Perceraian bukan dosa, melainkan hak fundamental individu untuk melepaskan diri dari belenggu relasi yang menghancurkan. Namun, di tengah masyarakat Indonesia yang dibangun di atas pondasi patriarki yang busuk dan kemunafikan kolektif, perceraian terus dijadikan alat untuk menundukkan perempuan. Dengan stigma yang keji, perceraian digambarkan sebagai kegagalan moral yang hanya bisa ditanggung oleh perempuan---sebuah manifestasi kekerasan struktural yang memperkokoh dominasi patriarki dan menutup peluang kebebasan bagi perempuan.
Pernyataan Ridwan Kamil, calon gubernur Jakarta, bahwa "janda-janda akan disantuni oleh Pak Habiburokhman, akan diurus lahir-batin oleh Bang Ali Lubis," bukan sekadar candaan murahan. Itu adalah penghinaan frontal yang mengakar pada narasi patriarki usang: bahwa perempuan yang bercerai adalah makhluk lemah, beban masyarakat, dan hanya layak untuk dikasihani. Narasi ini harus dihancurkan. Perempuan yang berani melawan, berdiri melawan penindasan dalam rumah tangga, adalah simbol perlawanan dan kekuatan yang sejati. Saatnya masyarakat berhenti menjadi pengecut yang berlindung di balik retorika misoginis dan menghadapi kenyataan: perceraian adalah bentuk pembebasan, bukan kehancuran.
Patriarki: Sistem Beracun yang Melabeli Perempuan
Dalam masyarakat yang dikuasai tirani patriarki, perempuan dijadikan tawanan peran sebagai "penjaga moralitas keluarga," sebuah beban yang dirancang untuk menundukkan mereka. Ketika perceraian terjadi, perempuan tidak hanya dihancurkan oleh trauma emosional, tetapi juga diserang dengan label "janda," sebuah senjata sosial yang dirancang untuk merendahkan dan membungkam mereka. Label ini adalah alat kekuasaan patriarki yang terus dipakai untuk mengekang keberanian perempuan.
Sebaliknya, laki-laki yang bercerai justru dipuja. Mereka dipandang sebagai "pemenang kebebasan" yang siap memulai hidup baru. Ini adalah wajah patriarki yang menjijikkan: memuliakan kebebasan laki-laki sambil menghukum perempuan yang berjuang untuk membebaskan diri. Kemunafikan ini adalah penghinaan langsung terhadap perjuangan perempuan, sebuah sistem yang menormalisasi penindasan atas nama norma sosial.
Kisah Nita (bukan nama sebenarnya) adalah bukti ketidakadilan ini. Setelah meninggalkan suami yang kasar, ia tidak hanya harus menyembuhkan luka batinnya, tetapi juga melawan penghakiman sosial. "Orang lebih sibuk menghakimi status saya sebagai janda daripada bertanya mengapa saya memilih bercerai," katanya. Ini bukan sekadar kemunafikan; ini adalah bentuk kekerasan budaya yang melestarikan kebencian terhadap perempuan pemberani. Masyarakat ini tidak butuh reformasi; ia butuh revolusi total untuk menghancurkan norma-norma busuk yang menopang patriarki.
Stigma: Racun yang Menghancurkan Perempuan dan Generasi Mendatang
Stigma perceraian terhadap perempuan adalah bentuk kejahatan sistematis yang mengakar dalam struktur patriarki. Secara psikologis, perempuan dipaksa menelan rasa malu dan rendah diri, diracuni oleh narasi bahwa perceraian adalah aib yang harus mereka tanggung seorang diri. Secara ekonomi, perempuan yang menyandang status janda dijebak dalam lingkaran diskriminasi: dijauhkan dari peluang kerja, diremehkan, dan dipandang tidak layak sejajar dengan rekan laki-lakinya. Ini bukan sekadar ketidakadilan---ini adalah bentuk penindasan yang disengaja.
Kejahatan ini meluas lebih jauh. Anak-anak dari keluarga bercerai dijadikan korban stigma yang tak berperikemanusiaan, dilabeli "tidak memiliki keluarga utuh." Tuduhan ini bukan hanya salah, tetapi juga keji, mencerminkan masyarakat yang lebih peduli menjaga norma usang daripada memahami realitas. Ironisnya, masyarakat yang menghakimi ini adalah masyarakat yang sama sekali tidak peduli pada kesejahteraan anak-anak tersebut. Faktanya, perceraian sering kali menjadi jalan paling manusiawi untuk melindungi mereka dari lingkungan yang beracun. Saatnya menghancurkan narasi ini dan menggantinya dengan keberanian untuk melihat kebenaran: perceraian bukan kehancuran, melainkan pembebasan dari sistem yang gagal.
Norma Ganda: Senjata Patriarki yang Harus Dihancurkan
Norma ganda adalah akar dari kemunafikan yang menjangkiti masyarakat kita. Laki-laki yang bercerai disambut sebagai pejuang yang "memulai babak baru," sementara perempuan dicap sebagai aib, dihukum dengan stigma sosial yang tidak manusiawi. Ini adalah penghinaan brutal terhadap prinsip keadilan dan kesetaraan yang mestinya menjadi dasar kehidupan bermasyarakat.
Lebih kejam lagi, agama sering kali dijadikan senjata untuk melegitimasi ketidakadilan ini. Perempuan dipaksa bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan atas nama "kesucian keluarga," sebuah konsep yang diselewengkan demi melestarikan dominasi patriarki. Ketika perceraian tak terhindarkan, agama yang sama digunakan untuk mencerca mereka, menuduh mereka sebagai perusak moral. Kontradiksi ini mencerminkan wajah asli masyarakat kita: pengecut yang berlindung di balik moralitas palsu.
Revolusi Kesadaran: Menggempur Patriarki dan Stigma
Kita tidak membutuhkan sekadar simpati atau retorika kosong. Yang dibutuhkan adalah tindakan radikal untuk menghancurkan stigma perceraian dan mencabut akar patriarki dari masyarakat. Berikut langkah konkret yang harus dilakukan:
- Edukasi Revolusioner: Lakukan kampanye massif yang tidak hanya menyasar anak muda di sekolah tetapi juga merombak mentalitas di tempat kerja, komunitas, hingga institusi keagamaan. Narasi bahwa perceraian adalah kegagalan perempuan harus dihancurkan tanpa ampun.
- Pemberdayaan Total Perempuan: Perempuan pasca perceraian tidak butuh belas kasihan, melainkan akses penuh ke program pemberdayaan ekonomi, pendidikan tanpa batas, dan dukungan psikologis untuk memulihkan martabat mereka.
- Reformasi Hukum Progresif: Hukum harus menjadi alat pembebasan. Aset bersama, hak asuh anak, dan perlindungan dari diskriminasi harus dijamin dengan tegas, tanpa celah untuk penindasan.
- Komunitas Perlawanan: Bangun jaringan solidaritas perempuan sebagai garda terdepan perlawanan. Komunitas ini harus menjadi tempat aman untuk berbagi pengalaman, memperkuat kolektivitas, dan melawan stigma dengan kekuatan kolektif.
Ini bukan sekadar perubahan kecil; ini adalah seruan untuk revolusi. Kita harus menghancurkan patriarki hingga ke akarnya dan membangun masyarakat yang tidak hanya adil, tetapi juga berani memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang selama ini disingkirkan dan dihancurkan.
Saatnya Mengakhiri Kemunafikan
Perceraian adalah tindakan radikal yang menuntut keberanian luar biasa, sebuah langkah yang sering kali dilakukan demi kebebasan dan martabat. Namun, masyarakat yang terjebak dalam kebodohan kolektif terus menerapkan labelisasi negatif terhadap perempuan pasca perceraian, mencerminkan budaya patriarki yang keji dan memalukan. Saatnya menghentikan penghakiman ini. Perempuan yang memilih untuk meninggalkan pernikahan yang menindas bukanlah simbol kegagalan, melainkan lambang keberanian yang luar biasa.
Revolusi ini tidak hanya soal membebaskan perempuan dari rantai patriarki, tetapi juga soal membangun masyarakat yang lebih manusiawi dan adil. Masyarakat yang tidak lagi mendefinisikan perempuan melalui status pernikahan mereka, tetapi melalui nilai keberanian, martabat, dan kebebasan.
Patriarki harus dihancurkan hingga ke akar-akarnya. Dunia baru harus dibangun---dunia yang memberikan ruang bagi perempuan untuk mendefinisikan hidup mereka sendiri tanpa tekanan norma usang. Ini adalah seruan untuk perubahan total, sebuah ajakan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tidak hanya adil, tetapi juga benar-benar berpihak pada kebebasan dan martabat setiap individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H