Mohon tunggu...
Edi Suwandi
Edi Suwandi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir Tak ijo royo-royo, tak senggo temanten anyar... ...... Bahagia itu Sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Generasi 'Pacul'

15 Maret 2013   09:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:44 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari lagi terik-teriknya siang itu di Pematang sawah, Pak Imam beserta Fadhol saudaranya istirahat sejenak dari kegiatan menggarap sawah dan sedang menikmati santap siang kiriman anaknya, Sahid.
"Hid, bentar lagi kamu kan lulus sekolah, rencanamu mau kuliah dimana?" Lek Fadhol mengawali pembicaraan seraya memulai makan
"wahh, belum tahu Pak Lek, aku juga bingung mau milih jurusan apa, jadi kuliah apa enggak aja juga belum tahu," Sahid menimpali
"lha kenapa?"
"sudah kuliah saja, kan banyak tuh jurusan, ekonomi, hukum, pendidikan, teknik, asal jangan kedokteran,"
"kalau kuliah kedokteran abahmu bisa-bisa jual rumah nanti"
"hehe..."
"Kalau masalah biaya, jangan khawatir abahmu masih ada tabungan sisa panen tahun kemarin-kemarin, ya nggak kang?" Lek Fadhol menengok ke arah Pak Imam, abangnya
Pak Imam masih terdiam menikmati lahapnya makan siangnya
"Kamu kuliah aja le, jangan khawatir masalah biaya, abahmu ini masih kuat macul kok," Pak Imam angkat bicara
"kamu ambil aja jurusan pertanian, kalo nggak pokoknya jurusan yang namanya ada agro atau agri gitu, aku ndak begitu hapal namanya kemarin ada di TV, pokoknya ya sebangsanya pertanian itu"
"halah kang, masak anakmu disuruh kuliah pertanian sih?"
"jurusan itu ya, ekonomi, manajemen, Teknik, apa kek, masak pertanian" Lek Fadhol nggak setuju
"beneran bah pertanian? padahal kalo aku cenderung milih jurusan Ekonomi bah," Sergah Sahid
"ealah, memang gundul kalian berdua ini, kalian nggak lihat berita? Harga Bawang meroket naik, menyusul harga daging sapi yang sudah spektakuler, waktu kita panen bawang kemarin aja harganya ciamik sara, murah, masak sekarang kayak kesetanan gitu"
"dan Pemerintah seenaknya melonggarkan kebijakan Impor bawang dengan alasan biar harganya turun. Mbok ya o petani kita ini dididik jadi petani yang cerdas, pinter gitu biar produksinya bagus, dikasih teknologi biar hasilnya lebih baik dan meningkat jadi cukup buat konsumsi negeri sendiri, nggak perlu impor!" Pak Imam mulai bersungut-sungut
"lha petani dari dulu ya gini kang, sekolah nggak penting, yang penting badan kekar, rajin, kuat macul, mau gimana lagi, biarin Sahid kuliah Ekonomi biar nantinya kerja di kantor atau jadi pengusaha gitu kan hebat toh" Lek Fadhol sinis
"itu dulu Dhol, sekarang jamannya sudah berubah, kalau kita gini terus kita juga yang sengsara, kita sudah kesusahan untuk bertani tapi tidak dihargai" Pak Imam meyakinkan
"lha berarti itu tugas Pemerintah to Kang Imam untuk bantu kita biar maju?" Lek Fadhol nggak mau kalah
sementara itu Sahid cuma diam memperhatikan perdebatan kedua orang tua itu yang semakin nglantur kemana-kemana
"gundul..! gundul..! sekarang tak tanya, selama kamu menanam bawang merah, apa pernah pemerintah bantu selain subsidi pupuk yang jelas terpampang di karung - karung pupuk yang kamu beli dan juga jatah giliran air irigasi dari waduk peninggalan Pak harto itu?" Pak Imam ngotot
Lek Fadhol tercenung berikir sembari mengunyah nasi yang memenuhi mulutnya, seolah membenarkan dan tak bisa menjawab
"kalau saja pemerintah, berperan lebih aktif membimbing dan mendidik petani pasti ada peningkatan, asal kamu tahu saja yo Dhol, kata berita di TV, negara Belanda saja yang negaranya kecil justru berhasil di bidang pertanian, karena mereka fokus di bidang pengembangan teknologi pertanian, lha Indonesia yang katanya negara agraris, yang waktu jamannya Pak Harto malah sempat Swasembada beras, lha sekarang?" Pak Imam berapi-api
Lek Fadhol menyerah dan malah menimpali, "kalo sekarang ya Impor Beras, Impor Daging, Impor Buah, Impor bawang, impor kedelai, semua diimpor, petaninya sendiri mangap-mangap nggak punya lahan, bodoh dan dibodohi, tiap panen harga jeblok, pokoknya ya kita-kita ini wujudnya,"
"belum lagi ditangkapnya orang-orang yang diduga jadi mafia impor daging sapi di kementerian Pertanian, rasanya kok lengkap sudah penderitaan kita yo Kang?"
Sahid masih terdiam mencerna pemikiran kedua orang tua ndeso itu dan mulai memahami maksud abahnya, dalam hati ia membenarkan semua yang dikatakan abahnya
"baru tahu ya? asal kamu tahu lagi Dhol, petani kita hanya dijejali produk-produk kimia yang justru membahayakan bagi kesuburan tanah garapan kita, berbagai macam obat hama bertebaran Toko Pertanian dan kita sendiri tak tahu itu berbahaya atau tidak, dan Pemerintah rasa-rasanya kok seperti lepas tangan, mana pengawasannya, pengarahan penggunaannya, dan keamanannnya, parahnya lagi Dhol tiap tahun penggunaan pestisida meningkat seiring hamanya yang semakin kebal, belum lagi efeknya terhadap kita, Lahannya rusak, petaninya menderita, ongkos tanam menggila, lha pemerintahnya kemanaaaaa?" Pak Imam tambah mengeluh
"wah ternyata Kang Imam tahu banyak ya, sampek detil gitu," Lek Fadhol
"lha kamu pikir! makanya kalo nonton TV yang ditonton berita jangan cuma Sinetron aja, tapi itu cuma info kasarannya aja Dhol"
"makanya le, kamu Hid harus kuliah pertanian biar nggak mewarisi kebodohan abahmu ini, biar bisa mbantu Abah, Pak lekmu, masyarakat desamu, syukur-syukur negerimu, mengembangkan pertanian yang lebih maju dan layak seperti negara Belanda"
"jangan sampai Negara ini menderita hanya karena nggak punya pangan, semua pada impor, sedangkan pada waktunya nanti karena cuacanya sudah semakin susah diprediksi negara pemasok bahan pangan ke kita lambat laun akan mengurangi pasokan atau lebih parah menghentikan pasokannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya, lha rakyat mau makan apa? makan batu?" kata Pak Imam
"masuk akal itu Kang, lha wong gara-gara ratusan kontainer bawang ketahan di Pelabuhan aja harganya langsung naik, belum itu dikurangin pasokannya apalagi nggak dipasok, bisa-bisa demo itu orang jualan nasi goreng"
"Ya udah aku ndukung abahmu hid, kamu kuliah Pertanian aja!" Lek Fadhol menepuk pundak Sahid disebelahnya
"Halah, lha tadi katanya ekonomi to Pak Lek? kok sekarang jadi ikut abah," Sahid melongok ke arah Pak Leknya
Lek Fadhol nyengir, dalam hatinya bergumam, "aku kalah argumen sama abahmu le"
"ya udah karena kamu mau masuk pertanian Hid, sebagai pemanasan setelah pulang ngirim[1]  kamu carikan rumput untuk Sapi Pak Lek, itung-itung belajar tumbuh-tumbuhan" sahut Lek Fadhol sambil tambah nyengir
"heleh, perasaan ya tiap Pak Lek bantuin abah sapinya tak cariin rumput, pake ngeles pemanasan segala," Sahid membereskan rantang-rantang nasi
Sahid pun berlalu sembari menenteng dua tas penuh rantang, tanpa berkata-kata apapun lagi, dia tak berani membantah lagi dan mencoba mengumpulkan semangatnya tuk menuruti kata abahnya.

[1] ngirim, kegiatan mengantarkan nasi ke orang yang bekerja di sawah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun