agar mendapat pengakuan (status sosial lebih tinggi) dari status yang sebenarnya. Mengadakan apa yang bukan kapasitasnya.
Secara umum, seseorang yang mengidap perilaku "social climber" gaya hidupnya cenderung lebih "glamour" dan selalu ingin terlihat mewah. Sebab, dengan model dan gaya hidup seperti itu, ia ingin mendapat pengakuan jika dia termasuk orang kaya. Meskipun kondisi yang sebenarnya, tidak seperti yang ia (pamerkan di media sosial).
Justru para pelaku "social climber", akan merasa tidak nyaman, tidak percaya diri, dan khawatir tidak diterima di lingkungannya (apabila tidak tampil glamour). Akibatnya sebisa mungkin, dengan berbagai cara ia tempuh, (agar tampil mewah dan serba wah). Â Â Â Â
Tidak hanya itu, mereka memiliki kemauan besar untuk (membuat nyata hidup yang ada di dalam khayalan), serta berusaha untuk meningkatkan status sosialnya dengan segala hal, dengan menghalalkan berbagai cara yang bisa dilakukanya.
Pengidap "social climber", akan senang sekali mendapat pujian dan kekaguman dari orang lain "It would be their purpose in life" suatu kebahagiaan hidupnya ditentukan dari (likes dan komen di media sosialnya).
Entah, apakah benar jikalau perilaku "social climber" merupakan benih penyakit kejiwaan yang sangat berbahaya. Jika kita kaitkan kembali  dengan pembahasan di atas, para "social climber" bisa melakukan apa saja agar hidupnya terlihat memiliki status sosial yang tinggi dengan hal yang praktis dan tidak melalui proses.
"Lantas bagaimana, jika sebagian dari mereka yang termasuk ke dalam kategori memiliki perilaku "social climber" terlahir dari kalangan keluarga yang kurang mampu?."
"Apakah mereka tetap memaksakan dirinya untuk tetap selalu tampil "glamour" dalam mengikuti tren gaya hidup yang memaksakan diri dan terkesan merugikan, karena (lebih besar pasak dari pada tiang)?".
Semoga saja, yang  membaca tulisan ini, dan merasa (segera taubat dan cepat sadar diri).Karena perilaku mengadopsi tren gaya "social climber", jika  tetap di jalani dengan rasa tidak bersalah. Maka, sangat jelas kedepanya akan berdampak besar, merugikan diri sendiri, maupun bangsa dan negara.
Jadi, rillnya begini (dengan tuntutan gaya hidup yang cenderung di paksakan), tentu saja generasi muda, yang masuk kategori "social climber", Â akan cenderung berpikir sempit dan tidak memikirkan dampaknya, seperti melakukan pencurian, perampokan, pengancaman terhadap Orang tua, untuk dituruti segala keinginanya.
Bahkan jika, perilaku tren gaya "social climber" sudah menjadi ketergantungan dan terus diadopsi sampai dewasa. Maka bisa saja kedepanya, saat di dunia kerja, sesorang yang memiliki perilaku "social climber" dalam  mempertahankan gaya hidup yang bermewah-mewahan.